Monday, December 2, 2013

Adat Dan Upacara Perkawinan Suku Bugis Makassar

Share On:


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi - yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.[1]

Perkawinan merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi umat manusia, terutama untuk mengatur pergaulan antar seorang laki—laki dan seorang perempuan yang hidup bersama dalam sebuah rumah tangga sebagai suami istri dengan sekaligus merupakan saat peralihan dari remaja ke masa berkeluarga.

Segi sosial dari suatu perkawinan adalah bahwa dalam setiap masyarakat, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga dianggap mempunyai kedudukan yang lebih dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak kawin. Sedangkan dari sudut pandang keagamaan, perkawinan merupakan suatu hal yang di pandang suci (sakral) karenanya tidaklah mengherankan jika semua agama pada dasarnya mengakui keberadaan institusi perkawinan.

Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai Negara. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan hukum Negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kedirian masing-masing dalam ruang bersama, menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.

            Menurut Abuhamid (Fadly Husein, 1999), mengemukakan bahwa perkawinan merupakan tingkah laku manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah terutama perhatian untuk melanjutkan keturunannya. Perkawinan sebagai pengatur tingkah laku seks, mempunyai fungsi dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan, yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perkembangan masyarakat dan keluarga, yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil perkawinan itu berupa suatu unit keluarga.

            Bagi masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis Makassar dan masyarakat di Indonesia pada umumnya, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga besar dari kedua mempelai. Tak heran jika perkawinan adat Bugis Makassar tidak hanya melibatkan keluarga inti kedua mempelai, tapi juga seluruh keluarga besar sehingga tak jarang jika saudara, kakak dan adik, paman dan bibi, serta para sesepuh ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan si mempelai. Upacara perkawinan di daerah Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh ritual-ritual sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai mendapat berkah dari Tuhan.



B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas maka dapat di uraikan rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.

2.      Bagaimana Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar

3.      Apa saja Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar







BAB II

PEMBAHASAN



1.      Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.

Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.

Menurut Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé (istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.

Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppémabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).

Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama. 

Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah,  perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat.

Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.



2.      Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar

1.      A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.

2.      A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.

3.      Appa'nasa/Patenre Ada

Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

4.      Appanai Leko Lompo (erang-erang)

Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko atau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau Appa'nasa.

5.      A'barumbung (mappesau)

Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.

6.      Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing)

Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.

1.    Alat/Bahan yang Digunakan

Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:

a.       Pammaja’ besar/Gentong.

b.      Gayung/tatakan pammaja’.

c.       Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.

d.      Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.

e.       Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.

f.       Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.

g.      Kelapa tunas.

h.      Gula merah.

i.        Pa’dupang.

j.        Leko’ passili.  

2.    Prosesi Acara Appassili

Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria. Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

7.      A’Bubu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu
bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya   hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

8.      Appakanre Bunting

Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh  orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.

9.      Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
            Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.

 Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.

10.  Assimorong/Menre'kawing
           Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.

11.  Appabajikang Bunting

Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.

12.  Alleka bunting (marolla)

Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.[2]

3.      Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar

Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di antaranya adalah:

1.       Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.

  1. Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui’ balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
  2. Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar
  3. Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak  tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
  4. Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status social

seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.[3]








BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pernikahan merupakan bagian terpenting dan dianggap sakral dalam kehidupan manusia yang beradab.Masyarakat Makassar meyakini bahwa, pernikahan adalah wadah tempat bersatunya dua keluarga besar.

Tradisi budaya perkawinan suku Makassar mengangkat beberapa hal seperti:

A'jangang-jangang (penyelidikan), Assuro (melamar), Appa'nassa(penentuan hari pernikahan), Appanai’ Leko Lompoa(pertunangan), A'barumbung(mandi uap bagi mempelai wanita), Appasili Bunting(pembersihan diri lahir batin), A’Bubu(membersihkan bulu-bulu halus pada ubun-ubun an alis), Appakanre Bunting(memberi makan calon mempelai), Akkorontigi(upacara penyucian diri calon mempelai), Assimorong(mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita), Appabajikang Bunting(prosesi menyatukan kedua mempelai), Allekka’ bunting(acara ngunduh mantu), ini semua dilakukan pada saat perkawinan orang-orang suku Makassar.

B.      Saran

Bagi para pembaca sudihlah kiranya untuk memberikan kritik-kritik yang membangun, agar untuk kedepan bisa menjadi penulis yang lebih baik, akurat dan terpercaya. Bagi kaum remaja sebaiknya melestarikan budaya leluhur kita, jangan sampai diabaikan karena budaya asing selalu menggoyang hati kita yang tak menentu.









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis. Inti Idayu Press, Jakarta.

Wikipedia bahasa Indonesia,diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, pada tanggal13   januari 2013 pukul 11.32

Khairil Anas,“Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar”,diakses dari http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar, pada tanggal 13 januari pukul 13.50

Samsuni, “Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis, Sulawesi diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2622/mappabotting-upacara-adat-perkawinan-orang-bugis-sulawesi-selatan, pada tanggal 13 januari pukul 14.10




[1] Wikipedia bahasa Indonesia,diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, pada tanggal13   januari 2013 pukul 11.32

[2] Khairil Anas, “Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar”, diakses dari http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar, pada tanggal 13 januari pukul 13.50

[3] Samsuni, “Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis Sulawesi, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2622/mappabotting-upacara-adat-perkawinan-orang-bugis-sulawesi-selatan, pada tanggal 13 januari pukul 14.10

Newer Post Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment