Wednesday, November 20, 2024

Agama Dan Kepercayaan Suku Toraja

Share On:

 
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Dari keterangan tersebut maka penulis mengangkat sebuah tulisan berjudul “Kebudayaan Toraja dalam Segi Agama dan Ritual”.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas maka dapatlah dirumuskan permasalahan dalam penulisan tugas final Kebudayaan Sulawesi selatan ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana perkembangan agama dan kepercayaan di Toraja pada masa lampau?
2.      Apa saja yang menjadi ritual-ritual penting yang sering dilaksanakan masyarakat Toraja?
3.      Bagaimana Prosesi Ritual Rambu Solo di Tana Toraja?




PEMBAHASAN
KEBUDAYAAN TORAJA (PROSES UPACARA RAMBU SOLOK)

A.  Agama dan Kepercayaan
Jauh sebelum masyarakat menganut Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu kepercayaan yang bersifat animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo.  Pada masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya sebagian kecil yang menganut agama Islam.
Sebelum masuknya agama, baik kristen maupun Islam, masyarakat Toraja menganut kepercayaan leluhur yang telah diwariskan turun temurun sampai saat ini. Masyarakat Toraja percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia mempunyai nyawa, bahkan selanjutnya nyawa manusia hidup terus walaupun mereka sudah meninggal. Kepercayaan dalam keseharian seperti orang yang sudah meninggal, biasanya diberi makan, minum bahkan ada saja yang diberikan pada jam makan. Ini menandakan bahwa mereka percaya seolah-olah si mati ini masih hidup karena selalu diberi kebutuhan makan dan minum walaupun sudah meninggal atau ma’pakande tomate. [1]   
Kepercayaan turun temurun dianggap sebagai agama dan kepercayaan asli dan lebih dikenal dengan nama Aluk Todolo. Menurut L. T. Tangdilintin ajaran Aluk Todolo (Aluk adalah agama aturan, Todolo adalah leluhur). Jadi Aluk Todolo berarti agama leluhur.  Aluk Todolo adalah salah satu bentuk kepercayaan animisme yang beranggapan bahwa tiap benda atau batu mempunyai kekuatan dan salah satu sistem religi yang secara religi tradisional telah dianut oleh warga masyarakat Toraja sejak abad IX Masehi dan tetap diwariskan secara turun-temurun hingga sekarang.
Menurut Tangdilintin, Aluk Todolo adalah salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta). Aturan Aluk diturunkan pada Datu Lukku yang berisi aturan agama bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah. Penyembahan ditunjukan pada Puang Matua sebagai sang pencipta yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang Matua sebagai sang pencipta memberi kekuasaan kepada deata-deata (sang pemelihara).
Ajaran Aluk Todolo yang memelihara pemujaan kepada kedua aliran tersebut diatas, dalam ajaran Aluk Todolo dikenal 3 (tiga) golongan deata yaitu:
a.     Deata Tangga Langi Sang (Pemelihara di Langit)
b.    Deata Kapadanganna  Sang Pemelihara di Bumi
c.     Deata Tangana Padang, pemelihara menguasai segala isi tanah.
Aluk maka manusia harus menyembah kepada tiga aturan yaitu:
1.      Puang Matua
2.      Deata-Deata
3.      Tomembali Puang[2]
Berdasarkan ketiga aluk diatas jelaslah bahwa ajaran Aluk Todolo mengkonsepsikan adanya struktur dewa-dewa yang tersusun vertikal.
Cara penyembahan kepada ketiga pihak diatas oleh penganut Aluk Todolo dilakukan dengan saji-sajian persembahan. Persembahan yang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai tingkatannya masing-masing:
a.       Penyembahan dilakukan terhadap sang pencipta yaitu Puang Matua sebagai upacara tertinggi dengan mempersembahkan hewan.
b.      Persembahan kepada sang pemelihara yaitu ditujukan kepada deata-deata (dewa-dewa) dan mempersembahkan korban.
c.       Persembahan kepada Tomembali Puang (pengawas) dilakukan oleh keturunannya untuk memperingati arwah nenek moyang dan tetap dihormati.[3]
Agama yang dianut sejak dahulu kala bahkan sampai sekarang meskipun tidak seberapa banyak yang disebut Aluk Todolo dapat diartikan agama. Aturan atau upacara Todolo artinya leluhur atau nenek moyang. Jadi maksudnya adalah agama leluhur. Menurut sejarah kebudayaan Toraja. Aluk Todolo ini telah dianut oleh suku bangsa Toraja sejak kira-kira abad IX, yang dahulu dikenal dengan ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitung Ratu Pitung Pulo atau Aluk Sanda Pitunna (ajaran tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tuju) sebagai ajaran yang berdasarkan tujuh asas hidup dan kehidupan. Ketujuh asas ini lahir dari asas animisme tua dengan mendapat pengaruh dari ajaran Kofisius dan ajaran hidup hindu.
Menurut ajaran Aluk Todolo dikenal ada tiga unsur yang disembah seperti yang diuraikan oleh L.T. Tandilintin adalah sebagai berikut:
1. Puang Matua, yaitu unsur kekuatan yang paling tingg sebagai pencipta segala isi Bumi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penciptaan makhluk hidup ada delapan unsur yang diciptakan, yaitu nenek manusia bernama La Ukka, nenek kerbau bernama Manturuni, nenek ayam bernama Lamem, nenek kapas bernama La Ungku, nenek hujan bernama Pong pirik-pirik, nenek besi bernama Irako, dan nenek racun bernama Marrante.
2. Deata-deata, ialah unsur yang diberikan tugs oleh Puang matua untuk memelihara dan menguasai bumi. Secara umum deata-deata tersebut dapat dibagi atas tiga yaitu:
a. Deata Tangngana Langik (menguasai dan memelihara langit dan cakrawala)
b. Deata Kapadangan (menguasai dan memelihara seluruh isi permukaan Bumi)
c. Deata Tangngana  (menguasai dan memelihara segala isi tanah, sungai, dan laut).
3. Tomembali Puang disembah dengan upacara yang dilaksanakan disebelah barat (Tongkonan atau Tongkonan Layuk) atau disekitar kubur dimana mayat dikuburkan, dengan korban persembahan berupa babi dan ayam.

B.  Jenis-jenis Ritus
Jenis-jenis upacara ritual dimasyarakat Toraja dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara rambu tukak (upacara yang berkitan dengan kehidupan) dan upacara rambu solok (upacara yang berkaitan dengan kematian). Pelaksanaan jenis-jenis upacara yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu kelompok harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memulai upacara pada kelompok yang lain.[4]
a.    Upacara Rambu Tukak
Upacara rambu tukak adalah yang berkaitan dengan kesyukuran, kesukaan, kelahiran, perkawinan dan keberhasilan panen, yang diatur dalam Aluk Rampe Mataallo (aturan upacara yang dilakukan pada saat terbit sampai tengah hari) dengan tempat pelaksanaan selalu berada disebelah timur Tongkonan atau orientasinya kearah timur. Tingkatan-tingkatan upacara Rmbu Tukak adalah sebagai berikut:
1.      Kapuran Pangngan (penyajian sirih dan pinang) biasanya dilakukan dirumah tempat tertentu seperti rumah dengan medium adalah menhir. Tujuannya adalah untuk menghajtkan bahwa sesuatu kelak akan mengadakan upacara tertentu.
2.      Piong Sanglampa (persembahan satu batang lemang) yang diletakkan dipematang sawah atau persimpangan jalan yang dialasi dengan pisang, biasanya ditempatkan pada suatu bongkahan batu, altar, atau dibawah pohon, dengan maksud sebagai tanda bahwa dalam waktu dekat akan diakan upacara persembahan kurban agar para  deata dan tomembali puang dapat memberi keselamatan.
3.      Menammu, yaitu suatu upacara dengan kurban berupa ayam, babi yang ditujukan kepada Deata-deata yang menguasai suatu daerah dengan harapan untuk memperoleh keselamatan dan keberhasilan panen.
4.      Makpakande Deata diong Padang, yaitu upacara kurban yang mempersembahkan seekor babi atau lebih yang dilaksanakan didepan rumah sisi timur. Biasanya sesajen diletakkan didepan menhir (basse) yang terdapat pada sudut timurlaut Tongkonan. Tujuannya untuk keselamatan manusia yang tinggal dirumah Tongkonan.
5.      Massurak Tallang. Yaitu upacara yang dilakukan setelah semua tingkatan upacara tersebut telah dilakukan, dengan tujuan sebagai tanda ucapan syukur kepada dewa atas keselamatan dan keberhasilan panen. Korban persembahan yaitu beberapa ekor babi dan ayam.
6.    Merok yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua dengan korban persembahan utama adalah kerbau, babi dan ayam. Tujuannya yaitu sebagai tanda syukur tas keselamatan, keberhasilan panen, selesainya pembangunan Tongkonan atau peresmian To MembaliPuang menjadi Deata.
7.    Upacara menolak balah, terdiri dari : a) massalu-salu, yaitu upacara yang bertujuan menghindari cobaan dari penyakit atau rintangan dalam melakukan sesuatu, b) makdampi, yaitu upacara pengobatan terhadap orang sakit, c) makbungi yaitu upacara mengelilingi desa untuk memohon kepada deata keselamatan dari malapetaka yang sementara menimpa masyarakat.
b.    Upacara Rambu Solok         
Upacara rambu solok adalah upacara yang berkaitan dengan kematian dan kedukaan, yang diatur dalam Aluk Rampe Matampu (aturan upacara yang dilaksanakan pada sore hari).[5] Kebanyakan dinyatakan dalam upacara Rambu Solok merupakan suatu peristiwa yang mengandung dimensi religi dan sosial. Berdasarkan stratifikasi sosial maka upacara kematian di Tana Toraja dapat dibagi atas empat yaitu:
1.      Upacara dislilik, yaitu upacara kematian bagi masyarakat dari tanak kua-kua. Mayat tidak boleh disimpan bermalam dirumah dan dikuburkan pada sore hari atau malam hari. Bagi yang tidak mampu secara ekonomis biasanya tanpa disertai dengan korban dan bagi yang mampu disertai dengan korban beberapa telur ayam saja atau beberpa ekor ayam dan babi. Mayat dikuburkan  digua alam (Liang Sillik) dengan hanya dibalut kain tanpa mempergunakan wadah erong. Untuk bayi yang mati sebelum tumbuh giginya, biasanya disillik (dikuburkan) diselah-selah akar atau didalam batang pohon beringin yang dilubangi.
2.      Upacara dipasangbongi, yaitu upacara kematian yang hanya berlangsung satu malam terutama bagi masyarakat yang berasal dari tanak karurung, atau dari tanak bassi dan bulaan yang tidak mampu secara ekonomis. Korban yang dipersembahkan adalah minimal empat ekor babi dan maksimal delapan ekor kerbau. Mayat yang dikuburkan di Liang memakai erong, biasanya bentuk erong yang dipergunakan ialah bentuk persegi panjang.
3.      Upacara didoya, yaitu upacara kematian yang berlangsung tiga malam, lima malam atau tujuh malam, terutama masyarakat yang berasal dari tanak bassi yang mampu secara ekonomis atau tanak bulaan atau para keluarga bangsawan tertinggi yang mampu secara ekonomis. Selama berlangsungnya upacara tersebut, maka peserta upacara tidak boleh tidur semalam suntuk (didoya). Korban yang dipersembahkan adalah beberapa ekor babi (biasanya sampai ratusan ekor), dan minimal tiga dan maksimal 12 ekor kerbau. Tempat pelaksanaan upacara ialah rumah atau tongkonan masing-masing, kecuali kalau yang mati berasal dari bangsawan tinggi (tanak bulaan) maka harus diupacarakan di Tongkonan Layuk dan Rante Simbuang.
4.      Upacara dirapai atau rapasan, yaitu upacara kematian bagi yang berasal dari tanak bulaan yang berlangsung minimal tujuh hari tetapi dapat berlangsung dalam waktu berbulan-bulan lamanya tergantung kesepian dan kesepakatan keluarga. Upacara rapasan terdiri dari beberapa tahapan dan memakan waktu yang lama dengan minimal persembahan korban berupa kerbau sebanyak 12 ekor.
C.  Proses Upacara Rambu Solo’
Untuk menghadapi dan mempersiapkan upacara adat Rambu Solo’, didahului oleh beberapa aktivitas yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan upacara adat tersebut. Kegiatan-kegiatan pendahuluan sebelum upacara itu dilaksanakan, yakni acara pertemuan keluarga, pembuatan pondok-pondok upacar, menyediakan peralatan upacara, dan persediaan kurban-kurban dalam upacara. Setelah rangkaian awal itu, baru dilaksanakan upacara yang sebenarnya sesuai tahapan-tahapan berdasarkan keyakinan aluk todolo.[6]
1.      Pertemuan Keluarga
Pertemuan keluarga orang yang meninggal, adalah pertemuan seluruh keluarga dari pihak ibu dan pihak ayah. Pertemuan itu bertujuan segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana upacara pemakaman keluarganya yang meninggal.
Menurut Tangdilintin hal-hal yang dibicarakan pada pertemuan itu, antara lain seperti masalah ahli waris, tingkat upacaranya, persiapan upacara/tingkat upacara mana yang akan dilakukan, persediaan hewan-hewan kurban sekaligus memperhatikan status sosial atau kasta orang yang meninggal tersebut.
Pertemuan keluarga itu, berupaya untuk mengambil keputusan dan harus disetujui oleh semua pihak utamanya ahli waris/keturunannya. Pertemuan seperti itu juga dihadiri oleh ketua-ketua adat dan pemerintah. Secara rinci keputusan yang harus diambil dalam pertemuan keluarga itu, adalah pertama penentuan/kesepakatan tentang tingkat upacara pemakaman. Tingkat upacara itu disesuaikan dengan kemampuan menyediakan hewan kurban dan strata sosial orang yang meninggal. Tingkat upacara itu disesuaikan dengan kemampuan menyediakan hewan kurban dan strata sosial orang yang meninggal. Kedua penentuan jumlah hewan kurban berdasarkan hewan-hewan yang disiapkan oleh ahli waris maupun bukan ahli waris. Ketiga, juga disepakati mengenai  tempat pelaksanaan upacara, misalnya rumah tempat meninggalnya atau ditetapkan ditongkonan. Keempat membicarakan mengenai persiapan pondok upacara. Persiapan itu yang disiapkan sepenuhnya oleh keluarga inti, tapi ada juga disiapkan oleh tiap-tiap keluarga ahli waris dan bukan ahli waris. Persiapanpondok-pondok upacara dikerjakan secara gotong royong dibantu masyarakat sekitar.
2.      Pembuatan Pondok Upacara
Pembuatan pondok upacara ada dua macam, yakni pondok upacara dihalaman rumah orang yang meninggal dan pondok upacara dihalaman dilapangan upacara. Pondok-pondok itu diatur secara teratur mengelilingi tempat jenazah (tempat mengatur acara pemakaman), yang diatur oleh petugas-petugas upacara. Termasuk dalam hal ini penyiapan pondok-pondok tempat menginap para tamu.
Pondok-pondok yang dibangun tersebut, juga harus disesuaikan dengan kasta tau strata sosial orang yang akan diupacarakan. Itulah sebabnya sehingga setiap upacara pemakaman (setiap kelompok keluarga) terlihat perbedaan-perbedaan ragam hias pada pondoknya, misalnya ada yang berukir, menggunakan/memasang longa (bangunan menjulang tinggi).
3.      Persediaan Peralatan Upacara
Persediaan alat-alat upacara, termasuk alat yang berkaitan dengan upacara, peralatan makan, peralatan tidur dan lain-lain. Dalam kaitan dengan peralatan upacara misalnya perhiasan-perhiasan, alat saji dan kurban. Menurut Tangdilintin peralatan-peralatan upacara yang tidak boleh kurang dan semestinya, seperti tombi-tombi, gendang, bombongan dan beberapa macam pandel atau bendera upacara. Termasuk dalam persiapan ini adalah Tau-tau (patung orang yang meninggal), khususnya dalam upacara tingkat Rapasan.
4. Petugas Upacara
Petugas-petugas upacara pemakaman di Toraja dikenal dengan istilah “Petoe Aluk To Mate”. Petugas-petugas itu disebutkan oleh Tangdilintin yakni; To Mebalun atau To Ma’kayo atau Tomebakka. Adalah orang yang mempunyai tugas tetap memimpin dan membina upacara pemakaman. Orang itulah pada saat upacara berlansung pemegang acara yang selalu ditandai dengan bunyi gendang termasuk membacakan mantra. To Ma’pemali, yaitu orang yang khusus merawat dan melayani jenazah dan menjaganya selama upacara berlansung. Orang itu tidak lepas duduknya dari sisi jenazah dengan menggunakan penutup kepala. Tugas itu harus diemban oleh keluarga terdekat seperti suami kalau istri yang meninggal dan sebaliknya. To Ma’kuasa, orang yang tugasnya sebagai pembantu umum dalam pelaksanaan upacara. Petugasnya biasanya dari kasta terendah (kua-kua).
Petugas selanjutnya, adalah To Ma’sanduk Dalle, yaitu seorang wanita yang khusus melakukan pekerjaan untuk menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan dimakamkan. Petugas itu juga biasanya dari biasanya dari kasta rendah. To dibulle Tangnga, yaitu seorang wanita yang bertugas khusus menghubungkan antara petugas-petugas upacara lain dan kaitannya sajian-sajian. To sipalakuan, yaitu orang bertugas mengurusi semua kebutuhan perawatan jenazah dan kebutuhan upacara.  To Ma’toe Bia’, yaitu seorang laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang obor selama upacara berlangsung. To Masso’boi Rante, yaitu seorang wanita yang bertugas membuka jalan masuk dihalaman atau lapangan upacara rante. To Mangengnge Baka Tau-tau, yaitu orang yang khusus membawa tempat pakaian dari pada patung.
5.      Peralatan-peralatan Upacara Pemakaman
a.       Tombi saratu, yaitu fandel dari kain panjang yang bercorak-corak seragam besarnya coraknya menggambarkan keagungan dan ketinggian upacara pemakaman dn hanya digunakan oleh kasta bangsawan tinggi Toraja.
b.      Tombi-tombi, yaitufandel dari kain panjang kecil yang mengartikan bahwa upacara ini didukung oleh keluarga dari semua lapisan, baik keluarga tinggi maupun keluarga besar sama-sama mempunyai kewajiban dan pengabdian.
c.       Tombi Tarun-Tarun, yaitu fandel yang terbuat dari potongan-potongan kain yang disambung-sambung bermakna bahwa upacara pemakaman ini bercita-cita akan mencapai kesempurnaan dan turunannya akan mendapat keberuntungan.
d.      Tuang-tuang, yaitu tanda upacara sebagai upacara Aluk Todolo yang menganut ajaran turun temurun dalam membina arwah leluruh dalam empat penjuru alam.
e.       Sarita sebagai lambang ketenangan dan kesabaran dalam pengabdian kepada orang tua.
f.       Maa’ yaitu kain ukir menggambarkan kemuliaan dan keagungan dari orang Toraja.
g.      Gandang/gendang yaitu gendang yang dipukul sebagai pengatur dan tanda peralihan acara-acara pemakaman.
h.      Bombongan yaitu gong yang ditabu menandakan tangis kepiluan bagi keluarga-keluarga bangsawan orang Toraja sebagai tanda, yang terus menerus dibunyikan pada waktu upacara berlansung.
i.        Disamping peralatan-peralatan tersebut masih ada beberapa peralatan/ perhiasan pusaka yang dipakai pada dekorasi pondok-pondok upacara, antara lain keris yang disebut gayang, manik-manik dan lain-lain.[7]
D.  Pelaksanaan Upacara Rambu Solo
Hari Pertama.
Upacara pada hari pertama disebut Ma’kru’dusan. Dalam upacara ini dilakukan kurban hewan pertama. Pada hari itu juga dilakukan perubahan letak jenazah dan sekaligus pada saat itu juga berubah status mayat sebagai To Makula menjadi orang yang benar-benar dianggap telah meninggal. Pada hari itu dikuburkan kerbau dan babi. Acaranya dimulai pada sore hari hingga malam bahkan berlansung semalam suntuk dengan menyaksikan nyanyian-nyanyian duka yang dilakukan berbentuk seni bernyanyi yang disebut Ma’badong.[8]


Hari Kedua.
Upacara hari kedua disebut Ma’doya tangnga. Pada hari itu keluarga yang berduka mulai menerima tamu-tamu dari berbagai unsur-unsur dan kedatangan tamu itu secara rombongan/sesuai adat. Tamu-tamu yang datang biasanya berkelompok, pada saat itu juga ada diantara keluarga yang datang membawa sumbangan berupa kerbau, babi, makanan bahkan ada yang membawa uang. Dalam kelompok itu ada juga yang tidak membawa apa-apa, namun dalam pelayanannya tetap disamakan. Kedatangan tamu dari seluruh unsur masyarakat dan pihak keluarga dalam arti yang seketurunan pada saat upacara itu, menunjukkan kegotongroyongan yang sangat tinggi pada masyarakat Toraja yang diikat oleh upacara tersebut.
Dalam upacara itu dilakukan adat Mantaa, yaitu kurban kerbau atau babi termasuk kerbau yang dibawa oleh pihak keluarga sebagai sumbangan. Pihak keluarga yang membawa sumbangan mendapat bahagian daging sebagai tanda telah menyumbang bagi keluarga yang berduka. Sumbangan itulah yang kemudian nantinya menjadi tanggung jawab moral keluarga yang berduka, karena kemudian ketika keluarga yang menyumbang berduka, maka secara adat dan kebiasaan juga berupaya menyumbang dengan nilai yang kurang lebih sama dengan sumbangan yang diterimanya. Walaupun secara adat  pemberian itu bukan merupakan utang seperti layaknya utang piutang dimasyarakat.
Sama halnya dengan malam pertama, pada hari kedua ini upacara juga biasanya dilakukan semalam suntuk yang diselingi oleh nyanyi-nyanyian duka dan hiburan Ma’badong. Ma’badong itu sendiri dipahami sebagai sanjungan kepada arwah dan sekaligus bernilai doa bagi orang yang meninggal. Pemberian sumbangan oleh pihak keluarga dalam upacara itu juga berfungsi sebagai sarana pengikat persaudaraan atau tanda adanya hubungan kekerabatan yang dekat.[9]



Hari Ketiga
Upacara pada hari ketiga ini ada dua aktivitas yaitu acara Ma’bolong dan Ma’batang. Cara Ma’bolong adalah mengadakan kurban sajian babi pada pagi hari di suatu tempat/rante oleh To Mebalun dengan menghitamkan pakaian secara simbolis. Makna simbolisnya adalah bahwa seluruh kerabat keluarga  bahkan masyarakat disekitarnya pada hari itu dalam keadaan berkabung. Pada saat itu seluruh keluarga dinyatakan Maro’ yaitu simbol berkabung dengan tidak memakan nasi beras padi dan memakai pakaian hitam. Acara Ma’batang yaitu mengadakan kurban dilapangan upacara/rante diikuti oleh pembacaan mantra dari atas menara daging yang disebut upacara Bala’kayan yang berfungsi sebagai mimbar atau panggung upacara aluk rambu solok yang dilakukan oleh penghulu aluk todolo. Isi mantrayang dibacakan adalah sebagai pengagungan terhadap leluhur yang menciptakan aluk todolo dan ungkapan rasa syukur kepada dewata.[10]
Hari Keempat
Acara yang menonjol pada hari itu adalah jenazah yang telah dibungkus (ma’balun) diatas rumah dimasukkan dalam suatu peti kayu yang namanya Rapasan. Peti kayu itu terbuat dari kayu yang sudah mati kemudian ditebang, karena itu biasa juga disebut kayu mate. [11]             
  





PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari hasil pemaparan makalah diatas maka dapat disimpulkan bahwa;
Jauh sebelum masyarakat menganut Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu kepercayaan yang bersifat animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo.  Pada masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya sebagian kecil yang menganut agama Islam.
Jenis-jenis upacara ritual dimasyarakat Toraja dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara rambu tukak (upacara yang berkitan dengan kehidupan) dan upacara rambu solok (upacara yang berkaitan dengan kematian). Pelaksanaan jenis-jenis upacara yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu kelompok harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memulai upacara pada kelompok yang lain.
Untuk menghadapi dan mempersiapkan upacara adat Rambu Solo’, didahului oleh beberapa aktivitas yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan upacara adat tersebut. Kegiatan-kegiatan pendahuluansebelum upacara itu dilaksanakan, yakni acara pertemuan keluarga, pembuatan pondok-pondok upacar, menyediakan peralatan upacara, dan persediaan kurban-kurban dalam upacara. Setelah rangkaian awal itu, baru dilaksanakan upacara yang sebenarnya sesuai tahapan-tahapan berdasarkan keyakinan aluk todolo.
B.  Saran
Sebaiknya agar segenap masyarakat dan pemerintah mau memperhatikan berbagai kebudayaan yang melekat ditengah-tengah masyarakat terutama budaya-budaya yang berkenaan hasil warisan leluhur. Karena dapat menjadi penopang bagi perkembangan kebudayaan lokal dan nasional untuk dikenal keseluruh dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Duli, Akin dan Hasanuddin. Toraja dulu dan kini. Cet.1;Makassar: Pustaka    Refleksi, 2003.
Lullulangi, Mithen dan Onesimus Sampebua. Arsitektur Tradisional Toraja. Makassar: Badan Penerbit UNM, 2007.
Marampa, A.T. Mengenal Toraja. Toraja: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 2003.
Sitonda, Mohammad Nasir. Toraja Warisan Dunia. Cet.2; Makassar: Pustaka Refleksi, 2007.
Tangdilintin, L.T. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Toraja, 1980.
   





                                     


[1] Akin Duli dan Hasanuddin, Toraja Dulu dan Kini (Cet. 1;Makassar: Pustaka  Refleksi, 2003), h. 13.
[2] Ibid., h. 15.
[3] Ibid., h. 19.
[4] A.T Marampa, Mengenal Toraja (Toraja: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 2003),  h. 7.
[5] L.T. Tangdilintin, Upacara Pemakaman Adat Toraja( Toraja, 1980), h. 11.
[6] Sitonda, Mohammad Nasir, Toraja Warisan Dunia(Cet.2; Makassar: Pustaka Refleksi, 2007),  h. 74.
[7] Ibid., h. 79.

[8] Ibid., h. 81.
[9] Ibid., h. 82.
[10] Ibid., h. 83-84.

[11] Ibid., h. 84.

Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment