Monday, December 2, 2013

Agama Dan Ritual Masyarakat Bugis Makassar

Share On:



 



 A. LATAR BELAKANG
Sulawesi selatan adalah salah satu bagian dari pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi terletak di bagian Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sulawesi Selatan adalah salah satu propinsi yang letaknya di ujung Selatan Pulau Sulawesi. Di daerah toritorial Sulawesi Selatan ini di diami oleh empat suku bangsa, mereka adalah suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Walaupun kini suku mandar terletak dalam wilayah propinsi Sulawesi Barat, namun keberadaannya sebagai rumpun suku di sulawesi selatan masih tercatat rapi.
Secara geografis tiga dari empat suku bangsa yang mendiami sulawesi selatan ini terletak di sekitar wilayah pantai, oleh sebab itu mereka sangat terkenal sebagai pelaut ulung, ketiga suku bangsa tersebut adalah suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Banyak dari literatur kuno serta nyanyian daerah tersebut menggambarkan kehebatannya dalam mengarungi samudra yang luas.
Pada masa dahulu terdapat satu bukti bahwa pelaut sulawesi selatan menempatkan dirinya sebagai pelaut ulung di mana konon mereka mampu mengarungi samudra dan berhasil berlabuh di pulau madagaskar, pulau yang terletak di sisi timur benua Afrika. perahu yang mereka gunakan dalam berlayar adalah perahu pinisi. Keberhasilan ini sanggup menempatkan dirinya sebagai masyarakat pelaut. Dan tak kalah hebatnya dengan suku bangsa yang lainnya.
Dalam budaya suku bugis makassar terdapat simbolisasi bahasa yang mengetengahkan dua suku kata yang merupakan pondasi terkuat bagi masyarakat bugis makassar khususnya dan masyarakat sulawesi selatan umumnya, dua suku kata yang penulis maksud adalah Siri’ na Pacce/siri npec Keberadaan siri’ na pacce/sirinpec mampu membentuk sifat dan tabiat suku bungis makassar, pada hakikatnya seluruh cabang kebudayaan yang terdapat dalam diri suku tersebut telah menghubungkan dirinya dengan siri’ na pacce/sirinpec sehingga siri’ na pacce/sirinpec sangat memberikan dampak positif. Itu terlihat ketika Islam di terima di daerah ini.
Islam sebagai agama Rahmatanlil alamin sangat tidak berbenturan dengan sebagian budaya suku bugis makassar, keterkaitan itu terlihat dari pondasi dasar suku bugis makassar yaitu siri’ na pacce/sirinpec memperlihatkan hubungan yang begitu erat dengan Islam. Karena Islam sendiri mengajarkan kepada pemeluknya yaitu Malu dan kasih sayang ajaran ini jelas sangat berkaitan dengan pondasi dasar tersebut di atas. Karena tidak banyaknya benturan dalam budaya bugis makassar terhadap kedatangan Islam di daerah ini mengakibatkan laju penyebaranya tidak begitu berat.
Kedatangan Islam di daerah ini cepat tersebar berkat kharisma yang di miliki rajanya, namun penyebaran seperti ini patut di sadari bahwa, keberislaman masyarakat tersebut tidak begitu kokoh di bandingkan dengan keberislaman masyarakat yang penyebaran islamnya bermula dari masyarakat bawah tidak dengan bentuk sebaliknya. Fenomena ini terlihat dari keberislaman masyarakat sulawesi selatan hingga hari ini.
Banyak literatur yang menginformasikan mengenai budaya suku bugis makassar, menginformasikan bahwa suku bugis makassar adalah pemeluk islam yang taat namun di sela-sela ketaatannya itu terdapat beberapa ajaran yang masih di gunakan dalam berbagai ritual seperti ketika turun sawah bagi masyarakat petani atau ketika akan berlayar atau pada awal perahu tersebut baru menyentuh laut bagi masyarakat nelayan. Di sana terlihat unsur-unsur Islam yang di gabungkan dengan unsur-unsur kepercayaan masyarakat terdahulu yang masih di percayainya hingga kini. Inilah yang menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu sistem kepercayaan suku bugis.
Demikianlah makalah ini akan menyinggung dua daerah dalam lingkup masyarakat bugis yaitu bugis sidrap dan soppeng. Kekurangan dari makalah ini adalah keberadaan penulis sebagai manusia, kesadaran dari pembacalah yang meluruskan setiap kesalahan yang ada di sini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk ritual masayarakat bugis dalam melaksanakan upacara panen?
2. Bagaimana bentuk pelaksanaan dalam upacara perkawinan suku bugis?
3. Bagaimana kepercayaan suku bugis ?
C. KEPERCAYAAN MASYARAKAT SIDRAP
1)Adat panen
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare/aptiRo per atau appabenni ase/aptiRo aes sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla/posibl, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq/msuer, membaca meong palo karallae/emaoplokrlea, salah satu epos Lagaligo/lgligo tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko/ktoboko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare/ekloper. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang/mpedd. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko/apedko, yang berarti adengka ase lolo/aeslolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko/apedko dan Mappadendang/mpedd konon memang berawal dari aktifitas ini.[1]
Bagi komunitas Pakalu/pklu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.[2]
Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional. Sekadar mengingat kembali lebih dari 30 tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada dan bisnis pertanian ini. Segala cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi sistem pertanian dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai ‘bibit unggul’ itu wajib ditanam.[3]
Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.[4]
Seiring dengan modernisasi sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko. Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.[5]
Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan. Padahal dalam ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya, memperhatikan sikap dan tingkah lakunya.[6]
Kini penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan sudah pudar. Orang-orang sekarang hanya berpikir bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen. Meski demikian, tidak berarti program pembangunan pertanian masa pemerintahan Suharto yang berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan petani enggan beralih bibit padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba, seorang petani bernama Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan hasil panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil panen yang dijanjikan para penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus serupa tak sedikit jumlahnya.
Alasannya pun bermacam-macam. Dikatakan, misalnya varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru melalui unit koperasi yang masih dijalankan secara ‘top-dawn’ pula. Tentu saja ini menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit baru setiap musim tanam.
Respon yang lain juga diperlihatkan oleh komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima, mereka menerima varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak lain mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang melimpah, mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang menjadi bagian dari penghayatan hidup mereka sehari-hari.
Di Kabupaten Sidrap dewasa ini, tradisi mappadendang digelar dengan acara makan bersama di balai desa yang dihadiri oleh tetua-tetua, pemuka adat, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan semua petani-petani. Acara ini dimaksudkan untuk mensyukuri hasil panen mereka. Mereka mensyukuri rejeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepada mereka.


1)Adat pernikahan
Pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Di Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar, pernikahan/perkawinan diawali dengan proses melamar atau “Assuro”/asuro (Makassar) dan “Madduta”/mdut (Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak wanita ini disebut dengan “Mappenre dui”/mepeRduai (bugis) atau “Appanai leko caddi”/apnaielkocdi (Makassar). Pada saat mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar” mappaci/mpci (bugis) atau “akkorontigi”/akorotigi(Makassar), calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sdh mengenakan pakaian adat daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi do’a-do’a untuk kebahagiaan mereka.[7]
Keesokan harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal-hal lainnya demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (Mappenre Botting/mepeRboti = Bugis / Appanai leko lompo/apnaielkolopo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin lengkap dengan barang seserahanu rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai wanita, pernikahanpun dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya, rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama, bahasa Bugis disebut ‘mapparola’/mprol.[8]
D. KEPERCAYAAN MASYARAKAT APPASARENG SOPPENG.
Lingkungan Appasareng merupakan salah satu lingkungan yang ada di kelurahan Jennae. Dalam sejarah kehidupan  masyarakat, lingkungan Appasareng merupakan suku bugis dan penganut agama islam  yang taat menjalankan syariat agama Islam. Namun seringkali anggota masyarakatnya masih menampilkan pola hidup tradisional berkenaan dengan upacara iisiasi dan upacara adat. Seperti pada saat mendirikan rumah atau turun kesawah.[9]
Jenis Upacara tersebut diatas bukan hanya menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan tradisi budaya akan tetapi jauh lebih luas lagi yaitu pemahaman keagamaan dan sistem kepercayaan tradisional. Praktek ini bertindak dari suatu asumsi dasar bahwa sejak zaman dahulu masyarakat bugis telah mengenal sistem kepercayaan. Antara lain adanya makhluk halus, kekuatan sakti dan arwah orang mati yang menguasai kehidupan mereka. Dalam usaha menanggulangi bala bencana yang timbbul dalam kekuatan tersebut, maka masyarakat meyakini  dan berhubungan dengan alam semesta guna menghindari  dampak yang ditimbulkannya
Dalam  Ilmu antropologi diakui bahwa manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak nampak, yang ada diluar batas akal manusia. Dunia adalah dunia ghaib yang tak nampak. Dunia ghaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekauatan ghaib yang tidak dapat dikuasai olehmanusia dengan cara biasa. Oleh karena itu, pada dasarnua ditakuti oleh manusia.[10]
Dilingkungan Appasareng budaya tradisional yang dijadikan sebagai ritual disebut sebagai attoriolong  (warisan budaya leluhur) seperti kepercayaan terhadap roh leluhur yang disebut  dewata seuwaE/patotoE Dewa Tungal), percaya terhadap roh leluhur yang disebut tau lao, percaya terhadap tempat yang angker (onrong makare’) percaya terhadap benda-benda sakral yang difahami sebagai anu malebbi
Dari praktek kepercayaan tradisional di ata sebagai bentuk kebudayaan masyarakat hanyala merupakan hasil cipta manusia itulah sebabanya, sistem kepercayaan tradsiional biasanya dikategorikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Praktek seperti ini juga secara lambat laun mengalami perubahan sosial budaya ketika islam telah masuk ke Sulawesi Selatan. Setelah itu dimulailah proses sosialisasi dan enkulturasi Islam kedalam peradabamn Bugis yang disebut pangngadereng dimana syariat Islam dijadikan sebagai salah satu unsunya Isi dari pangngadereng; pertama ade, kedua rapang, ketiga; wari’; keempat bicara dan kelima adalah sara.[11]
Di dalam latoa (kumpulan aturan kerajaan adat Bone) yang disusun setelah orangn Sulawesi Selatan mengenal Agama Islam, didalamnya termuat tentatng perwujudan nilai-nilai dan kaidah sosial budaya termasuk istilah pangadereng. Walaupun Masayrakat Sulawesi Selatan  pada umumnya sudah memeluk agama Islam pada khsuusnya di lingkungan appasareng juga sudah meyakinii islam sebagai agamanya, akn tetapi berbagai hal dalam tingkah laku dan tata nilai pra Islam masih berlanjut. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut medapat legitimasi dari penguasa dan adat istiadat yang diakui oleh pangadereng/pGeder. Sepeti pada masalah keturunan yang mengatur pelapisan masyarakt atau strata sosial  yan ditentukan oleh Wuri atau pandangan suci (sakral, makare) Bugis), pemujaan terhadap benda-benda pusaka yang kesemuanya ini pada hakekatnya bertentangan dengan syariat Islam.[12]
Dari realitas tersebut terdapat banyak ketidak sesuaian atau pertentangan antara adat istiadat yang berlaku di masayrakat dengan aturan atau ajaran Islam yang sesungguhnya. Akan tetapi sejak awal telah dilakukakan penyesuaian-penyesuaian terhadap perbedaan tersebut agar tidak ada kecenderungan terjadinya konflik atau pertentangan yang nyata antara adat istiadat dengan hukum Agama yang mereka fahami. Sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara perlahan adat kebiasaan atau kepercayaan tradisional yang mereka anut mulai mengalami kemerosotan.
Selain kemerosotan tersebut dipengaruhi oleh perubahan pandangan dan pola fikir, juga disebabakan oleh karena semakin dlamnya kajian pengetahuan dan pengalaman keagamaan mereka. Hal ini sejalan dengna pandangan Samlawi bahwa trasidi adalah merupakan keyakinan dan adat istiadat yang tuirun temurun dari genrasi satu kegenerasi berikutnya.[13]
Disis lain kebudayaan adalahmerupakan cara hidup yang dikembangkan  oleh sebuah mayarakat guna memnuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal tersebut seperti cara tingkah laku dan kegiatan lainnya yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Dari asumsi tersebut di atas, secara total perubahan terhadap kepercayaan tradisional memeang tidak sepeuhnya bisa berobah, akan tetapi bagi manusia sebagai pelaksana budaya sudah ada yang membuang atau mengikis sedikit demi sedikit. Hal ini juga sejalan dengan pendapat bahwa masyarakat tertentu dalam waktu tertentu lebih banyak menyisihkan bagian kebudayaan ketimbang menambahnya, mengakibatkan terjadinya pengikisan kebudayaan.[14]
Pada masyarakat di Appasaren Kabupaten Soppeng sudah terdapat beberapa kelompok masyarakat yang ternyata secara perlahan telah melakukan pengikisan terhadap kepercayaan dan budaya nenek moyangnya. Hal ini dipengaruhi oleh kedalaman ajaran agama yang difahaminya.
Sehubungan dengan ajaran agama, diharapkan bisa semakin cepat memberikan perubahan sosial budaya, utama pola kepercayaan tradisional seprti attoriolong (percaya terhadap hal-hal yang angker, roh jahat, barang sakti dan lain-lain) Selama masyarakat eksis terhadap tradisi irrasional yang berkaitan dengan kepercayaan pada hal-hal tersebut, akan menjaidkan masyarka ttersebut tidak mengalami perkembangan. Hal inilah menjadi alasan perlunya diungkap persolan perubahan sosial masyarakat yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh ajaran agama yang di anutnya.[15]








DAFTAR PUSTAKA

Paeni, Mukhlis dkk, “Kepemimpinan dan Kelembagaan di Sulawesi Selatan” makalah Seminar Nasional HIPIIS, Ujung Pandang, 1996.
Rahman Nurhayati, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam Centre For Middle Eastern Studies Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.
Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. 1999.
Nonci,Adat Pernikahan Masyarakat Makassar dan Tanah Toraja. Makassar: CV. Aksara Makassar, Tanpa Tahun.
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Akhmar, Andi M dan  Syarifuddin, ed. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan.Makassar: Masagena Press, 2007.



[1]Mukhlis Paeni(dkk).  “Kepemimpinan dan Kelembagaan di Sulawesi Selatan” (makalah Seminar Nasional HIPIIS. Ujung Pandang, 1996), h. 32.
[2]Ibid.
[3]DR. Nurhayati Rahman, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, (Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam Centre For Middle Eastern Studies Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007), h. 45.
[4]Mukhlis Paeni(dkk), op.cit.,h. 30.
[5]Ibid. 15
[6]DR. Nurhayati Rahman, M.hum, op.cit., h.25.
[7]Nonci,Adat Pernikahan Masyarakat Makassar dan Tanah Toraja(Makassar: CV. Aksara Makassar, Tanpa Tahun), h. 75.
[8]Ibid,. h. 35.
[9]Ibid,. h. 45.
[10]Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Djambatan: Jakarta, 1999), h.23
[11] Ibid,. h. 12.
[12]Mattulada. Latoa: Satu Lukisan terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.h. 339
[13]Koentjaraningrat,. Op.cit. h. 123
[14] Ibid,. h. 130.
[15] Nonci, lop. Cit. 45.

Newer Post Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment