ARSITEKTUR RUMAH ADAT
BUGIS
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi-Selatan, segala sesuatu
yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu di lakukan bersendikan adat
istiadat. Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak
sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terujud baik dalam tingka laku secara
berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam
lingkungan alam sekitarnya.
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang
yang mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut terpercaya sebagai warisan yang di
terima langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah
jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu sebagai upacara, pesta dan
upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap di adakan
untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan budaya bangsa, termasuk tata cara
atau prosesi pembuatan rumah.
Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur
tardisional sulawesi selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber
dari kepercayaan dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat sulawesi
selatan, mulai pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah bentuk
arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya.
Dalam konteks Arsitektur Tradisonal sebagai eksplorasi
konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada lalu untuk dilihat bagaimana
perkembangannya pada masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal
tradisinya.
Rumah adalah kebudayaan fisik, yang dalam
konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan
kepribadian masyarakatnya. Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh faktor
sosio-kulural dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan
wilayah dan latar budaya akan menyebabkan perbedaan pula dalam ungkapan
arsitekturalnya.
Ragam hias ornamen pada
rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari
bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar.Selain berfungsi sebagai
hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah.Ragam hias
umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bentuk
arsitektur kebudayaan bugis?
2.
Bagaimana tata letak rumah
orang bugis?
C. Kebudayaan dan Arsitektur Bugis
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi/augi dan telah memiliki
kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar.Huruf
yang dipakai adalah aksara lontara/asr lotr, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah
keluarga, antara 10 sampai 200 rumah.Rumah-rumah tersebut biasanya berderet,
menghadap Selatan atau Barat.Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah
tersebut membelakangi sungai.Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat
keramat (possi tama/posi tm) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan
kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang/sauk).Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga
memiliki langgar atau masjid.[1]
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok
padat dan menyebar.Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat
persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di
pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat
dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1)
Pallaon
ruma/ploa
rum (kampung petani)
2)
Pakkaja/pkj
(kampung nelayan)
3)
Matowa/mtow (kepala kampung)[2]
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan
di atas, pada kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan
masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan
sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara
lain adalah: Anak arung/an aru
(bangsawan), to maradeka/to mredk (rakyat
biasa), dan ata/at (sahaya).
D. Tata Letak Rumah
Denah rumah pada umumnya masih mengikuti
kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian
ruangan atau petak (lontang/latte), yang
tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:
1.
Lontang risaliweng/lot risliew (ruang
depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu (public)
2.
Lontang
ritengngah/lot
ritEG (latte ritengngah) atau ruang tengah,
berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa,
tempat makan (private).
3.
Lontang
rilaleng/lot
rilel (latte
rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan kamar mandi.[3]
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya,
berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
a. Sao-raja/sao rj (sallasa),
adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di
bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana)
yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
b. Sao-piti’/sao piti,
bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan
memiliki bubungan yang bersusun dua.
c. Bola/bol,
merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur
Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
1)
Pola
Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak
bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa
serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga
tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah
atap (Sumintardja, 1981). Selain itu
rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung
di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping/tpi. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang
tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.[4]
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut
fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal
dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
Rakeang/reka, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari
loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan
pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup
sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
Alo-bola/alo bol (alle
bola), terletak antara lantai dan
lotengruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus,
untuk menerima tamu, tidur, makan,
Awaso/awso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah
antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk
menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.[5]
Sedangkan penataan spatial secara horisontal,
pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang/lot (latte/ltE), dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
Lontang risaliweng/lot risliew (ruang
depan), Sifat ruang semi private,
berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat
bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum
dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang
sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima
lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
Lontang ritengngah/lot rietG (latte ritengngah/ltE rietG) atau
ruang tengah. Sifat ruang private,
berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa,
tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan
informal dalam keluarga amat menonjol.
Lontang rilaleng/lot rilel (latte rilaleng/ltE rilel), sifat
sangat private. Fungsi ruang ini
untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap
sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.
Untuk Sao
raja/sao
rj, ada tambahan dua ruangan lagi:
a. Lego-lego/elgo elgo.
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan
sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada
acara di luar rumah.
b.
Dapureng/dpuer (jonghe/johE)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping.
Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak
2)
Pola Penataan Stilistika
a. Atap
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian
sesuai dengan fungsinya.Bagian atas (rakeang/reka) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja/sao rj) maupun rumah rakyat biasa (Bola/bol), terdiri dari loteng dan atap.Atap berbentuk
prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak
Laja/tip
lj. Timpak
laja memiliki bentuk yang berbeda
antara sao raja/sao rj dan bola/bol. Bagian ini diibaratkan sebagai kepala bangunan.
Pada sao raja/sao rj
terdapat timpak laja/tip lj yang
bertingkat-tingkat antara tiga sampai
lima. Timpak laja/tip lj yang
bertingkat lima menandakan rumah
tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja/tip
lj bertingkat empat, adalah milik bangsawan yang
memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang tidak
memiliki jabatan pemerintahan timpak laja-nya hanya bertingkat tiga.
Rakyat biasa yang diklasifikasikan ke dalam
kelompok to maradeka/to mredk dapat
juga memakai timpak laja/tip lj pada
atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua tingkatan timpak laja/tip lj.[6]
b. Bukaan
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara
Salah satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu (babang/tange).Fungsinya adalah untuk
jalan keluar/masuk rumah.Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan
ukuran genap, misalnya ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan
pada depa yang ke 6 (enam) atau ke 4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila
penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, dapat menyebabkan rumah
mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.[7]
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng/etloeG).
Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar
rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Peletakannya
biasanya pada dinding diantara dua tiang.Pada bagian bawahnya biasanya diberi
tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya
ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan
jumlah bilangan ganjil.Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika
jumlah terali 3-5 menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah
bangsawan.
c. Ragam Hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya
bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf
Arab atau kaligrafi.
Ragam hias flora biasanya berupa bunga
parengreng yang berarti bunga yang menarik.Bunga ini hidupnya menjalar berupa
sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan
jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga parengreng/perer ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak
terputus seperti menjalarnya bunga parengreng/perer.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan,
kepala kerbau dan bentuk ular naga.Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk/mnu yang
berarti baik-baik.Selain itu juga sebagai simbol keberanian. Biasanya
ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang.
Ragam hias kepala kerbau melambangkan kekayaan
dan status sosial. Biasanya ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan
untuk rumah bangsawan.
Ragam hias naga atau ular besar melambangkan
kekuatan yang dahsyat. Biasanya ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk
tangga.
Ragam hias yang berupa kaligrafi dan bulan
sabit biasanya ditempatkan pada bangunan peribadatan atau masjid.
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga
yang menjalar biasanya menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk
lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan keindahan karena
adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan
baik.
3)
Pola Penataan Struktur
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan
umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar,
Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang,
Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan.Atap dari
daun nipah, sirap atau seng.Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan
menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi.Rumah tradisional
yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah.Tahap yang
paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri/aliri). Pembuatan
tiang dimulai dengan membuat posi bola/posi bl (tiang
pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah
pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak
atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris
kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang
Bugis antara lain adalah:
Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom
(lima-lima) untuk sao-raja/sao rj dan
tiga petak atau 16 kolom (untuk bola/bol)
Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan,
segiempat dan segidelapan untuk orang biasa
Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci/poci (posi bola/posi bol) berupa
tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka
atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari
samping kanan.
Tangga diletakkan di depan atau belakang,
dengan ciri-ciri:
Dipasang di ale
bola/ael
bol atau di lego-lego/elgo elgo.
Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah
atau sesuai dengan lebar rumah.
Atap berbentuk segitiga sama kaki yang
digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah
Lantai (dapara/dpr, salima/slim)
menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah papan atau bamboo.
Dinding (renring/rERi, rinring/riri)
terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
Jendela (tellongeng/etloeG)
jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh
untuk bangsawan
Pintu (tange
sumpang/tGE
suP) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa
bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8;
artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.
E. Kesimpulan
Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat
untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan
pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara
turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural. Namun
hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut:
1)
Dari segi Spatial
Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang
kurang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat
heterogen).
Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk
secara fungsional dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga
(khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.
Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih
privat, sehingga ruang-ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini
berbeda dengan pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur
Bugis.
2)
Dari segi Stilistika
Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen
bentuk stilistik. Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional
semata.
Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap
dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang
mengikat nilai-nilai ini.
3) Dari
segi Struktural
Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat
di wilayah pemukiman sehingga harganya sangat mahal.
Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap
kemungkinan terjadinya abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan
sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin berkurang
karena tuntutan pengurugan.
Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata
dipandang lebih baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata
juga dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan,
1999.
D, Sumintardja.
Kompedium Sejarah Arsitektur. Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah
Banagunan, 1981.
Sutrisno,
R. Bentuk Struktur Bangunan dalam Arsitektur Modern. Jakarta: Gramedia, 1981.
Tanudjaja, F,C,J,S. Kerangka Makna di dalam
Arsitektur. Yogyakarta: Penerbit UAJY, 1998.
[1]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1999), h. 30.
[2]Ibid., h. 40.
[3]Sumintardja, D, Kompedium Sejarah
Arsitektur (Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, 1981), h. 90.
[4]Op.cit., h. 48.
[5]Ibid.
[6]Loc. cit., h. 38.
[7]Ibid.