Sunday, August 11, 2013

Pendekatan Riwayat Dan Analitis Dalam Historiografi Islam

Share On:



A.  Historiografi dengan Riwayat
Al-Qur’an mengemukakan bahwa ucapan Rasulullah saw. Harus dijadikan pegangan (Q.S al-Hasyr : 7) dan perjalanan hidupnya merupakan cita ideal dan pediman bagi kaum Muslimin (Q.S al-Ahzab: 21). Ayat-ayat Al-Qur’an ini secara langsung memberi motivasi kepada umat Islam untuk menkaji ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah saw. Oelh karena agama Islam turun di Arab, maka bangsa Arab merasa bahwa mereka membawa misi yang agung dan pada abad ke- 2H mereka telah berhasil melewati suatu periode penting. penaklukkan-penaklukkan besar sebelum dan pada masa itu membuat mereka merasa bahwa mereka mempunyai perang historis yang penting pula.  Semua hal tersebut semakin mendorong minat merka untuk melakukan kajian-kajian sejarah.
Sesuai dengan motivasi Al-Qur’an tersebut di atas, pengkajian tentang sejarah dikalangan kaum Muslimin pertama-tama berkenaan dengan kisah kehidupan nabi Muhammad saw. beserta peperangan yang dilakukannya. Apalagi ulama Islam, dengan berstandar kepada ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya Q.S al-Hasyr : 7 tersebut, menyatakan bahwa ucapan, perbuatan, dan ketetapan nabi Muhammad saw. merupakan sumber syariat Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, aktivitas pengumpulan informasi yang berkenaan dengan ucapan, perbuatan dan ketetapan (hadits-hadits) Rasulullah saw. Itu juga mempunyai makna keagamaan yang tinggi.
Sementara itu pula, kaum Muslimin pun membutuhkan petunjuk sunnah Nabi dalam menghadapi berbagai urusan pemerintahan dan kehidupan sosial. Hal itu karena Islam membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat Arab. Masalah-masalah politik dan sosial yang mereka hadapi betul-betul berbeda dengan maslah-masalah politik dan sosial pra Islam. Oleh sebab itu, proses pemerintahan Nabi Muhammad yang berlangsung kurang lebih selama sepuluh tahun di Madinah dilihat sebagai pedoman yangharus mendapat perhatian besar untuk mereka teladani dalam menghadapi urusan pemerintahan dan sosial baru itu. Namun, perhatian itu tidak hanya terbatas pada hal ihwal Nabi saja, tapi juga terhadap para sahabat Nbai yang kemudian juga menjadi panduan bagi orang-orang setelah mereka, baik dalam ucapan maupun tindakan. Karena itu, perhatian pun juga ditujukan terhadap berita-berita tentang para sahabat itu. Di samping itu, banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk Islam yang memiliki sejarah yang tercatat atau selalu dituturkan, yang tetap memelihara sejarah bangsa-bangsa mereka, juga menciptakan motivasi yang kuat bagi kegiatan penulisan sejarah di kalangan bangsa Arab muslim.
Demikinlah, menurut ‘Effat al-Sharqawi, bermulanya perhatian kaum Muslim kalangan atas terhadap sejarah. Oleh karena itu, tidak heran apabila para ahli hadits generasi-generasi pertama dikalangan kaum Muslimin, dipandang sebagai sejarawan pertama dalam Islam, karena merekalah yang paling besar perhatiannya dalam mengkaji  berbagai peperangan dan berita tentang Rasulullah saw. Mereka juga telah berhasil menciptakan suatau metode yang menghubungkan suatu informasi sejarah (riwayat) dengan sumber-sumbernya, yang menurut ukuran sekarang, bisa dipandang memenuhi ideal penelitian historis dan ketelitian ilmiah. Metode itu pada mulanya adalah metode yang digunakan oleh ahli hadits untuk menilai kesasihan suatu riwayat hadits. Di dalam ilmu hadits, memang terdapat suatu metode ilmiah dalam meneliti dan menilai kredibilitas dan validasi sumbert-sumber berita (hadits) lewat persyaratan yang ketat. Seorang sejarawan dalam mengkaji sejarah akan memulai kajiannya dengan meneliti validitas informasi sejarah yang diperolehnya, memperbandingkannya dengan informasi-informasi lain, lalu mengambil keputusan tentang validitas informasi-informasi (berita, riwayat) itu, berdasarkan orisinalitas data dan ketelitian penutur (perawi) dalam mendeskripsikan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Dalam hal ini, metode para ahli hadits, ketelitina, keadilan dan keselektifitas terhadap penutur, sangat membantu sejarawan.
Karena itu, menurut Effa al-Sharqawi, pertumbuhan awal ilmu sejarah dilkalangan kaum Muslimin bercampur aduk dengan ilmu hadits dari segi materi dan metodenya. Adapun materinya berputar di seputar kisah Nabi Muhammad saw. Dan peperangan kaum muslimin dan kisah mereka. Sedangkan metodenya lebih diarahkan untuk mengemukakan sanad-sanad dan mengukuhkan riwayatnya dan mendeskripsikan setiap berita. Meskipun maghazi (peperangan) secara etimologis berkenaan dengan perang yang dilakukan Rasulullah saw. Tetapi buku-buku tentang maghazi itu pada umumnya membahas masa hidup nabi Muhammad saw. Seluruhnya.
Urwah ibn al-Zabayr dalam karyanya tentang al-maghazi, misalnya, mengemukakan sanad-sanad, padahal pada masa itu belum juga ditetapkan patokan-patokan yang teliti dalam menguji suatu riwayat.
Murid dari pelanjut Urwah ibn al-Zabayr, Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, seperti halnya para sejarawan Muslim sebelum dan pada masanya. Seorang ahli hadits yang mengambil sebagian besar materi sejarah dari hadits Nabi.
Dari segi ketelitian, kejelasan, dan kejujuran, kisah-kisah para sejarawan awal ini lebih dekat dengan metode para ahli hadits, karena, seorang ahli hadits, mereka dikenal memiliki sikap menahan diri dari uraian yang berlebih-lebihan. Oleh karena itulah, mereka para ahli hadits itu, mengeritik pedas kitab al-sirah, karya Ibn Ishaq. Sekalipun bisa dipandang sebagai sumber acuan sejarah zaman jahiliah dan permulaan Islam, menurut para ahli hadits, penyusunnya, ibn Ishaq berusaha membebaskan dari dari metode riwayat manurut para ahli hadits. Di dalam karyanya itu, yang sampai ke tangan kita lewat karya Ibn Hisyam, riwayat-riwayat yang lemah sudah disingkirkan oleh ibn Hisyam, khususnya yang bagian dari “permulaan” yang menguraikan sejarah zaman jahiliah yang berlangsung sejak penciptaan alam semesta. Ibn Hisyam juga membuang syair-syair yang menurutnya merupakan syair-syair artifisial dan merombak metodenya sehingga lebih dekat dengan metode para ahli hadits. Informasi-informasi sejarah dalam al-Sirah karya Ibn Ishaq yang sudah diseleksi oleh Ibn Hisyam sehingga menjadi karyanya yang berjudul al-Sirah itu pandang sebagian besar para sejarawan Muslim sebagai sumber yang bisa dipercaya.
Setelah ibn Ishaq sampai penghujung abad ke-2 H telah muncul banyak sejarawan, baik dari aliran Irak maupun aliran Yaman. Dari segi materi sejarah, mereka telah memperkaya ilmu sejarah, tetapi ditangan mereka sejarah belum menunjukkan bentuknya sebagai ilmu sabagai ilmu yang mandiri kecuali pada abad ke-3 H. Di tangan para penulis sejarah abad ke-3 H, sejarah menjadi ilmu dalam pengertian yang terinci. Al-Thabari, yang riwayat hidup dan karya sejarahnya telah disebutkan pada bab sebelum ini adalah tokoh historiografi dengan riwayat, yang warisannya merentang selama tiga abad sebelumnya.
Al- Thabari menerima pelajaran ilmu-ilmu agama dari para tokoh aliran Ahlu al- Sunnah pada zamannya yang menetang keras aliran Mu’tazilah. Masa al-Thabari memang merupakan masa yanmg penuh konflik teologis antara para pengikut aliran Ahlu al-Sunnah dan para bahwa dalam sejarah al-Thabari melakukan upaya yang serupa dengan apa yang dilkukan al-Bukhari dan Muslim dalam hadits, dimana ia memilih materi sejarah yang benar dari sejumlah besar materi sejarah, yang dikemukakan dalam buku-buku para penulis dan sumber-sumber lainnya. Ia mengharuskan kerja berat tapi penting karena harus terus mencatat kejadian-kejadian yang berlangsung sampai pada masanya.
     Demikanlah metode al-Thabari dalam sejarah, sama aeperti ilmu hadits pada umumnya ketika itu, yang lebih diarahkan pada sanad, dan kritik terhadap para penuturnya tanpa meneliti isi dari teks yang dituturkan. Ini karena, menurut seorang ahli hadits, berpegang pada kredibilitas penutur saja sudah cukup. Khususnya apabila kandungan dan isi riwayat atau kisah, tidak ada yang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam
Al-Qur’an.
            Sebagian para peneliti mengkritik al-Thabari karena ketregantungannya pada riwayat itu, seolah-olah dia tidak melakukan ta’dil dan tajrih seperti yang dilakukan para ahli hadits. Namun, dalam hal ini al-Thabari mempunyai lasan tersendiri. Ketergantungannya yang demikian itu timbul karena ia menganggap bahwa hadits merupakan salah satu sumber syariah Islam yang menjadi landasan hukum fiqh, sedangkan sejarah tidak demikian.
            Namun, metode sejarah yang hanya didasarkan pada riwayat saja, menurut Effal al-Sharqawi, adakalanya menimbulkan sejumlah problem yang berkanaan dengan sumber-sumber penelitian. Al-Thabari memang selalu berupayakan untuk mengemukakan kredibilitas sanad-sanadnya. Namun, tidak semua fakta sejarah yang dikemukakannya bisa ditelusuri lewat rangkaian sanad, sampai pada suatu peristiwa yang terjadi sebelum turunnya Al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw. Al-Thabari pada waktu mengemukakan teks-teks yang berkenaan dengan peristiwa-peristiwa itu, mengacu pada kitab-kitab tafsir yang sebagian diantaranya memuat kisah-kisah Isra-iliyat. Sementara pada waktu menulis sejarah Persia, dia mendasarkan diri pada buku-buku Persia dalam bahasa Arab. Pada waktu itu ia menulis sejarah Romawi, ia mendasarkan diri pada buku-buku karya kaum Nasrani Syria, yang hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kekaisaran Romawi. Tidak semua sumber tersebut, menurut Effat al-Sharqawi, merupakan teks-teks agama yang bisa dipegang para sejarawan dan tidak semua pula bisa dilacak, dalam suatu rangkaian para penutur, sampai ke sumber-sumber yang asli, apabila para peneliti ingin benar-benar merasa yakin terhadap kredibilitas apa yang dituturkannya. Malah sebagain penyusun yang kisahnya dikutip al-Thabari tidaklah dikenal.
            Itulah salah satu problem besar yang menurut Effat al-Sharqawi, dihadapi para sejarawan Muslim pada fase pertama yang mendasarkan diri pada historiografi dengan riwayat, yakni historiografi yang sabagian besar perhatiannya diarahkan pada riwayat dan sanad dan membuat konsepsi sejarah berdasarkan konsepsi ilmu hadits. Setelah masa al-Thabari metode penelitian histori sepeti ini mengalami perkembangan.







B.  Historiografi dengan Dirayah.
Perkembangan metode sejarah itu berlangsung sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam sejarah Islam. Para teolog dan filosof, khususnya yang mengenut aliran Mu’tazilah, menurut Effat al-Sharqawi, tidak mau menerima metode historiografi dengan riwayat, karena metodr itu tidak memperhatikan prinsip-prinsip rasional dalam menginterpretasikan teks-teks sejarah. Para teolog aliran Mu’tazilah itu menekankan peran akal dan menekankan ide kausalitas dalam melihat dan membaca peristiwa sejarah. Bahkan sebagian penganut aliran Mu’tazilah menolak berita-berita, yang kredibilitsanya hanya didasarkan padda keadilan dan ketelitian para penutur. Suatu riwayat, hendaknya dilakukan oleh bukti rasio, karena menurut mereka para penutur tersebut cenderung melakukan kebohongan.
Aspek inteletual itulah, menurut aliran Mu’tazilah yang merupakan sumber pertama yang harus dipegang para peneliti dalam menerima riwayat dan berita sejarah, termasuk hadits. Hal itu tentu mempunyai dampak terhadap metode penelitian sejarah. Dikalangan kaum Muslimin setelah al-Thabari, setelah kebudayaan Islam memasuki kebudayaan baru, menurut Effat al-Sharqawi, penelitian sejarah beralih dari historiografi dengan riwayat, menuju historiografi berdasarkan pengelaman dan percobaan langsung.
Jika pada masa al-Thabari dan sebelumnya, penulisan sejarah didasarkan pada riwayat dan sangat tergantung pada apa yang dituturkan, maka pada sesudahnya mulai muncul upaya untuk merujuk langsung kepada sumber-sumber pertama. Selain itu, para sejarawan juga meperhatikan berbagai faktor yang mempunyai dampak besar terhadap gerak sejarah.
Perkembangan seperti itulah yang melahirkan historiografi dengan dirayah. Yang dimaksud dengan historiografi dengan dirayah adalah metode sejarah yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan secara langsung dari satu segi dan interpretasi rasional dari segi lain. Metode ini melngkapi metode historiografi dengan riwayat sebelumnya. Historiografi dengan dirayah juga menaruh perhatian terhadap isi teks sejarah yang diututurkan, tetapi teks itu baru diterima setelah melalui kritik intelektual dan rasional.
Para sejarawan historiografi dengan dirayah ini memiliki wawasan histori yang konperhensif yaitu menaruh perhatian terhadap pengalaman, penyaksian, dan pengamatan secara langsung, di samping perhatian terhadap riwayat yang dituturkan.
Jadi, dibangdingkan dengan historiografi dengan riwayat, historigrafi dengan dirayah dilengkapi dengan perhatian yang besar terhadap variabel-variabel yang menentukan gerak sejarah. Dengan demikian para sejarawan, abad-abad keempat dan kelima Hijriah lebih menaruh perhatian terhadap realitas keinginan manusia yang menurut mereka terpengaruh oleh kondisi-kondisi geografis, iklim, dan sosial.
Sejak berkembangnya historiografi dengan dirayah ini, menurut Effat al-Sharqawi, para ahli hadits dan ahli fikih mulai meninggalkan kegiatan pencatatan sejarah dan menyerahkan kegiatan itu kepada para penyusun yang memiliki wawasan dan tinjauan kesejahterahan baru ini, karena mereka dipandang lebih mampu mengamati berbagai manifestasi sejarah dan kultural yang menjadi corak berbagai kawasan Islam.  Perkembangan metode sejarah ini memang secara kebetulan berbarengan dengan semakin maraknya penulisan sejarah lokal dalam historiografi Islam.
Historiografi dengan dirayah ini, sebagaimana disebutkan di atas, mengalami perkembangan dari masa ke masa, dan mencapai puncaknya pada diri Ibn Khaldun. Untuk melihat perkembangan itu, kita akan melihat dan mengkaji karya beberapa sejarawan muslim yang secara signifikan memberi saham pada perkembangan itu. Yang pertama dan dapat dipandang sebagai pelopornya adalah al-Mas’udi yang hampir semasa dengan al-Thabari. Sebagaimana juga disebutkan, dua diantara karya-karyanya dalam bidang sejarah yang sampai ke tangan generasi kita adalah Muruj al-Dzahab dan al-Tanbih wa al-Isyraf. Di samping seorang sejarawan, al-Mas’udi juga dikenal sebagai seorang pengembara. Melalui pengembaraannya, dia menghimpun materi sajarah dari kawasan-kawasan yang luas sekali. Dalam pembahasannya mengenai persoalan-persoalan sejarah, ia menaruh perhatian terhadap dampak iklim dan lingkungan geografis.
Selama perantauannya, ia tidak henti-hentinya mengadakan penelitian, dan menuntut ilmu pengetahuan, sehingga terhimpunlah fakta dan data sejarah serta geografi yang belum pernah dihimpun oleh siapa pun. Dengan demikian data sejarah yang dihimpunnya adalah data-data yang objektif. Dalam kebudayaan Islam, menurut Effat al-Sharqawi mungkin al-Mas-udi lah yang pertama kali mebina metode sejarah yang didasarkan pada metode yang objektif itu.
Pengembaraan dalam rangka memperluas cakrawala ini merupakan hal yang baru. Memang, pada masa sebelumnya para ahli hadits telah menempuh perjalanan jauh dan terkenal, untuk mendengarkan dan meriwayatkan sebuah hadits. Namun, dalam perjalanan itu, para ahli hadits tidak banyak menaruh perhatian terhadap aspek-aspek sosial, geografis dan kultural. Mereka tidak menaruh perhatian untuk mencatat atau mengungkapkannya. Sementara pada masa-masa sesudahnya, mulai banyak orang yang tergelitik untuk mengadakan perjalanan jauh guna mengetahui hal ihwal negeri-negeri lain. Demikianlah halnya dengan Maqdisi, misalnya.
Di samping itu, dalam corak penulisan sejarah dia juga melakukan pembaruan. Sebelumnya corak penulisan sejarah yang paling populer adalah corak hawliya, yaitu penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan kronologi peristiwa sejarah yangdidasarkan pada urutan tahun terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Berbeda dengan corak seperti itu, al-Mas’udi menyusun karyanya Muruj al-Dzahab sesuai dengan urutan negara, raja, dan bangsa. Dengan demikian, dia sudah menggunakan corak tematik. Corak ini besar dampaknya terhadap tulisan-tulisan para sejarawan setelahnya, khususnya Ibn Khaldun.
Di samping menggunakan pendekatan pengamatan langsung, dalam menelusuri fakta-fakta sejarah dia juga menggunakan banyak dokumen.
Al Mas’udi tahu bahwa ia mengajukan suatu metode baru yang tidak hanya terbatas pada berita sejarah saja, tapi juga berupaya mencatat pengalaman langsung dan pengamatan teliti disertai tinjauan tuntas, yang tidak memisahkan antara menusia dan lingkungan kultural, goegrafis dan ekonomisnya. Dengan demikain al-Mas’udi mengkritik para sejarawan yang mencukupkan diri pada riwayat tanpa berupaya mengamati peristiwa sejarah secara langsung dan ia merasa bangga dengan apa yang dilakukuannya itu.
Pentingnya pengamatan langsung seperti itu diungkapkan  pula oleh sejarawan pengembara, al-Maqdisi tersebut di atas. Berkenaan dengan aktivitas pengembaraannya, di dalam karyanya yang berjudul Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim, al-Maqdisi berkata: “semuanya itu disertai penelitian yang kulakukan, terhadap semua aliran yang ada, sehingga aku memahaminya, memepelajari bahasa-bahasa dan warna-warni kulit, sehingga aku bisa mengurutkannya, memahami distrik-distrik dan meneliti setiap terusan dengan hawanya, berat airnya, dan pemeliharaannya”. Dia lebih lanjut mengatakan: “dan betapa bedanya orang yang menyusun sebuah karya tentang kebudayaan, antara orang yang mengalami dan mengamatinya langsung dengan orang yang hanya mendengarnya”.
Demikianlah pengamalan al-Mas’udi dalam berbagai perjalanan yang dilakukannya. Dari uraiannya itu tampak seperti tokoh sezamannya, Mas’udi ia mengkritik metode yang mencukupkan diri pada riwayat dan ia menyerukan dilakukan pengamatan langsung, eksperimen khusus dan perhatian terhadap berbagai gejala keragaman yang timbul dari kesatuan pada setiap tempat dan berakhir padanya.
Namun, upaya Mas’udi, dengan uraiannya tentang corak-corak geografis d dalam uraiannya tentang sejarah dipandang sebagai cikal-bakal penekanan tentang hubungan yang erat antara kondisi-kondisi regional dan gerak sejarah.
Perubahan dalam metode sejarah yang demikian itu telah berjasa memperkaya metode sejarah dikalangan kaum Muslimin. Kepada al-Mas’udi menurut Effat al-Sharqawi, dinisbatkan kepeloporan dalam pengembangan metode sejarah, dari sekedar memebentuk deskripsi historo-politis yang terbatas ada apa yang terdapat dalam sanad-sanad menjadi sejarah kebudayaan masyarakat-masyarakat manusia di dunia ini pada umunya. Dalam hal ini Mas’udi melontarkan berbagai persoalan yang benar-benar bisa dipandang baru dalam kebudayaan Islam. Ibn Khaldun sendiri mengakui peran al-Mas’udi dalam mengembangkan sejarah di kalangan kaum Muslimin. Menurut Ibn Khaldun, metode al-Mas’udi itu merupakan contoh yang patut diikuti setelah timbul kebutuhan sangat mendesak kepada para penulis semisal al-Mas’udi akibat terjadinya perubahan-perubahan kondisi yang ada, khususnya yang berkaitan kawasan Islam sebelah Barat yang tidak banyak mendapat perhatian dari al-Mas’udi.
Sejarawan kedua yang memberi saham besar dalam perkembangan metode historiografi dengan dirayah adalah Ibn Miskawayh (w. 421H/1030 M). Karya sejarahnya berjudul Tajarib al-Umam wa Ta’aqub al-Humam. Karyanya ini telah diterbitkan kembali di Kairo, Mesir pada tahun 1915-1916 dalam tiga jilid dan sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Margoliouth dan Amedroz dengan judul The Eclipse of the Abbasid-Caliphate dan dipublikasikan  pada tahun 1920-1921.
Karya itu dimulai dengan uraian tentang penciptaan alam semesta lalu uraian tentang sejarah berbagai bangsa secara ringkas. Dalam sejarah bangsa-bangsa itu termasuk di antaranya sejarah Persia Kuno, sejarah bangsa Romawi dan Turki serta akhirnya sejarah kaum Muslimin sampai 329 H.
Dalam uraiannya tentang sejarah Islam, Ibn Maskawyh mendasarkan diri pada karya al-Thabari tetapi dengan membuang sanad-sanadnya, meringkas riwayat-riwayatnya dan sengaja memilih riwayat-riwayat yang memiliki nilai historis. Semuanya itu kemudian ia sajikan dengan ringkas dan sistematis.
Apabila al-Mas’udi lebih banyak tertarik pada aspek-aspek sosial dan geografis dari negeri atau lingkungan yang ia catat sejarahnya, Ibn Maskawayh melalui karyanya itu dapat diketahui bahwa ia lebih banyak menaruh perhatian terhadap masalah politik dengan maksud agar mengetahui hal ihwal para raja dan materi disekitarnya. Dalam hal ini, perhatiannya lebih banyak tercurah untuk mengikhtisarkan suri teladannya dalam sejarah.
Dengan demikian pengamatan eksperimen dan penelitian secara langsung yang dilakukan al-Mas’udi dalam historiografi dengan dirayah itu diperkaya lagi dengan pengamatan terhadap makna sejarah sendiri sebagai pelajaran moral yang menurut Effat la-Sharqawi didayagunakan Ibn Maskawayh demi tujuan-tujuan filosofis dan praktis.
Dengan memberi judul bagi karya sejarahnya Tajarib al-Umam, Ibn Maskawayh bermaksud bahwa apa yang dilakukan bangsa-bangsa baik oleh para raja maupun oleh orang biasa merupakan suri tauladan, pelajaran dan petunjuk bagi orang yang menghendakinya. Dalam bidang moral ini, dia memnag dikenal senagai tokohnya dan ia mempunyai karya dalam bidang ini berjudul Tahdzib al-Akhlaq. Menurutnya, setiap orang mempunyai penglaman sendiri, tetapi landasan moral pada semua orang adalah satu. Dengan demikian ide suri tauladan menurutnya berkaitan dengan seruan untuk memperoleh niali-nilai moral, dalam meperlajari sejarah. Jadi, sejarah menurut Ibn Maskawayh merupakan wanaha untuk mengemukakan tindakan-tindakan yang baik. Baginya, sejarah merupakan hal yang bermanfaat untuk mendidik generasi mendatang. Seakan ia menulis sejarah demi nilai-nilai moral. Dengan karyanya itu ia bermaksud, agar pengalamn berbagai bangsa yang telah silam bisa dijadikan suri teladan yang bermanfaat dan merupakan contoh yang berguna untuk dibaca.
Dalam karyanya itu kadang-kadang Ibn Maskawayh mengemukakan hal-hal yang tampak remeh tapi mengandung pelajaran yang besar. Misalnya saja tulisan tentang orang-orang Turki yang sengaja memilih para khalifah dinasti Abbasiyah, dari keluarga dinasti itu yang masih belia, bodoh, pelupa, atau yang suka berfoya-foya. Orang-orang Turki itu juga sengaja tidak memberi petunjuk tentang buku-buku yang baik kepada para khalifah agar khalifah itu banyak mengetahui ulah mereka.
Mengetahui hal ini Margoliouth menyatakan bahwa kelebihan karya Ibn Maskawayh terletak pada kenyataan bahwa ia berupaya memikirkan dan merenungkan peristiwa-peristiwa sejarah untuk kemudian menimpulkan makna moral yang terkandung dalam berita-berita tentang para raja, amir dan penguasa yang dipaparkan. Karena itu, didalam penilaiannya, Ibn Maskawayh cenderung bersikap netral dalam menilai tokoh yang ia kemukakan. Meskipun ia berdedikasi kepada dinasti Buwaih tetapi ia tidak menyembunyikan keburukan-keburukan dinasti itu, malah ia memberikan nilai yang pedas. Pada umunya ia cenderung memberikan penilaian yang buruk terhadap pribadi-pribadi yang ia catat kehidupannya. Bahkan, kebanyakan kisah yang dituturkan Ibn Maskawayh merupakan kisah ambisi, konspirasi dan pengkhianatan. Ia juga mencatat skandal-skandal, tipu daya dalam menurunkan atau memilih para materi dan berbagai cara yang mendorong orang untuk mengkhianati tuan atau keluarganya. Mungkin Ibn Maskawayh beruasaha mencatat hal-hal yang demikian itu, menurut Margoliouth guna dipelajaridan diketahui para pengelola negara.
Ringkasnya, jika Mas’udi memberikan saham kepada historiografi dengan dirayah dengan memakai metode eksperimen langsung dan pengamatan pribadi, Ibn Makawayh menambahkan metode kontemplasi teoritis dan renungan intelaktual.  
Tokoh sejarawan Muslim lainnya yang juga memberi saham besar mungkin malag terbesar dan terkenal terkenal terhadap perkembangan historiografi dengan dirayah adalah Ibn Khaldun yang riwayat hidup dan kaerya sudah kita bahas sebelumnya.
Sebagaimana telah disebutkan, Ibn Khaldun banyak meneliti karya-karya para sejarawan sebelumnya, khususnya setelah ide sejarah melepaskan diri dari ketergatungan pada riwayat dan mempertimbangkan pemikran keragaman kultural dalam kebudayaan-kebudayaan manusia serta analisa rasional terhadap materi sejarah yang dilakukan sejak masa al-Mas’udi.
Apabila upaya para sejarawan sebelum Ibn Khaldun sudah lebih terarah pada kepahlawanan individual dalam menginterpretasi sejarah maka Ibn Khaldun memperkenalkan interpretasi sosial integral dalam melihat peristiwa sejarah dan memandang pahlawan sebagai jawaban sosial yang riil terhadap tangtangan masanya. Karena itu Ibn khaldun berupaya mengkaji hubungan antara lingkungan dan kehidupan sosial, gejala-gejala ekonomis dan berupaya menginterpretasikan hukum-hukum yang mengendalikannya. Menurutnya, masyarakat manusia merupakan  kelompok politik, dimana sistem politik di dalamnya berkaitan erat dengan corak-corak geografis dan ekonomis.
Dalam metode pemikiran sejarahnya, Ibn Khaldun berupaya menemukan hukum yang mengendalikan perkembangan. Ia melakukan suatu pekerjaan inovatif yang belu  pernah dilakukan orang sebelumnya. Di samping berbagai berita masa lalu, sejarah menurutnya sebagaimana telah disebutkan secara batiniah merupakan tinjauan, penelitian, dan analisa tentang manusia dan prinsip-prinsipnya dan ilmu yang mendalam tentang hal ihwal peristiwa sejarah dan faktor penyebabnya. Menurutnya, sejarah bukan hanya merupakan kisah tentang orang-orang terdahulu untuk disuri teladani, diambil hikmahnya, dan menjadi hiburan belaka, tetapi pada substansinya merupakan filsafat yang mendalam tentang hukum-hukum kemasyarakatan.
Ibn Khaldun ju memiliki pengetahuan kuas tentang khazanah filosofis kaum Muslimin itu mampu mengasaskan suatu aliran rasional yang realitis dalam menganalisa hukum-hukum masyarakat manusia pada masa itu. Berkenaan dengan hukum-hukum umum yang mengendalikan sejarah itu dapat dilihat pada buku pertamanya yang lebih dikenal dengan al-Muqaddimah tersebut. Dalam “kata pengantar”-nya, dia berkata: “Dalam karya ini aku uraiakan hal ihwal kebudayaan dan peradaban serta hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat manusia. Ini semua akan membuat anda memahami segala penyakit makhluk dan penyebabnya dan mengetahui bagaimana para ahli tentang negara-negara memasuki pintu-pintu gerbangnya”. Dalam buku al-Muqaddimah ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah satu sebab kekeliruan yang menimpa para sejarawan adalah tidak mengetahui dan menguasai prinsip-prinsip dan hukum-huku kebiasaan serta politik, karakter kebudayaan dan hal ihwal dalam masyarakat manusia. Seringkali para sejarawan terjatuh dalam kekeliruan-kekeliruan dalam menulis kisah sejarah karena tidak memperhatikan tabiat-tabiat makhluk pada umunya dan manusia pada khususnya.
Oleh karena itu buku pertama Ibn Khaldun ini membahas tabiat kebudayaan dan masyarakat manusia. Buku ini terdiri dari enam bab. Bab pertama menguraikan dampak lingkungan terhadap tubuh manusia, moralnya, kondisi-kondisinya, dan kebudayaan yang tumbuh disekitarnya. Bab kedua buku ini menguraikan tentang kebudayaan kaum Badui, bangsa-bangsa yang terbelakang dan berbagai suku dengan kondisi masing-masing dan mempertimbangkan antara kaum Badui dan penduduk kota keistimewaan masing-masing. Bab ketiga menguraikan tentang negara, karajaan, khilafat, peringkat-peringkat kekuasaan, pertumbuhan, perkembangan dan keruntuhan negara-negara. Bab keempat menguraikan tentang berbagai manifestasi kebidayaan kota. Bab kelima menguraikan tentang penghidupan dan mata pencaharian dengan segala aspeknya. Dan bab keenam menguraikan berbagai cabang ilmu pengetahuan, pengajaran, sistem-sistemnya, dan seluruh aspek-aspeknya.
Dalam karyanya itu, Ibn Khaldun berupaya menekankan interpretasi kultural terhadap sejarah. Mungki karakteristik terpenting dari metode Ibn Khaldun adalah perhatiannya yang besar terhadap hukum-hukum sosial, dalam mana fenomena-fenomena historis tunduk padanya. Fenomena sejarah, menurut  Ibn Khaldun dikendalikan oleh hukum- hukum tetap yang konstan seperti halnya fenomena-fenomena alam. Ini berarti bahwa setiap peristiwa pasti memiliki karakter dan kondisi-kondisi spesifik.
Dalam menyikapi hukum-hukum yang bernaung di bawah fenomena historis itu, Ibn Khaldun selalu mendasarkan kajiannya pada prinsip-prinsip kebudayaan atau sosiologi. Dalam hal ini Ibn Khaldun berkata: “mengenai hukum yang memilah antara yang benar dan yang keliru dalam berita dan antara yang mungkin dan yang mustahil, hendaklah kita melihat kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia dan membedakan anatara hal apa yang melekat pada diri dan merupakan tabiat, hal yang bercorak aksidental, dan hal yang tidak melekat padanya. Apabila hal yang demikian itu kita lakukan, kita akan memiliki suatu hukum, yang bisa membedakan antara yang tepat dan keliru, yang benar dan yang dusta dalam berita, berdasarkan bukti yang tidak menimbulkan keraguan lagi ”.
Namun ini tidak berati bahwa Ibn Khaldun menyatakan berlakunya determinisme yang tegar dalam sejarah. Dan sebaliknya ketiadaan determinisme mutlak itu tidak meniadakan keinginannya untuk menemukan hukum-hukum yang mengendalikan perkembangan itu. Hal ini terlihat dalam konsepsinya tentang ide sejarah yang menunjukkan keyakinannya terhadap kemampuan untuk meramalkan massa depan.
Konsepsi ilmiah tentang fenomena-fenomena historis, yang demikian itu, tidak hanya memberi ruang lingkup bagi peran pahlawan dalam persoalan interpretasi historis. Tapi ia meletakkan individu dalam sejarah dalam kedudukannya sebagai jawaban riil terhadap kondisi-kondisi masyarakatnya.
Jadi, jelas bahwa perhatiannya ditunjukkan terhadap interpretasi sosial terhadap sejarah dengan berdasarkan prinsip-prinsip kebudayaan dan hukum-hukum perkembangan. Teoti ini secara ringkasnya, seperti dikemukakan Ibn Khaldun lebih cenderung pada interpretasi sosial terhadap sejarah daripada interpretasi historis terhadap sejarah. Lebih jauh lagi teori ini mengukuhkan kausalitas sosial kultural.
Pada masa mereka dan setelahnya, aktivitas penyusunan dan penulisan sejarah tetap berlangsung. Para sejarawan tetap melangsungkan kegiatan mereka dalam mencatat sejarah dan melanjutkan rangkaiankegiatan yang telah dimulai para pendahulu mereka. Sehingga tidak terdapat masa yang kosong dari kegiatan para sejarawan yang menuturkan “masa kini” mereka dengan menghubungkannya pada masa lalu mereka. Di dalam mencatat sejarah itu, mempergunakan berbagai cara. Di antara mereka ada yang hanya mencatat biografi para tokoh atau sejarah kota, atau sejarah suatu dinasti atau sejarah umum. Dengan kata lain, tema-tema sejarah semakin banyak ragamnya.      

Newer Post Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment