BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu
bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan sosial atau
ikatan perjanjian
hukum
antar pribadi yang membentuk hubungan
kekerabatan dan yang merupakan
suatu pranata
dalam budaya
setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi - yang biasanya intim dan
seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan.
Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.[1]
Perkawinan
merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi
umat manusia, terutama untuk mengatur pergaulan
antar seorang laki—laki dan seorang perempuan yang hidup bersama dalam sebuah
rumah tangga sebagai suami istri dengan sekaligus merupakan saat peralihan dari
remaja ke masa berkeluarga.
Segi
sosial dari suatu perkawinan adalah bahwa dalam setiap masyarakat, ditemui
suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga dianggap mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak kawin.
Sedangkan dari sudut pandang keagamaan, perkawinan merupakan suatu hal yang di
pandang suci (sakral) karenanya tidaklah mengherankan jika semua agama pada
dasarnya mengakui keberadaan institusi perkawinan.
Perkawinan
mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan
dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan bahkan
dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka
telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua,
keluarga besar, institusi agama sampai Negara. Namun, pandangan pribadi ini
pada saatnya akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan keluarga,
masyarakat, maupun ajaran agama dan hukum Negara sehingga niat tulus menjalin
ikatan hati, membangun kedirian masing-masing dalam ruang bersama, menjadi
sesuatu yang tak bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.
Menurut Abuhamid (Fadly Husein, 1999),
mengemukakan bahwa perkawinan merupakan tingkah laku manusia yang bersangkut
paut dengan kehidupan seksnya, ialah terutama perhatian untuk melanjutkan
keturunannya. Perkawinan sebagai pengatur tingkah laku seks, mempunyai fungsi
dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan, yaitu memberi ketentuan hak dan
kewajiban serta perkembangan masyarakat dan keluarga, yaitu memberi ketentuan
hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil perkawinan itu berupa suatu
unit keluarga.
Bagi masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis
Makassar dan masyarakat di Indonesia pada umumnya, perkawinan merupakan
penyatuan dua keluarga besar dari kedua mempelai. Tak heran jika perkawinan
adat Bugis Makassar tidak hanya melibatkan keluarga inti kedua mempelai, tapi
juga seluruh keluarga besar sehingga tak jarang jika saudara, kakak dan adik,
paman dan bibi, serta para sesepuh ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan
si mempelai. Upacara perkawinan di daerah Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi
oleh ritual-ritual sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar
dan kedua mempelai mendapat berkah dari Tuhan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada
pemaparan latar belakang di atas maka
dapat di uraikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana Asal-Usul
Upacara Perkawinan Suku Makassar.
2.
Bagaimana
Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar
3.
Apa saja
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.
Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara
itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti
saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan
timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin
sebuah kemitraan.
Menurut
Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng
dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné
jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné
atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé
(istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng
mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut
pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan
bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi
perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga
besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah
orang Bugis disebut mappasideppémabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh
(Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis
umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami),
terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami
sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).
Meskipun
sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang,
namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak
dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma,
2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan
petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang
baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan,
keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.
Dengan
demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan
tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan
pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan
hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat.
Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat.
Alasan lain
orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan
adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam
masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial
soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan
merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk
menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta
mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu
sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak
jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk
meningkatkan status sosial mereka.
2.
Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar
1. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
2. A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
3. Appa'nasa/Patenre
Ada
Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu
menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati
besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja
ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak
keluarga pria.
4. Appanai Leko
Lompo (erang-erang)
Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang
disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko
atau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya
berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar
daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan
waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada
atau Appa'nasa.
5. A'barumbung
(mappesau)
Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.
6. Appasili
Bunting (Cemme Mapepaccing)
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu,
dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip
dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai
pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi
bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan
dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu
atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong
Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada
dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah
usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon
mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon
mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa
tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon
suami si calon mempelai wanita.
1.
Alat/Bahan yang
Digunakan
Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam
prosesi adat ini adalah:
a.
Pammaja’ besar/Gentong.
b.
Gayung/tatakan
pammaja’.
c.
Air, sebagai media yang
suci dan mensucikan.
d.
Bunga tujuh rupanna
(tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.
e.
Ja’jakkang, terdiri
dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.
f.
Kanjoli’ (lilin),
berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.
g.
Kelapa tunas.
h.
Gula merah.
i.
Pa’dupang.
j.
Leko’ passili.
2.
Prosesi Acara Appassili
Sebelum
dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang
tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah
naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila
calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria.
Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh
kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah
tujuh atau sembilan pasang.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari
pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan
ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di
punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk
memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri
oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan
dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke
kamar untuk berganti pakaian.
7. A’Bu’bu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu’bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu’bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
8. Appakanre Bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai
dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu,
Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang
telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara
Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan
oleh orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab
orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.
9.
Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan
daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan
bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang
pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam
mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai.
Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya
kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.
Setelah
para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah
dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan
pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka
prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti
oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu
para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa
lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini
diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan
doa.Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di
rumah masing-masing calon mempelai.
10. Assimorong/Menre'kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.
11. Appabajikang
Bunting
Prosesi ini
merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai,
mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar,
pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi
dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar
mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara
Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding
di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung
sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal
ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai
wanita.
12. Alleka
bunting (marolla)
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah
pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga
diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah
sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang
tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.[2]
3.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar
Nilai-nilai
yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di
antaranya adalah:
1. Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam
ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci,
dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon
keselamatan kepada Allah SWT.
- Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui’ balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
- Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar
- Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
- Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status social
seseorang.
Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai
ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan bagian terpenting
dan dianggap sakral dalam kehidupan manusia yang beradab.Masyarakat Makassar
meyakini bahwa, pernikahan adalah wadah tempat bersatunya dua keluarga besar.
Tradisi budaya perkawinan suku Makassar mengangkat beberapa
hal seperti:
A'jangang-jangang (penyelidikan), Assuro
(melamar),
Appa'nassa(penentuan hari pernikahan), Appanai’
Leko Lompoa(pertunangan),
A'barumbung(mandi uap bagi mempelai wanita),
Appasili Bunting(pembersihan
diri lahir batin), A’Bubu(membersihkan bulu-bulu halus pada ubun-ubun an alis), Appakanre
Bunting(memberi makan calon mempelai), Akkorontigi(upacara penyucian diri calon mempelai), Assimorong(mempelai pria diantar
ke rumah calon mempelai wanita), Appabajikang
Bunting(prosesi menyatukan
kedua mempelai), Allekka’
bunting(acara ngunduh mantu), ini semua dilakukan
pada saat perkawinan orang-orang suku Makassar.
B. Saran
Bagi
para pembaca sudihlah kiranya untuk memberikan
kritik-kritik yang membangun, agar untuk kedepan bisa menjadi penulis yang lebih baik, akurat dan
terpercaya. Bagi kaum remaja sebaiknya melestarikan budaya leluhur kita, jangan
sampai diabaikan karena budaya asing selalu menggoyang hati kita yang tak
menentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan
Historis Terhadap Pola Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis. Inti
Idayu Press, Jakarta.
Wikipedia bahasa Indonesia,diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, pada tanggal13
januari 2013
pukul 11.32
Khairil Anas,“Prosesi Pernikahan Ala Adat
Makassar”,diakses
dari http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar, pada tanggal 13 januari pukul 13.50
Samsuni, “Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang
Bugis, Sulawesi diakses
dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2622/mappabotting-upacara-adat-perkawinan-orang-bugis-sulawesi-selatan, pada tanggal 13 januari pukul 14.10
[1] Wikipedia
bahasa Indonesia,diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, pada tanggal13 januari 2013 pukul 11.32
[2] Khairil Anas, “Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar”, diakses dari http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar, pada tanggal 13 januari pukul 13.50
[3] Samsuni, “Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis
Sulawesi, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2622/mappabotting-upacara-adat-perkawinan-orang-bugis-sulawesi-selatan, pada tanggal 13 januari pukul 14.10