A. Historiografi dengan Riwayat
Al-Qur’an
mengemukakan bahwa ucapan Rasulullah saw. Harus dijadikan pegangan (Q.S
al-Hasyr : 7) dan perjalanan hidupnya merupakan cita ideal dan pediman bagi
kaum Muslimin (Q.S al-Ahzab: 21). Ayat-ayat Al-Qur’an ini secara langsung
memberi motivasi kepada umat Islam untuk menkaji ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Rasulullah saw. Oelh karena agama Islam turun di Arab, maka bangsa
Arab merasa bahwa mereka membawa misi yang agung dan pada abad ke- 2H mereka
telah berhasil melewati suatu periode penting. penaklukkan-penaklukkan besar
sebelum dan pada masa itu membuat mereka merasa bahwa mereka mempunyai perang
historis yang penting pula. Semua hal
tersebut semakin mendorong minat merka untuk melakukan kajian-kajian sejarah.
Sesuai dengan
motivasi Al-Qur’an tersebut di atas, pengkajian tentang sejarah dikalangan kaum
Muslimin pertama-tama berkenaan dengan kisah kehidupan nabi Muhammad saw.
beserta peperangan yang dilakukannya. Apalagi ulama Islam, dengan berstandar
kepada ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya Q.S al-Hasyr : 7 tersebut, menyatakan
bahwa ucapan, perbuatan, dan ketetapan nabi Muhammad saw. merupakan sumber
syariat Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, aktivitas pengumpulan informasi
yang berkenaan dengan ucapan, perbuatan dan ketetapan (hadits-hadits)
Rasulullah saw. Itu juga mempunyai makna keagamaan yang tinggi.
Sementara itu
pula, kaum Muslimin pun membutuhkan petunjuk sunnah Nabi dalam menghadapi
berbagai urusan pemerintahan dan kehidupan sosial. Hal itu karena Islam membawa
perubahan besar bagi kehidupan masyarakat Arab. Masalah-masalah politik dan
sosial yang mereka hadapi betul-betul berbeda dengan maslah-masalah politik dan
sosial pra Islam. Oleh sebab itu, proses pemerintahan Nabi Muhammad yang
berlangsung kurang lebih selama sepuluh tahun di Madinah dilihat sebagai
pedoman yangharus mendapat perhatian besar untuk mereka teladani dalam
menghadapi urusan pemerintahan dan sosial baru itu. Namun, perhatian itu tidak
hanya terbatas pada hal ihwal Nabi saja, tapi juga terhadap para sahabat Nbai
yang kemudian juga menjadi panduan bagi orang-orang setelah mereka, baik dalam
ucapan maupun tindakan. Karena itu, perhatian pun juga ditujukan terhadap
berita-berita tentang para sahabat itu. Di samping itu, banyaknya bangsa-bangsa
yang memeluk Islam yang memiliki sejarah yang tercatat atau selalu dituturkan,
yang tetap memelihara sejarah bangsa-bangsa mereka, juga menciptakan motivasi
yang kuat bagi kegiatan penulisan sejarah di kalangan bangsa Arab muslim.
Demikinlah,
menurut ‘Effat al-Sharqawi, bermulanya perhatian kaum Muslim kalangan atas
terhadap sejarah. Oleh karena itu, tidak heran apabila para ahli hadits
generasi-generasi pertama dikalangan kaum Muslimin, dipandang sebagai sejarawan
pertama dalam Islam, karena merekalah yang paling besar perhatiannya dalam
mengkaji berbagai peperangan dan berita
tentang Rasulullah saw. Mereka juga telah berhasil menciptakan suatau metode
yang menghubungkan suatu informasi sejarah (riwayat) dengan sumber-sumbernya,
yang menurut ukuran sekarang, bisa dipandang memenuhi ideal penelitian historis
dan ketelitian ilmiah. Metode itu pada mulanya adalah metode yang digunakan
oleh ahli hadits untuk menilai kesasihan suatu riwayat hadits. Di dalam ilmu
hadits, memang terdapat suatu metode ilmiah dalam meneliti dan menilai
kredibilitas dan validasi sumbert-sumber berita (hadits) lewat persyaratan yang
ketat. Seorang sejarawan dalam mengkaji sejarah akan memulai kajiannya dengan
meneliti validitas informasi sejarah yang diperolehnya, memperbandingkannya
dengan informasi-informasi lain, lalu mengambil keputusan tentang validitas
informasi-informasi (berita, riwayat) itu, berdasarkan orisinalitas data dan
ketelitian penutur (perawi) dalam mendeskripsikan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lalu. Dalam hal ini, metode para ahli hadits, ketelitina,
keadilan dan keselektifitas terhadap penutur, sangat membantu sejarawan.
Karena itu,
menurut Effa al-Sharqawi, pertumbuhan awal ilmu sejarah dilkalangan kaum
Muslimin bercampur aduk dengan ilmu hadits dari segi materi dan metodenya.
Adapun materinya berputar di seputar kisah Nabi Muhammad saw. Dan peperangan
kaum muslimin dan kisah mereka. Sedangkan metodenya lebih diarahkan untuk
mengemukakan sanad-sanad dan mengukuhkan riwayatnya dan mendeskripsikan setiap
berita. Meskipun maghazi (peperangan)
secara etimologis berkenaan dengan perang yang dilakukan Rasulullah saw. Tetapi
buku-buku tentang maghazi itu pada
umumnya membahas masa hidup nabi Muhammad saw. Seluruhnya.
Urwah ibn
al-Zabayr dalam karyanya tentang
al-maghazi, misalnya, mengemukakan sanad-sanad, padahal pada masa itu belum
juga ditetapkan patokan-patokan yang teliti dalam menguji suatu riwayat.
Murid dari
pelanjut Urwah ibn al-Zabayr, Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, seperti
halnya para sejarawan Muslim sebelum dan pada masanya. Seorang ahli hadits yang
mengambil sebagian besar materi sejarah dari hadits Nabi.
Dari segi
ketelitian, kejelasan, dan kejujuran, kisah-kisah para sejarawan awal ini lebih
dekat dengan metode para ahli hadits, karena, seorang ahli hadits, mereka
dikenal memiliki sikap menahan diri dari uraian yang berlebih-lebihan. Oleh
karena itulah, mereka para ahli hadits itu, mengeritik pedas kitab al-sirah, karya Ibn Ishaq. Sekalipun
bisa dipandang sebagai sumber acuan sejarah zaman jahiliah dan permulaan Islam,
menurut para ahli hadits, penyusunnya, ibn Ishaq berusaha membebaskan dari dari
metode riwayat manurut para ahli hadits. Di dalam karyanya itu, yang sampai ke
tangan kita lewat karya Ibn Hisyam, riwayat-riwayat yang lemah sudah
disingkirkan oleh ibn Hisyam, khususnya yang bagian dari “permulaan” yang
menguraikan sejarah zaman jahiliah yang berlangsung sejak penciptaan alam
semesta. Ibn Hisyam juga membuang syair-syair yang menurutnya merupakan
syair-syair artifisial dan merombak metodenya sehingga lebih dekat dengan
metode para ahli hadits. Informasi-informasi sejarah dalam al-Sirah karya Ibn Ishaq yang sudah diseleksi oleh Ibn Hisyam
sehingga menjadi karyanya yang berjudul al-Sirah
itu pandang sebagian besar para sejarawan Muslim sebagai sumber yang bisa
dipercaya.
Setelah ibn
Ishaq sampai penghujung abad ke-2 H telah muncul banyak sejarawan, baik dari
aliran Irak maupun aliran Yaman. Dari segi materi sejarah, mereka telah
memperkaya ilmu sejarah, tetapi ditangan mereka sejarah belum menunjukkan
bentuknya sebagai ilmu sabagai ilmu yang mandiri kecuali pada abad ke-3 H. Di
tangan para penulis sejarah abad ke-3 H, sejarah menjadi ilmu dalam pengertian
yang terinci. Al-Thabari, yang riwayat hidup dan karya sejarahnya telah
disebutkan pada bab sebelum ini adalah tokoh historiografi dengan riwayat, yang
warisannya merentang selama tiga abad sebelumnya.
Al- Thabari
menerima pelajaran ilmu-ilmu agama dari para tokoh aliran Ahlu al- Sunnah pada
zamannya yang menetang keras aliran Mu’tazilah. Masa al-Thabari memang
merupakan masa yanmg penuh konflik teologis antara para pengikut aliran Ahlu
al-Sunnah dan para bahwa dalam sejarah al-Thabari melakukan upaya yang serupa
dengan apa yang dilkukan al-Bukhari dan Muslim dalam hadits, dimana ia memilih
materi sejarah yang benar dari sejumlah besar materi sejarah, yang dikemukakan
dalam buku-buku para penulis dan sumber-sumber lainnya. Ia mengharuskan kerja
berat tapi penting karena harus terus mencatat kejadian-kejadian yang
berlangsung sampai pada masanya.
Demikanlah
metode al-Thabari dalam sejarah, sama aeperti ilmu hadits pada umumnya ketika
itu, yang lebih diarahkan pada sanad, dan kritik terhadap para penuturnya tanpa
meneliti isi dari teks yang dituturkan. Ini karena, menurut seorang ahli
hadits, berpegang pada kredibilitas penutur saja sudah cukup. Khususnya apabila
kandungan dan isi riwayat atau kisah, tidak ada yang bertentangan dengan apa
yang terkandung dalam
Al-Qur’an.
Sebagian
para peneliti mengkritik al-Thabari karena ketregantungannya pada riwayat itu, seolah-olah
dia tidak melakukan ta’dil dan tajrih seperti yang dilakukan para ahli
hadits. Namun, dalam hal ini al-Thabari mempunyai lasan tersendiri.
Ketergantungannya yang demikian itu timbul karena ia menganggap bahwa hadits
merupakan salah satu sumber syariah Islam yang menjadi landasan hukum fiqh,
sedangkan sejarah tidak demikian.
Namun,
metode sejarah yang hanya didasarkan pada riwayat saja, menurut Effal
al-Sharqawi, adakalanya menimbulkan sejumlah problem yang berkanaan dengan
sumber-sumber penelitian. Al-Thabari memang selalu berupayakan untuk
mengemukakan kredibilitas sanad-sanadnya. Namun, tidak semua fakta sejarah yang
dikemukakannya bisa ditelusuri lewat rangkaian sanad, sampai pada suatu
peristiwa yang terjadi sebelum turunnya Al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.
Al-Thabari pada waktu mengemukakan teks-teks yang berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa itu, mengacu pada kitab-kitab tafsir yang sebagian
diantaranya memuat kisah-kisah Isra-iliyat. Sementara pada waktu menulis
sejarah Persia, dia mendasarkan diri pada buku-buku Persia dalam bahasa Arab.
Pada waktu itu ia menulis sejarah Romawi, ia mendasarkan diri pada buku-buku
karya kaum Nasrani Syria, yang hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang
kekaisaran Romawi. Tidak semua sumber tersebut, menurut Effat al-Sharqawi,
merupakan teks-teks agama yang bisa dipegang para sejarawan dan tidak semua
pula bisa dilacak, dalam suatu rangkaian para penutur, sampai ke sumber-sumber
yang asli, apabila para peneliti ingin benar-benar merasa yakin terhadap
kredibilitas apa yang dituturkannya. Malah sebagain penyusun yang kisahnya
dikutip al-Thabari tidaklah dikenal.
Itulah
salah satu problem besar yang menurut Effat al-Sharqawi, dihadapi para
sejarawan Muslim pada fase pertama yang mendasarkan diri pada historiografi
dengan riwayat, yakni historiografi yang sabagian besar perhatiannya diarahkan
pada riwayat dan sanad dan membuat konsepsi sejarah berdasarkan konsepsi ilmu
hadits. Setelah masa al-Thabari metode penelitian histori sepeti ini mengalami
perkembangan.
B. Historiografi dengan Dirayah.
Perkembangan
metode sejarah itu berlangsung sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam
sejarah Islam. Para teolog dan filosof, khususnya yang mengenut aliran
Mu’tazilah, menurut Effat al-Sharqawi, tidak mau menerima metode historiografi
dengan riwayat, karena metodr itu tidak memperhatikan prinsip-prinsip rasional
dalam menginterpretasikan teks-teks sejarah. Para teolog aliran Mu’tazilah itu
menekankan peran akal dan menekankan ide kausalitas dalam melihat dan membaca
peristiwa sejarah. Bahkan sebagian penganut aliran Mu’tazilah menolak
berita-berita, yang kredibilitsanya hanya didasarkan padda keadilan dan
ketelitian para penutur. Suatu riwayat, hendaknya dilakukan oleh bukti rasio,
karena menurut mereka para penutur tersebut cenderung melakukan kebohongan.
Aspek inteletual
itulah, menurut aliran Mu’tazilah yang merupakan sumber pertama yang harus
dipegang para peneliti dalam menerima riwayat dan berita sejarah, termasuk
hadits. Hal itu tentu mempunyai dampak terhadap metode penelitian sejarah. Dikalangan
kaum Muslimin setelah al-Thabari, setelah kebudayaan Islam memasuki kebudayaan
baru, menurut Effat al-Sharqawi, penelitian sejarah beralih dari historiografi
dengan riwayat, menuju historiografi berdasarkan pengelaman dan percobaan
langsung.
Jika pada masa
al-Thabari dan sebelumnya, penulisan sejarah didasarkan pada riwayat dan sangat
tergantung pada apa yang dituturkan, maka pada sesudahnya mulai muncul upaya
untuk merujuk langsung kepada sumber-sumber pertama. Selain itu, para sejarawan
juga meperhatikan berbagai faktor yang mempunyai dampak besar terhadap gerak
sejarah.
Perkembangan
seperti itulah yang melahirkan historiografi dengan dirayah. Yang dimaksud
dengan historiografi dengan dirayah adalah metode sejarah yang menaruh
perhatian terhadap pengetahuan secara langsung dari satu segi dan interpretasi
rasional dari segi lain. Metode ini melngkapi metode historiografi dengan riwayat
sebelumnya. Historiografi dengan dirayah juga menaruh perhatian terhadap isi
teks sejarah yang diututurkan, tetapi teks itu baru diterima setelah melalui
kritik intelektual dan rasional.
Para sejarawan
historiografi dengan dirayah ini memiliki wawasan histori yang konperhensif
yaitu menaruh perhatian terhadap pengalaman, penyaksian, dan pengamatan secara
langsung, di samping perhatian terhadap riwayat yang dituturkan.
Jadi,
dibangdingkan dengan historiografi dengan riwayat, historigrafi dengan dirayah
dilengkapi dengan perhatian yang besar terhadap variabel-variabel yang
menentukan gerak sejarah. Dengan demikian para sejarawan, abad-abad keempat dan
kelima Hijriah lebih menaruh perhatian terhadap realitas keinginan manusia yang
menurut mereka terpengaruh oleh kondisi-kondisi geografis, iklim, dan sosial.
Sejak
berkembangnya historiografi dengan dirayah ini, menurut Effat al-Sharqawi, para
ahli hadits dan ahli fikih mulai meninggalkan kegiatan pencatatan sejarah dan
menyerahkan kegiatan itu kepada para penyusun yang memiliki wawasan dan
tinjauan kesejahterahan baru ini, karena mereka dipandang lebih mampu mengamati
berbagai manifestasi sejarah dan kultural yang menjadi corak berbagai kawasan
Islam. Perkembangan metode sejarah ini
memang secara kebetulan berbarengan dengan semakin maraknya penulisan sejarah
lokal dalam historiografi Islam.
Historiografi
dengan dirayah ini, sebagaimana disebutkan di atas, mengalami perkembangan dari
masa ke masa, dan mencapai puncaknya pada diri Ibn Khaldun. Untuk melihat
perkembangan itu, kita akan melihat dan mengkaji karya beberapa sejarawan
muslim yang secara signifikan memberi saham pada perkembangan itu. Yang pertama
dan dapat dipandang sebagai pelopornya adalah al-Mas’udi yang hampir semasa
dengan al-Thabari. Sebagaimana juga disebutkan, dua diantara karya-karyanya
dalam bidang sejarah yang sampai ke tangan generasi kita adalah Muruj al-Dzahab dan al-Tanbih wa al-Isyraf. Di samping seorang sejarawan, al-Mas’udi
juga dikenal sebagai seorang pengembara. Melalui pengembaraannya, dia
menghimpun materi sajarah dari kawasan-kawasan yang luas sekali. Dalam
pembahasannya mengenai persoalan-persoalan sejarah, ia menaruh perhatian
terhadap dampak iklim dan lingkungan geografis.
Selama
perantauannya, ia tidak henti-hentinya mengadakan penelitian, dan menuntut ilmu
pengetahuan, sehingga terhimpunlah fakta dan data sejarah serta geografi yang
belum pernah dihimpun oleh siapa pun. Dengan demikian data sejarah yang
dihimpunnya adalah data-data yang objektif. Dalam kebudayaan Islam, menurut
Effat al-Sharqawi mungkin al-Mas-udi lah yang pertama kali mebina metode
sejarah yang didasarkan pada metode yang objektif itu.
Pengembaraan
dalam rangka memperluas cakrawala ini merupakan hal yang baru. Memang, pada
masa sebelumnya para ahli hadits telah menempuh perjalanan jauh dan terkenal,
untuk mendengarkan dan meriwayatkan sebuah hadits. Namun, dalam perjalanan itu,
para ahli hadits tidak banyak menaruh perhatian terhadap aspek-aspek sosial,
geografis dan kultural. Mereka tidak menaruh perhatian untuk mencatat atau
mengungkapkannya. Sementara pada masa-masa sesudahnya, mulai banyak orang yang
tergelitik untuk mengadakan perjalanan jauh guna mengetahui hal ihwal
negeri-negeri lain. Demikianlah halnya dengan Maqdisi, misalnya.
Di samping itu,
dalam corak penulisan sejarah dia juga melakukan pembaruan. Sebelumnya corak
penulisan sejarah yang paling populer adalah corak hawliya, yaitu penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan
kronologi peristiwa sejarah yangdidasarkan pada urutan tahun terjadinya
peristiwa-peristiwa itu. Berbeda dengan corak seperti itu, al-Mas’udi menyusun
karyanya Muruj al-Dzahab sesuai
dengan urutan negara, raja, dan bangsa. Dengan demikian, dia sudah menggunakan
corak tematik. Corak ini besar dampaknya terhadap tulisan-tulisan para
sejarawan setelahnya, khususnya Ibn Khaldun.
Di samping
menggunakan pendekatan pengamatan langsung, dalam menelusuri fakta-fakta
sejarah dia juga menggunakan banyak dokumen.
Al Mas’udi tahu
bahwa ia mengajukan suatu metode baru yang tidak hanya terbatas pada berita sejarah
saja, tapi juga berupaya mencatat pengalaman langsung dan pengamatan teliti
disertai tinjauan tuntas, yang tidak memisahkan antara menusia dan lingkungan
kultural, goegrafis dan ekonomisnya. Dengan demikain al-Mas’udi mengkritik para
sejarawan yang mencukupkan diri pada riwayat tanpa berupaya mengamati peristiwa
sejarah secara langsung dan ia merasa bangga dengan apa yang dilakukuannya itu.
Pentingnya
pengamatan langsung seperti itu diungkapkan
pula oleh sejarawan pengembara, al-Maqdisi tersebut di atas. Berkenaan
dengan aktivitas pengembaraannya, di dalam karyanya yang berjudul Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim,
al-Maqdisi berkata: “semuanya itu disertai penelitian yang kulakukan, terhadap
semua aliran yang ada, sehingga aku memahaminya, memepelajari bahasa-bahasa dan
warna-warni kulit, sehingga aku bisa mengurutkannya, memahami distrik-distrik
dan meneliti setiap terusan dengan hawanya, berat airnya, dan pemeliharaannya”.
Dia lebih lanjut mengatakan: “dan betapa bedanya orang yang menyusun sebuah
karya tentang kebudayaan, antara orang yang mengalami dan mengamatinya langsung
dengan orang yang hanya mendengarnya”.
Demikianlah
pengamalan al-Mas’udi dalam berbagai perjalanan yang dilakukannya. Dari uraiannya
itu tampak seperti tokoh sezamannya, Mas’udi ia mengkritik metode yang
mencukupkan diri pada riwayat dan ia menyerukan dilakukan pengamatan langsung,
eksperimen khusus dan perhatian terhadap berbagai gejala keragaman yang timbul
dari kesatuan pada setiap tempat dan berakhir padanya.
Namun, upaya
Mas’udi, dengan uraiannya tentang corak-corak geografis d dalam uraiannya
tentang sejarah dipandang sebagai cikal-bakal penekanan tentang hubungan yang
erat antara kondisi-kondisi regional dan gerak sejarah.
Perubahan dalam
metode sejarah yang demikian itu telah berjasa memperkaya metode sejarah
dikalangan kaum Muslimin. Kepada al-Mas’udi menurut Effat al-Sharqawi,
dinisbatkan kepeloporan dalam pengembangan metode sejarah, dari sekedar
memebentuk deskripsi historo-politis yang terbatas ada apa yang terdapat dalam
sanad-sanad menjadi sejarah kebudayaan masyarakat-masyarakat manusia di dunia
ini pada umunya. Dalam hal ini Mas’udi melontarkan berbagai persoalan yang
benar-benar bisa dipandang baru dalam kebudayaan Islam. Ibn Khaldun sendiri
mengakui peran al-Mas’udi dalam mengembangkan sejarah di kalangan kaum
Muslimin. Menurut Ibn Khaldun, metode al-Mas’udi itu merupakan contoh yang
patut diikuti setelah timbul kebutuhan sangat mendesak kepada para penulis
semisal al-Mas’udi akibat terjadinya perubahan-perubahan kondisi yang ada,
khususnya yang berkaitan kawasan Islam sebelah Barat yang tidak banyak mendapat
perhatian dari al-Mas’udi.
Sejarawan kedua
yang memberi saham besar dalam perkembangan metode historiografi dengan dirayah
adalah Ibn Miskawayh (w. 421H/1030 M). Karya sejarahnya berjudul Tajarib al-Umam wa Ta’aqub al-Humam.
Karyanya ini telah diterbitkan kembali di Kairo, Mesir pada tahun 1915-1916
dalam tiga jilid dan sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Margoliouth dan Amedroz dengan judul The
Eclipse of the Abbasid-Caliphate dan dipublikasikan pada tahun 1920-1921.
Karya itu
dimulai dengan uraian tentang penciptaan alam semesta lalu uraian tentang
sejarah berbagai bangsa secara ringkas. Dalam sejarah bangsa-bangsa itu
termasuk di antaranya sejarah Persia Kuno, sejarah bangsa Romawi dan Turki
serta akhirnya sejarah kaum Muslimin sampai 329 H.
Dalam uraiannya
tentang sejarah Islam, Ibn Maskawyh mendasarkan diri pada karya al-Thabari
tetapi dengan membuang sanad-sanadnya, meringkas riwayat-riwayatnya dan sengaja
memilih riwayat-riwayat yang memiliki nilai historis. Semuanya itu kemudian ia
sajikan dengan ringkas dan sistematis.
Apabila
al-Mas’udi lebih banyak tertarik pada aspek-aspek sosial dan geografis dari negeri
atau lingkungan yang ia catat sejarahnya, Ibn Maskawayh melalui karyanya itu
dapat diketahui bahwa ia lebih banyak menaruh perhatian terhadap masalah
politik dengan maksud agar mengetahui hal ihwal para raja dan materi
disekitarnya. Dalam hal ini, perhatiannya lebih banyak tercurah untuk
mengikhtisarkan suri teladannya dalam sejarah.
Dengan demikian
pengamatan eksperimen dan penelitian secara langsung yang dilakukan al-Mas’udi
dalam historiografi dengan dirayah itu diperkaya lagi dengan pengamatan terhadap
makna sejarah sendiri sebagai pelajaran moral yang menurut Effat la-Sharqawi
didayagunakan Ibn Maskawayh demi tujuan-tujuan filosofis dan praktis.
Dengan memberi
judul bagi karya sejarahnya Tajarib
al-Umam, Ibn Maskawayh bermaksud bahwa apa yang dilakukan bangsa-bangsa
baik oleh para raja maupun oleh orang biasa merupakan suri tauladan, pelajaran
dan petunjuk bagi orang yang menghendakinya. Dalam bidang moral ini, dia memnag
dikenal senagai tokohnya dan ia mempunyai karya dalam bidang ini berjudul Tahdzib al-Akhlaq. Menurutnya, setiap
orang mempunyai penglaman sendiri, tetapi landasan moral pada semua orang
adalah satu. Dengan demikian ide suri tauladan menurutnya berkaitan dengan
seruan untuk memperoleh niali-nilai moral, dalam meperlajari sejarah. Jadi,
sejarah menurut Ibn Maskawayh merupakan wanaha untuk mengemukakan
tindakan-tindakan yang baik. Baginya, sejarah merupakan hal yang bermanfaat
untuk mendidik generasi mendatang. Seakan ia menulis sejarah demi nilai-nilai
moral. Dengan karyanya itu ia bermaksud, agar pengalamn berbagai bangsa yang
telah silam bisa dijadikan suri teladan yang bermanfaat dan merupakan contoh
yang berguna untuk dibaca.
Dalam karyanya
itu kadang-kadang Ibn Maskawayh mengemukakan hal-hal yang tampak remeh tapi
mengandung pelajaran yang besar. Misalnya saja tulisan tentang orang-orang
Turki yang sengaja memilih para khalifah dinasti Abbasiyah, dari keluarga
dinasti itu yang masih belia, bodoh, pelupa, atau yang suka berfoya-foya.
Orang-orang Turki itu juga sengaja tidak memberi petunjuk tentang buku-buku
yang baik kepada para khalifah agar khalifah itu banyak mengetahui ulah mereka.
Mengetahui hal
ini Margoliouth menyatakan bahwa kelebihan karya Ibn Maskawayh terletak pada
kenyataan bahwa ia berupaya memikirkan dan merenungkan peristiwa-peristiwa
sejarah untuk kemudian menimpulkan makna moral yang terkandung dalam
berita-berita tentang para raja, amir dan penguasa yang dipaparkan. Karena itu,
didalam penilaiannya, Ibn Maskawayh cenderung bersikap netral dalam menilai
tokoh yang ia kemukakan. Meskipun ia berdedikasi kepada dinasti Buwaih tetapi
ia tidak menyembunyikan keburukan-keburukan dinasti itu, malah ia memberikan
nilai yang pedas. Pada umunya ia cenderung memberikan penilaian yang buruk
terhadap pribadi-pribadi yang ia catat kehidupannya. Bahkan, kebanyakan kisah
yang dituturkan Ibn Maskawayh merupakan kisah ambisi, konspirasi dan
pengkhianatan. Ia juga mencatat skandal-skandal, tipu daya dalam menurunkan
atau memilih para materi dan berbagai cara yang mendorong orang untuk
mengkhianati tuan atau keluarganya. Mungkin Ibn Maskawayh beruasaha mencatat
hal-hal yang demikian itu, menurut Margoliouth guna dipelajaridan diketahui
para pengelola negara.
Ringkasnya, jika
Mas’udi memberikan saham kepada historiografi dengan dirayah dengan memakai
metode eksperimen langsung dan pengamatan pribadi, Ibn Makawayh menambahkan
metode kontemplasi teoritis dan renungan intelaktual.
Tokoh sejarawan
Muslim lainnya yang juga memberi saham besar mungkin malag terbesar dan
terkenal terkenal terhadap perkembangan historiografi dengan dirayah adalah Ibn
Khaldun yang riwayat hidup dan kaerya sudah kita bahas sebelumnya.
Sebagaimana
telah disebutkan, Ibn Khaldun banyak meneliti karya-karya para sejarawan
sebelumnya, khususnya setelah ide sejarah melepaskan diri dari ketergatungan
pada riwayat dan mempertimbangkan pemikran keragaman kultural dalam
kebudayaan-kebudayaan manusia serta analisa rasional terhadap materi sejarah
yang dilakukan sejak masa al-Mas’udi.
Apabila upaya
para sejarawan sebelum Ibn Khaldun sudah lebih terarah pada kepahlawanan
individual dalam menginterpretasi sejarah maka Ibn Khaldun memperkenalkan
interpretasi sosial integral dalam melihat peristiwa sejarah dan memandang
pahlawan sebagai jawaban sosial yang riil terhadap tangtangan masanya. Karena
itu Ibn khaldun berupaya mengkaji hubungan antara lingkungan dan kehidupan
sosial, gejala-gejala ekonomis dan berupaya menginterpretasikan hukum-hukum
yang mengendalikannya. Menurutnya, masyarakat manusia merupakan kelompok politik, dimana sistem politik di
dalamnya berkaitan erat dengan corak-corak geografis dan ekonomis.
Dalam metode
pemikiran sejarahnya, Ibn Khaldun berupaya menemukan hukum yang mengendalikan
perkembangan. Ia melakukan suatu pekerjaan inovatif yang belu pernah dilakukan orang sebelumnya. Di samping
berbagai berita masa lalu, sejarah menurutnya sebagaimana telah disebutkan
secara batiniah merupakan tinjauan, penelitian, dan analisa tentang manusia dan
prinsip-prinsipnya dan ilmu yang mendalam tentang hal ihwal peristiwa sejarah
dan faktor penyebabnya. Menurutnya, sejarah bukan hanya merupakan kisah tentang
orang-orang terdahulu untuk disuri teladani, diambil hikmahnya, dan menjadi
hiburan belaka, tetapi pada substansinya merupakan filsafat yang mendalam
tentang hukum-hukum kemasyarakatan.
Ibn Khaldun ju
memiliki pengetahuan kuas tentang khazanah filosofis kaum Muslimin itu mampu
mengasaskan suatu aliran rasional yang realitis dalam menganalisa hukum-hukum
masyarakat manusia pada masa itu. Berkenaan dengan hukum-hukum umum yang
mengendalikan sejarah itu dapat dilihat pada buku pertamanya yang lebih dikenal
dengan al-Muqaddimah tersebut. Dalam
“kata pengantar”-nya, dia berkata: “Dalam karya ini aku uraiakan hal ihwal
kebudayaan dan peradaban serta hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat
manusia. Ini semua akan membuat anda memahami segala penyakit makhluk dan
penyebabnya dan mengetahui bagaimana para ahli tentang negara-negara memasuki
pintu-pintu gerbangnya”. Dalam buku al-Muqaddimah
ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah satu sebab kekeliruan yang menimpa para
sejarawan adalah tidak mengetahui dan menguasai prinsip-prinsip dan hukum-huku
kebiasaan serta politik, karakter kebudayaan dan hal ihwal dalam masyarakat
manusia. Seringkali para sejarawan terjatuh dalam kekeliruan-kekeliruan dalam
menulis kisah sejarah karena tidak memperhatikan tabiat-tabiat makhluk pada
umunya dan manusia pada khususnya.
Oleh karena itu
buku pertama Ibn Khaldun ini membahas tabiat kebudayaan dan masyarakat manusia.
Buku ini terdiri dari enam bab. Bab pertama menguraikan dampak lingkungan
terhadap tubuh manusia, moralnya, kondisi-kondisinya, dan kebudayaan yang
tumbuh disekitarnya. Bab kedua buku ini menguraikan tentang kebudayaan kaum
Badui, bangsa-bangsa yang terbelakang dan berbagai suku dengan kondisi
masing-masing dan mempertimbangkan antara kaum Badui dan penduduk kota
keistimewaan masing-masing. Bab ketiga menguraikan tentang negara, karajaan,
khilafat, peringkat-peringkat kekuasaan, pertumbuhan, perkembangan dan
keruntuhan negara-negara. Bab keempat menguraikan tentang berbagai manifestasi
kebidayaan kota. Bab kelima menguraikan tentang penghidupan dan mata
pencaharian dengan segala aspeknya. Dan bab keenam menguraikan berbagai cabang
ilmu pengetahuan, pengajaran, sistem-sistemnya, dan seluruh aspek-aspeknya.
Dalam karyanya
itu, Ibn Khaldun berupaya menekankan interpretasi kultural terhadap sejarah.
Mungki karakteristik terpenting dari metode Ibn Khaldun adalah perhatiannya
yang besar terhadap hukum-hukum sosial, dalam mana fenomena-fenomena historis
tunduk padanya. Fenomena sejarah, menurut
Ibn Khaldun dikendalikan oleh hukum- hukum tetap yang konstan seperti
halnya fenomena-fenomena alam. Ini berarti bahwa setiap peristiwa pasti
memiliki karakter dan kondisi-kondisi spesifik.
Dalam menyikapi
hukum-hukum yang bernaung di bawah fenomena historis itu, Ibn Khaldun selalu
mendasarkan kajiannya pada prinsip-prinsip kebudayaan atau sosiologi. Dalam hal
ini Ibn Khaldun berkata: “mengenai hukum yang memilah antara yang benar dan
yang keliru dalam berita dan antara yang mungkin dan yang mustahil, hendaklah
kita melihat kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia dan membedakan
anatara hal apa yang melekat pada diri dan merupakan tabiat, hal yang bercorak
aksidental, dan hal yang tidak melekat padanya. Apabila hal yang demikian itu
kita lakukan, kita akan memiliki suatu hukum, yang bisa membedakan antara yang
tepat dan keliru, yang benar dan yang dusta dalam berita, berdasarkan bukti
yang tidak menimbulkan keraguan lagi ”.
Namun ini tidak
berati bahwa Ibn Khaldun menyatakan berlakunya determinisme yang tegar dalam
sejarah. Dan sebaliknya ketiadaan determinisme mutlak itu tidak meniadakan
keinginannya untuk menemukan hukum-hukum yang mengendalikan perkembangan itu.
Hal ini terlihat dalam konsepsinya tentang ide sejarah yang menunjukkan
keyakinannya terhadap kemampuan untuk meramalkan massa depan.
Konsepsi ilmiah
tentang fenomena-fenomena historis, yang demikian itu, tidak hanya memberi
ruang lingkup bagi peran pahlawan dalam persoalan interpretasi historis. Tapi
ia meletakkan individu dalam sejarah dalam kedudukannya sebagai jawaban riil
terhadap kondisi-kondisi masyarakatnya.
Jadi, jelas
bahwa perhatiannya ditunjukkan terhadap interpretasi sosial terhadap sejarah
dengan berdasarkan prinsip-prinsip kebudayaan dan hukum-hukum perkembangan.
Teoti ini secara ringkasnya, seperti dikemukakan Ibn Khaldun lebih cenderung
pada interpretasi sosial terhadap sejarah daripada interpretasi historis
terhadap sejarah. Lebih jauh lagi teori ini mengukuhkan kausalitas sosial
kultural.
Pada masa mereka
dan setelahnya, aktivitas penyusunan dan penulisan sejarah tetap berlangsung.
Para sejarawan tetap melangsungkan kegiatan mereka dalam mencatat sejarah dan
melanjutkan rangkaiankegiatan yang telah dimulai para pendahulu mereka.
Sehingga tidak terdapat masa yang kosong dari kegiatan para sejarawan yang
menuturkan “masa kini” mereka dengan menghubungkannya pada masa lalu mereka. Di
dalam mencatat sejarah itu, mempergunakan berbagai cara. Di antara mereka ada
yang hanya mencatat biografi para tokoh atau sejarah kota, atau sejarah suatu
dinasti atau sejarah umum. Dengan kata lain, tema-tema sejarah semakin banyak
ragamnya.