Monday, December 2, 2013

Arsitektur Rumah Adat Bugis Makassar

Share On:



ARSITEKTUR RUMAH ADAT BUGIS


A. Latar Belakang
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi-Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu di lakukan bersendikan adat istiadat. Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terujud baik dalam tingka laku secara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut terpercaya sebagai warisan yang di terima langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu sebagai upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap di adakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan budaya bangsa, termasuk tata cara atau prosesi pembuatan rumah.
Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tardisional sulawesi selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari kepercayaan dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat sulawesi selatan, mulai pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah bentuk arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya.
Dalam konteks Arsitektur Tradisonal sebagai eksplorasi konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada lalu untuk dilihat bagaimana perkembangannya pada masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal tradisinya.
Rumah adalah kebudayaan fisik, yang dalam konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kulural dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan wilayah dan latar budaya akan menyebabkan perbedaan pula dalam ungkapan arsitekturalnya.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar.Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah.Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
B.  Rumusan  Masalah
1.      Bagaimana bentuk arsitektur kebudayaan bugis?
2.      Bagaimana tata letak rumah orang bugis?
C.  Kebudayaan dan Arsitektur Bugis
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi/augi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar.Huruf yang dipakai adalah aksara lontara/asr lotr, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah.Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat.Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai.Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama/posi tm) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang/sauk).Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.[1]
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat dan menyebar.Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1)      Pallaon ruma/ploa rum (kampung petani)
2)      Pakkaja/pkj (kampung nelayan)
3)      Matowa/mtow (kepala kampung)[2]
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anak arung/an aru (bangsawan), to maradeka/to mredk (rakyat biasa), dan ata/at (sahaya).
D.  Tata Letak Rumah
Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak  (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:
1.      Lontang risaliweng/lot risliew (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu (public)
2.      Lontang ritengngah/lot ritEG (latte ritengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private). 
3.      Lontang rilaleng/lot rilel (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan  kamar mandi.[3]
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
a.       Sao-raja/sao rj (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
b.      Sao-piti’/sao piti, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.
c.       Bola/bol, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
1)      Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap  (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping/tpi. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.[4]
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
Rakeang/reka, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
Alo-bola/alo bol (alle bola), terletak antara lantai dan lotengruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
Awaso/awso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.[5]
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang/lot (latte/ltE), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
Lontang risaliweng/lot risliew (ruang depan), Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
Lontang ritengngah/lot rietG (latte ritengngah/ltE rietG) atau ruang tengah. Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.
Lontang rilaleng/lot rilel (latte rilaleng/ltE rilel), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.
Untuk Sao raja/sao rj, ada tambahan dua ruangan lagi:
a.      Lego-lego/elgo elgo.
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.
b.      Dapureng/dpuer (jonghe/johE)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak

2)      Pola Penataan Stilistika
a.      Atap
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya.Bagian atas (rakeang/reka) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja/sao rj) maupun rumah rakyat biasa (Bola/bol), terdiri dari loteng dan atap.Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja/tip lj. Timpak laja  memiliki bentuk yang berbeda antara sao raja/sao rj dan bola/bol. Bagian ini diibaratkan sebagai kepala bangunan. Pada sao raja/sao rj terdapat timpak laja/tip lj yang bertingkat-tingkat  antara tiga sampai lima. Timpak laja/tip lj yang bertingkat lima menandakan  rumah tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja/tip lj bertingkat empat, adalah milik bangsawan yang memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang tidak memiliki jabatan pemerintahan timpak laja-nya hanya bertingkat tiga.
Rakyat biasa yang diklasifikasikan ke dalam kelompok to maradeka/to mredk dapat juga memakai timpak laja/tip lj pada atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua tingkatan timpak laja/tip lj.[6]
b.      Bukaan
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara Salah satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu (babang/tange).Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah.Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan pada depa yang ke 6 (enam) atau ke 4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.[7]
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng/etloeG). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Peletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang.Pada bagian bawahnya biasanya diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan jumlah bilangan ganjil.Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali 3-5 menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.
c.       Ragam Hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab atau kaligrafi.
Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang berarti bunga yang menarik.Bunga ini hidupnya menjalar berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga parengreng/perer ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak terputus seperti menjalarnya bunga parengreng/perer.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga.Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk/mnu yang berarti baik-baik.Selain itu juga sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang.
Ragam hias kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Biasanya ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan untuk rumah bangsawan.
Ragam hias naga atau ular besar melambangkan kekuatan yang dahsyat. Biasanya ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk tangga.
Ragam hias yang berupa kaligrafi dan bulan sabit biasanya ditempatkan pada bangunan peribadatan atau masjid.
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan keindahan karena adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan baik.

3)      Pola Penataan Struktur
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan.Atap dari daun nipah, sirap atau seng.Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi.Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah.Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri/aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola/posi bl (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja/sao rj dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola/bol)
Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa
Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci/poci (posi bola/posi bol) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:
Dipasang di ale bola/ael bol atau di lego-lego/elgo elgo.
Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah
Lantai (dapara/dpr, salima/slim) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah  papan atau bamboo.
Dinding (renring/rERi, rinring/riri) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
Jendela (tellongeng/etloeG) jumlahnya tiga untuk  rakyat biasa, tujuh untuk  bangsawan
Pintu (tange sumpang/tGE suP) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan  depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.
E.  Kesimpulan
Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut:



1)      Dari segi Spatial
Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat heterogen).
Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga (khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.
Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.
2)      Dari segi Stilistika
Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik. Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.
Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.
3)  Dari segi Struktural
Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga harganya sangat mahal.
Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.
Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1999.
D, Sumintardja. Kompedium Sejarah Arsitektur. Bandung:  Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, 1981.
Sutrisno, R. Bentuk Struktur Bangunan dalam Arsitektur Modern. Jakarta: Gramedia, 1981.
Tanudjaja, F,C,J,S. Kerangka Makna di dalam Arsitektur. Yogyakarta: Penerbit UAJY, 1998.





















[1]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 30.

[2]Ibid., h. 40.
[3]Sumintardja, D, Kompedium Sejarah Arsitektur (Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, 1981), h. 90.
[4]Op.cit., h. 48.

[5]Ibid.
[6]Loc. cit., h. 38.
[7]Ibid.

Newer Post Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment