Historiografi Islam merupakan penulisan sejarah yang
dilakukan oleh orang Islam baik kelompok maupun perorangan dari berbagai aliran
dan pada masa tertentu. Tujuan penulisannya adalah untuk menunjukkan
perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan
ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan,
perkembangan dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam
penyajian bahan-bahan sejarah. Kebanyakan karya-karya Islam banyak ditulis
dalam bahasa Arab, dan banyak pula yang berbahasa lain seperti Persia dan
Turki.
Adapun hal-hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah
Islamadalah:
1. Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah. Nabi juga merupakan pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntutan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan.
1. Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah. Nabi juga merupakan pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntutan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan.
2. Adanya kesadaran sejarah yang di pupuk oleh
Nabi Muhammad. Peristiwa sejarah masa lalu dalam seluruh manifestasinya, sangat
penting bagi perkembangan peradaban Islam. Apa yang dicontohkan oleh Nabi
semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah yang harus menjadi suri tauladan
bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang besar ini, menjadi
pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.
Ada beberapa tahap perkembangan
dalam menciptakan mekanisme sejarah tersebut, yaitu pada awalnya informasi
disampaikan secara lisan, dan kemudian metode penyampaian lisan ini (oral
transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan,
yaitu semacam pelapor catatan.
Untuk mengkaji
persoalan Tema-Tema Pra Islam, penulis membatasi masa kajian dari masa awal
Nabi Muhammad s.aw. sampai masa Abbasiyah sebagai batasan Islam klasik. Tetapi
sebagai kajian sejarah, latar belakang masyarakat pra Islam (Jahiliyah) dalam
kaitannya dengan kemunculan dan perkembangan historiografi Islam klasik menjadi
bahasan tersendiri karena sifat kajian sejarah yang memanjang dalam waktu.
Fokus kajian historiografi Islam klasik di sini membahas tiga karya
historiografi Islam klasik; Sirah al-Nabi karya Ibn Ibn Ishaq,
al-Maghazi karya al-Wakidi dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk atau Tarikh al-Tabari
karya al-Tabari, sebagai representasi karya-karya sejarah Islam klasik
yang memiliki kaitan dengan persoalan historiografi Islam klasik. Di samping
itu, fokus kajian juga diarahkan pada karya-karya sejarawan Muslim modern,
seperti Hasan Ibrahim Hasan dan Muhammad Husain Haikal dan beberapa karya
orientalis, seperti H.A.R. Gibb dan William Montgomery Watt dan yang lainnya,
(Margoliouth, Muir, Wellhausen) yang menulis tentang sejarah Islam klasik
sebagai perbandingan dan kaitan pengaruh karya kesejarahan tersebut.
Ada dua persoalan
yang menjadi fokus utama dalam kajian historiografi Islam klasik, yaitu
persoalan materi (kandungan isi) bahasan dan metodologi. Yang pertama berkaitan
dengan dua persoalan yang saling berkaitan; persoalan
politik oriented yang kemudian memunculkan sejarah politik dan materialisme
sejarah. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan penggunaan periwayatan
(hadith), hauliyat (sejarah berdasarkan tahun) sebagai metode dalam penulisan
histoiografi Islam klasik.
Sejarah yang
berorientasikan politik (sejarah politik)
memiliki latar belakang kesejarahan dan hubungan kontinyuitas yang saling
berkaitan antara aspek konseptual, sumber-sumber kesejarahan, para sejarawan
awal Islam, jiwa zaman dan pandangan dunia akhir abad ke-1 H. sampai akhir abad
ke-3 H. yang ditandai oleh peran sentral dan dominasi kerajaan Islam klasik
(Kerajaan Umayyah dan Abbasiyah). Keseluruhan aspek ini memiliki hubungan
timbal balik dan pengaruh- mempengaruhi terhadap kemunculan dan perkembangan
historiografi Islam klasik yang politik oriented .
Secara
konseptual, konsep sejarah Islam klasik yang dibangun oleh para sejarawan awal
Islam mengacu kepada pandangan bangsa Arab pra Islam (Jahiliyah) tentang
sejarah sebagai suatu peristiwa penting, elitis dan politik. Konsep ini
melestarikan corak penulisan sejarah awal Islam yang sarat dengan tema-tema
politik, sehingga penulisan sejarah politik menjadi main stream dalam
karya-karya kesejarahan awal Islam. Dari sisi sumber rujukan pula, ternyata
sumber-sumber primer yang menjadi rujukan utama para sejarawan awal Islam dalam
penulisan karya sejarah mereka mayoritasnya berasal dari dokumen- dokumen
politik. Para sejarawan awal Islam, seperti Ibn
Ishaq, al Wakidi dan al Tabari selain terpengaruh oleh konsep dan sumber-
sumber kesejarahan Islam yang berasal dari dokumen dokumen politik, pada saat
yang sama mereka memiliki hubungan timbal balik dengan kerajaan/raja (Bani Umayyah dan Abbasiyah) dan terpengaruh pula
oleh pandangan dunia dan mazhabnya. Hubungan timbal balik antara kerajaan dan
para sejarawan itu terdapat dalam hubungan yang saling memerlukan di antara
kerajaan atau raja dan sejarawan, pengaruh kerajaan atau raja terhadap
sejarawan dan corak penulisan sejarah yang berpusat pada kerajaan. Sedangkan
hubungan timbal balik antara sejarawan dan pandangan dunianya ialah
keterlibatan teologi (mazhab keagamaan) dan pengaruhnya terhadap karya
sejarawan tersebut. Kesemua hubungan ini memberikan kontribusi pula terhadap
corak penulisan sejarah Islam klasik yang politik oriented, sehingga frame work
dalam penulisan sejarah Islam klasik tidak pernah lepas dari main stream
sejarah politik.
Pembahasan
sejarah awal Islam yang melulu politik oriented ini memunculkan persoalan
materialisme sejarah, karena peristiwa- peristiwa kesejarahan awal Islam yang
bertemakan sejarah politik seperti peperangan-peperangan,
(al-maghazi), pembukaan/perluasan wilayah (al-futuhat) , peristiwa thaqifah,
al-fitnah al-kubra (Perang Jamal dan Perang Shiffin), dan al-khilafah, yang
semuanya menjadi tema sentral dalam historiografi Islam klasik hanya dipaparkan
dari aspek peristiwa per peristiwa secara lahirnya saja, tanpa menjelaskan
motif utama, arah tujuan, maksud dan makna dari peristiwa-peristiwa tersebut,
sehingga peristiwa-peristiwa seperti peperangan dan perluasan wilayah menjadi
bagian dari persoalan materialisme sejarah.
Tetapi
persoalan yang paling utama dalam kaitannya dengan materialisme sejarah ini
justeru terdapat dalam karya mayoritas orientalis seperti H.A.R. Gibb, D.S.
Margoliouth, W. Montgomery Watt, William Muir dan yang lainnya yang mengkaji
dan menulis karya historiografi Islam klasik. Karya-karya mereka selain sarat
dengan bahasan yang politik oriented dan materialisme sejarah, juga sarat
dengan bias teologi, ideologi (Marxism) dan tafsir (interpretasi) dalam memahami
sejarah awal Islam, khususnya dalam bahasan-bahasan tentang sejarah dan
biografi Nabi Muhammad s.a.w. (Sirah al-Nabi), meskipun kajian mereka cukup
analitis.
Sejarawan
Muslim yang datang kemudian, seperti Muhammad Husain Haikal, sungguhpun telah
melakukan kritik terhadap karya-karya sejarah orientalis dan interpretasi
sejarah, tetapi pada saat yang sama beliau terjebak pula dalam penulisan
sejarah yang politik oriented dan penafsiran sejarah yang berlebihan dan
karenanya menjadi bias pula. Hasan Ibrahim Hasan, sejarawan Muslim modern yang
lain, walaupun menulis karya sejarah awal Islam dari berbagai aspeknya
(politik, agama, budaya dan sosial), tapi persoalan penulisan sejarah politik
dalam karya beliau lebih kompleks lagi, karena di samping banyak menukil sumber
sejarah dari al-Ya’qubi (Tarikh al-Ya’qubi) yang bermazhab Shi’ah dan anti
Muawiyah (Krajaan Bani Umayyah), beliau banyak pula terpengaruh oleh karya
orientalis Nicholson yang memiliki pandangan bias politik termasuk terhadap
Kerajaan Bani Umayyah.
Secara
metodologis, penggunaan metode periwayatan (hadith) oleh para sejarawan Islam
klasik-seperti Ibn Ishaq, al-Wakidi dan
al-Tabari di satu sisi memang telah memberikan peranan terhadap kemunculan
dan perkembangan historiografi Islam klasik. Namun di sisi lain ianya juga
meninggalkan persoalan, karena mereka hanya meriwayatkan, menukil dan
menyampaikan ceritera, berita dan peristiwa yang diriwayatkan oleh para perawi
dan pengkisah kepada perawi yang lainnya, sehingga fokus mereka ialah terbatas
pada bagaimana cerita dan peristiwa yang diriwayatkan dan dikisahkan itu sampai
kepada sejarawan, tanpa memperhatikan kandungan isi (materi) yang diriwayatkan
itu dan bagaimana ia dapat dipahami dengan melibatkan konteks dan pemahaman
yang utuh terhadap peristiwa dan berita tersebut. Dengan perkataan lain, metod
periwayatan (hadith) yang digunakan oleh para sejarawan awal Islam baru
memaknai sejarah dalam pengertian-meminjam istilah Ibn Khaldun-lahir saja,
yaitu rentetan peristiwa dan cerita yang diriwayatkan oleh para perawi, belum
sampai kepada makna sejarah dalam pengerian yang batinnya yang mencakup makna
hakikat dari peristiwa tersebut yang melibatkan perangkat analisis, pentafsiran
dan filsafat sejarah. Dalam kaitan ini pula metode periwayatan (hadith) telah
menjadi alat bantu untuk memperkuat main stream sejarah politik dalam konteks
historiografi Islam klasik karena hilangnya pemahaman yang utuh dan konteks
dalam memahami sejarah.
Untuk memahami
peristiwa-peristiwa sejarah awal Islam yang sarat dengan politik oriented
(sejarah politik) dan materialisme sejarah secara utuh, penulis memberikan
tawaran alternatif beberapa konsep dan perangkat analisis historiografis dari
Ibn Khaldun tentang konsep peradaban dan penggunaan pendekatan pelbagai ilmu
sosial budaya (`ilm al-umran), yang kemudian dikembangkan oleh Barat dengan
pendekatan multidimensional dalam memahami sejarah, konsep spiritualitas
sejarah Islam dari Prof. Masadul Hasan, konsep tentang konteks dari Berkhofer
dan konsep kesepaduan dalam sejarah. Dari beberapa konsep ini penulis
mengemukan sebuah tesis bahwa sejarah Islam klasik adalah sejarah peradaban dan
peradaban Islam ialah peradaban spiritual yang dibangun oleh asas dan
sendi-sendi Tauhid-meskipun dalam perkembangannya berwujud material. Oleh
karena itu penulisan sejarah Islam klasik mesti melibatkan aspek spiritual yang
menjiwai gerak dan proses peradaban, menggunakan pendekatan multidimensional
dan pemahaman terhadap konteksnya. Dengan konsep sejarah peradaban
peristiwa-peristiwa kesejarahan Islam klasik yang yang sarat dengan bahasan
sejarah politik mesti diletakkan dalam konteks proses peradaban tersebut. Dari
sinilah rekonstruksi historiografi Islam klasik dibangun dan dikembangkan.
1.Ilmu sirah dan
maghazi
Definisi. Ilmu yang
membahas tentang sejarah hidup (sirah) dan peperangan (maghazi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ruang lingkup. Tema yang
dikaji adalah sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
terutama setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Namun, sering pula
disertakan kisah hidup beliau sebelum itu, yang tentu saja ada tambahan
keterangan tentang latar kehidupan jahiliyah, sejarah, budaya, agama dan
asal-usul bangsa Arab.
Manfaat. Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, dalam muqaddimah kitab Mukhtashar Sirah
ar-Rasul menyatakan, “...ketahuilah hal-hal yang diceritakan oleh para
ulama’ tentang kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta
kaumnya, juga apa yang terjadi diantara beliau dengan mereka selama di Makkah,
apa yang terjadi diantara beliau dengan mereka selama di Madinah; ketahui pula
apa yang dikisahkan para ulama’ tentang para sahabat beliau, berikut keadaan
dan tindakan mereka; niscaya engkau akan mengenal Islam dan kekufuran;
sesungguhnya Islam di hari-hari sekarang ini asing (gharib); mayoritas
manusia tidak bisa membedakannya dari kekufuran; ini adalah kehancuran yang
tidak dapat diharap darinya keberuntungan...”
Jadi, manfaat
terpenting yang bisa diraih dengan mengkaji sirah adalah "mengenal
Islam sebagaimana aslinya", yang dengan demikian kita dapat memilah
unsur-unsur asing yang merembes masuk ke dalam Islam dan kemudian
memurnikannya.
Keutamaan. Mengkaji sirah
adalah bagian dari upaya mengenali keaslian Islam, sebagaimana yang pernah
diterapkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya. Sirah sendiri merupakan rekaman otentik bagaimana Al-Qur’an
diterapkan di muka bumi, dan bukan sekedar catatan peristiwa tanpa makna. Ia
adalah Al-Qur’an yang “hidup”, sumber inspirasi yang diwariskan oleh generasi terbaik
tersebut untuk umat di belakangnya. Siapapun yang mendalami sirah pasti
menyadari bahwa disana terdapat hubungan yang sangat kuat dan tak terpisahkan
antara sirah, Al-Qur’an dan Sunnah. Membaca sirah, sepanjang
riwayatnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan, adalah ibarat membacara
sebuah tafsir yang dikarang oleh Rasulullah sendiri.
Hubungan dengan
ilmu lain. Dari satu sisi, ilmu ini merupakan salah satu cabang dari ilmu sejarah (tarikh),
yang secara khusus membahas periode kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Di sisi lain, karena validitas riwayatnya sangat bergantung
kepada hadits dan atsar, maka ilmu ini dapat dianggap pula sebagai
bagian dari Ilmu Hadits.
Para perintis. Ulama’ yang
pertamakali mengumpulkan riwayat di bidang ini secara khusus adalah Muhammad
bin Ishaq bin Yasar (w. 150 H). Ada juga yang berpendapat bahwa bukan beliau
yang pertama melakukannya, akan tetapi ‘Urwah bin az-Zubair (w. 94 H). Selain
mereka, terdapat beberapa tokoh lain yang mula-mula mengkaji masalah ini secara
khusus, atau menaruh perhatian tertentu untuk meriwayatkannya; diantaranya Aban
bin 'Utsman (w. 105 H), Wahb bin Munabbih (w. 110 H), Syurahbil bin Sa'ad (w.
123 H), Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (w. 125 H), 'Abdullah bin Abi
Bakr bin Hazm al-Anshari (w. 135 H), Musa bin ‘Uqbah bin Abi ‘Iyasy (w. 141 H),
‘Abdurrahman bin Muhammad al-Anshari (generasi ke-7, tabi’ tabi’in
senior), Ma'mar bin Rasyid al-Azdi (w. 150 H), Abu Muhammad Ziyad bin 'Abdul
Malik al-Bakka'i (w. 183 H), Abu Muhammad Yahya bin Sa’id bin Aban al-Umawi
al-Kufi al-Hanafi (w. 191 H), Muhammad bin 'Umar bin Waqid al-Waqidi al-Aslami
(w. 207 H), Muhammad bin Sa'ad (w. 230 H), Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Aidz
al-Qurasyi ad-Dimasyqi (w. 233 H), Ibnu ‘Abdil Barr al-Qurthubi (w. 463 H), dan
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Waqidi (w. 468 H).
Nama. Biasanya
disebut dengan sirah (perjalanan hidup) atau maghazi
(tempat/waktu peperangan), disebabkan pokok kajiannya yang berfokus
kepada keduanya.
Sumber bahan
kajian. Bahan yang dipergunakan adalah riwayat-riwayat hadits dari para saksi
sejarah, bukti-bukti fisik, juga kesaksian dari sya’ir-sya’ir yang merupakan
rekaman bangsa Arab di masa itu terhadap kisah kehidupan mereka di suatu masa.
Masalah yang
dikaji. Ilmu ini berusaha merangkai berbagai catatan sehingga membentuk bangunan
sejarah yang utuh. Karena sifat khususnya, ilmu ini sering berusaha meneliti
validitas serta kualitas riwayatnya dengan menggunakan metodologi Ahli Hadits,
lalu memilih mana yang paling kuat dan dapat dijadikan sebagai sandaran. Di
masa silam, sirah dan maghazi adalah bagian dari studi hadits,
bukan sebuah disiplin ilmu terpisah seperti dikesankan dewasa ini. Oleh
karenanya sangat wajar jika seluruh kitab induk hadits pasti mengandung elemen sirah
dan maghazi di dalamnya. Meski demikian, metodologi yang dipergunakan
dalam meneliti masalah sirah cenderung longgar dibandingkan jika
meneliti masalah-masalah hukum dan akidah. Akibatnya, karya-karya di bidang ini
dipandang relatif kurang bermutu oleh para Ahli Hadits di zamannya, dan para
perawinya sering dikritik dengan pedas.
Literatur
penting. Karya paling termasyhur di bidang ini adalah Sirah Ibnu Hisyam yang
merupakan ringkasan dan seleksi dari Sirah Ibnu Ishaq yang sudah hilang,
sedang al-Maghazi karya Musa bin ‘Uqbah dipandang sebagai karya yang
paling shahih. Sangat banyak sumber lain yang ditulis dalam masalah sirah,
baik di zaman klasik maupun modern. Diantaranya salah satu bagian dari al-Bidayah
wan Nihayah karya Ibnu Katsir, salah satu bagian dari Tarikh ath-Thabari,
‘Uyunu al-Atsar karya Ibnu Sayyidinnas, ar-Raudh al-‘Unuf karya
as-Suhaili, Tarikh Khalifah bin Khayyath, Mukhtashar Sirah ar-Rasul
karya Syekh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam karya
Syekh ‘Abdussalam Harun, dan ar-Rahiq al-Mahtum karya Syekh
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri
2. Akhabar/ Tarikh
Bentuk historiografi Islam yang
paling tua yang langsung berhubungan dengan cerita- cerita perang dengan uraian
yang baik dan sempurna yang biasanya mengenai suatu kejadian yang kalau ditulis
hanya beberapa halaman saja, dinamakan Khabar.
Di dalam konteks karya sejarah yang lebih luas perkataan khabar sering
dipergunakan sebagai laporan, kejadian atau certita. Konon, penduduk Yaman
telah mencatat sejarah para penguasa mereka lewat ukiran- ukiran atau relief
yang dipahatkan pada bangunan- bangunan. Demikian pula dengan para penguasa
Hirah di Irak yang mencatat sejarah kejadian mereka di dinding bangunan dan
tempat peribadahan.
Di dalam penulisan sejarah ada tiga
hal yang merupakan ciri khas bentuk khabar:
1.dalam
khabar tidak ada hubungan sebab akibat di antara dua atau lebih peristiwa-
peristiwa. Tiap- tiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan membiarkan
saja cerita itu tanpa adanya dukungan rerfensi yang lain sebagai pendukungnya.
2.sesuai
dengan ciri khasanya yang sudah berakar jauh sebelum Islam maka cerita- cerita
perang, bentuk khobar tetap dengan mempergunakan cerita pendek, memiliki
situasi dan peristiwa yang disenangi menyalahi kejadian yang sebenarnya.
Peristiwa yang selalu disajikan dalam dialog antara pelaku peristiwa, sehingga
meringankan ahli sejarah melakukan analisa terhadap peristiwa itu kepada
pembaca. Menyajikan peristiwa perang dengan lengkap, merupakan bacaan yang
menyenangkan namun peristiwa yang sebenarnya tetap menjadi terselubung.
3.bentuk
khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan
sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi
serta syair-syair. Banyak sedikitnya syair tergantung kemauan dan ekspresi
psikologis penulis.
3. Al-Ansab
ü Ansab
adalah batu yang tidak memiliki bentuk tertentu yang digunakan untuk tempat
menyembelih binatang yang akan dipersembahkan (altar) untuk berhala-berhala.
Al-ansab juga dipakai untuk jenis batu yang tidak dibentuk yang disembah
apabila tidak mampu membuat al-asnam.
ü Asnam
adalah segala sesuatu yang terbuat dari kayu, batu, emas, perak, tembaga dan
semua jenis bahan berasal dari bumi yang memiliki bentuk menyerupai makhluk
hidup seperti manusia, binatang dan tumbuhan serta memiliki bentuk tubuh yang
besar. Selain itu, al-asnam mengalami perluasan makna yang digunakan untuk
menunjukkan makna majazi dari berhala.
ü Awsan
dari bahan baku pembuatnya sama dengan al-asnam, namun kata ini lebih umum
daripada al-asnam, karena dapat berupa segala sesuatu yang berbentuk dan tidak
berbentuk, baik kecil maupun besar. Sehingga, kata al-asnam dapat dimasukkan ke
dalam kategori al-awsan.
4. Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat
dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah
dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang
dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan
ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan
suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang
berpendapat thabaqat itu lamanya 10 tahun.
Untuk memudahkan refrensi, sejarah bentuk biografi
disusun dalam kelompok- kelompok( kelas) yang biasa disebut thabaqah. Thabaqat mencakup orang- orang
yang telah wafat dalam waktu yang kira- kira sama. Dalam tradisi
Islam sendiri, thabaqat merupakan sesuatu yang amat lazim. Terutama jika
merujuk pada sejarah Muhammad; dalam lingkaran dan lintasan waktu perkembangan
agama Islam, terdapat lapisan shahabat, tab’in, tabi’ al-tabi’in dan
seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kritik isnad dalam ‘ulum
al-hadits.
Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya ibn Sa’ad,
penyusunan thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang
penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah
Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat
dipergunakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama.
Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimana yang
terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati
Masyahir al-‘Alam. Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk
memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari
dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha’
seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka
untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.
Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan
kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun
oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama
mereka, dan ini dibagi lagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat
disusun menurut geografis.