Monday, December 2, 2013

Konsep Siri' Na Pacce

Share On:



KONSEP SIRI’ NA PACCE
A.    Latar Belakang
Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri. Kebudayaan dapat menjadi ciri khas yang membedakan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Perbedaan kelompok tersebut dapat pula berdasarkan etnik, sehingga di dalam kebudayaan itulah akan terlihat pola tingkah laku dari kelompok etnik masyarakat tersebut.
Sistem nilai budaya mengandung konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide yang paling dalam dan sistem budaya masyarakat, karena konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide tersebut merupakan kandungan nilai-nilai yang paling dalam dipelajari, serta lebih dahulu diinternalisasi para warga dalam kehidpan mereka. Sistem nilai budaya menjiwai seluruh kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat.
Kesadaran tentang kemajemukan budaya di Indonesia oleh setiap komponen sosial dan kelompok, dimulai dari “pengetahuan” mengenai seluk beluk tradisi budaya (culture tradision) mereka, tanpa prasangka atau curiga memandang rendah satu dari pada yang lainnya. Kita harus mengetahui mereka, tanpa membanggakan budaya sendiri.
Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis-Makasar, terdapat sejumlah nilai dan konsep yang sangat besar pengaruhnya dalam perilaku dan pergaulan sosial etnis. Makna nilai tersebut antara lain adalah : (1) makna nilai “tau/tau (orang), (2) makna nilai “siri’/siri (harga diri), (3) makna nilai “pacce/pec (iba) dan (4) makna nilai “pangadakkang/pGdk (adat isitadat).
Agama orang Bugis-Makassar adalah agama Islam, tanpa mengeksplisitkan kemayoritasannya, mengingat sejarah orang Bugis-Makassar sejak masuknya agama Islam sampai sekarang ini, menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Bugis-Makassar dan agama Islam. Orang Bugis-Makassar malah menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.
Orang Bugis-Makassar, yang dalam kehidupan sehari-harinya terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral yang keseluruhannya disebut Pangngaderreng/pGeder (Pangngadakkan/pGdk dalam bahasa Makassar). (Kata Pangngadereng atau Panngadakkang) berasal dari ade’/adE atau ada’/ad yang bersumber dari bahasa Arab ‘adah). Unsur pokok dalam Pangngadereng/pGeder atau Pangngadakkan/pGdk tersebut terintegrasi satu sama lain sebagai suatu kesatuan organis dalam pikiran orang Bugis-Makassar, demikian pula martabat dan harga diri yang terkandung semuanya dalam konsep Siri’/siri.
Orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, mempertahankan kehormatan, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis-Makassar juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Sifat dan karakter yang melekat merupakan cerminan sekaligus budaya yang tertanam yang salah satunya disebut dengan budaya Siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang timbul adalah sebagai berikut:
Bagaimana Konsep Siri’ na Pacce (siri n pec) dalam Budaya Suku Bugis-Makassar?
C.  Falsafah/Pedoman Hidup
Setiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapi lawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaan yang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi kearah delapan penjuru (persegi), yakni: mampu menghadapi apapun, berani melawan tantangan hidup.
Dasar filsafat hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis-Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:

Duai temmallaiseng, tellui temmasarang atau duaai etmlies etluai etmsr.
Artinya:
Dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tidak terceraikan.

Falsafah Duai temmallaiseng, tellui temmasarang atau duaai etmlies etluai etmsr. berarti Tuhan, Nabi Muhammad, Manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan) antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula dengan badaniah dan batiniah tidak terpisahkan.
Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia (yang dianggap merupakan suatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga bagian:
1)      Botting Langi/boti lGi artinya sumber segala yang mulia, yang mulia dalam kebenaran.
2)      Alekawa/aelkw artinya permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahkluk dengan segala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain. Suci sebagai perlambangan “Putih”, dan perlambangan merah (Api) yakni “Ale” atau ael artinya badan dan “Kawa” atau kw artinya yang dapat dicapai.
3)      Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi (Bugis), melambangkan keabadian, kesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri, perlambangannya hitam.

Pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu terbagi atas tiga bagian, yaitu:
a.       Raja Sombaya/soby (yang disembah)
b.      Tomarilaleng/tomrilel (yang mewakili raja berbicara)
c.       Tomarilaleng Lolo/tomrilel lolo (yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan perantara rakyat dengan raja).
Rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah, watampole/wtpoel dan bagian loteng disebut “Rakkeang”/reka atau “Rangkiang” (Mel.). Adapun ruangan terbagi lagi: tempat tunggu tamu “Lontang ri Saliweng”/lot ri sliew, bagian tengah “Lontang ri Tengnga”/lot ri etG, ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua, ruangan khusus untuk anak gadis disebut “Lontang ri Laleng”/lot ri lel dan “Tamping”/tpi ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur.
Empat dan delapan juga punya arti. Demikian, maka tiang-tiang “Aliri”/aliri rumah adat Bugis-Makassar berbentuk persegi empat dan persegi delapan.
Tiang persegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Balla”/posi bl (Soko Guru), ini menjadi pertanda (perlambangan) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi tiga) atau “Woroane sulapa eppa”/woroanE sulp aEp berarti laki-laki yang serba bisa.
Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau semesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan tantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya dan masyarakatnya.
Falsafah inilah yang membuat nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru. Falsafah ini pula yang dijadikan azimat[1] untuk berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian masalah siri’/siri yang dalam istilah Bugis disebut Siri’ na Ranrengi/siri n rer artinya tegakkan kehormatan, bila perlu nyawa dipertaruhkan. Malu kalau tidak sukses dalam perjuangan hidup ini.    
D.  Sumber Siri’ na Pacce
Kata Siri’ na Pacce/siri n pec (Pesse//epsE: Bugis) sudah sangat sering kita dengar, khususnya yang tinggal di Sulawesi Selatan.
Siri’ na Pacce/siri n pec (Makassar) atau Siri’ na Pesse/siri n epsE (Bugis) merupakan sikap mental dan falsafah hidup orang Bugis-Makassar itu, yang mana menurut buku Lontara (lotr) tergambarkan dengan karakter sebagai berikut:   
1.      “Aja mupakasiriwi, matei-tu” atau aj mupkasiri metaitu.
Artinya:
Jangan permalukan dia, sebab dia akan memilih lebih baik mati dari pada dipermalukan.
2.      “Aja mellebbaiwwi, nabokoiko-tu” atau aj emelbaiwi nbokoaikotu.
Artinya:
Jangan membuat dia kecewa, sebab dia pasti akan meninggalkan anda.[2]
Hal ini sejalan dengan sebuah ungkapan Bugis yang mengatakan:
“Iyamua na sirappa warangparange nasaba rialai pallawa siri’, narekko siri’ ba’na lao, sungena-tu na ranreng” atau aiymua na sirp wrpreG nsb rialai plw siri nerko siri bn lao sueGntu n rer.
Artinya:
Sesungguhnya harta benda itu dicari dan disediakan untuk menjadi penutup malu, jika kita dipermalukan maka harta benda sudah tidak ada artinya lagi, maka yang akan bicara adalah mayat-nyawa.[3]
Buku La Toa/ltoa artinya Yang Tua. Tetapi, arti sebenarnya ialah Petuah-Petuah. Berisi sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir semua isi La Toa/ltoa ini erat hubungannya dengan peranan siri’/siri dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup).  Misalnya:
1)         Mate Siri’/met siri (Orang yang sudah hilang harga dirinya atau kehormatannya)
2)         Siri’/siri sebagai harga diri atau kehormatan
3)         Mappakasiri’/mpksiri (dinodai kehormatannya)
4)         Ritaroang Siri’/ritroaGi (ditegakkan kehormatannya)
5)         Siri’ Emmi ri Onroang ri Lino/siri eami ri aoroa ri lino (hanya jika ada nilai siri’, maka hidup ini memiliki makna)
6)         Pa’sampo Siri’/psopo siri (penutup malu)
7)         Tomasiri’na/tomsirina (keluarga pihak yang dinodai kehormatannya)
8)         Parakai Siri’nu/prkai sirinu (jaga kehormatanmu)
9)         Mase’di Siri’/msEdi (bersatu dalam siri’/siri)
10)     Mate ri Siri’na/met siri (mati dalam siri’/sir atau mati dalam kehormatan)
Siri’/sir dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap tidak serakah (Mangowa/mGow) dan Siri’/sir sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-Makassar.
E.  Sikap Mental Suku Bugis-Makassar
Sikap mental atau pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada umumnya, sama dan serasi atau sejalan dan tali-temali dengan sikap mental orang-orang Makassar, karena berdasarkan kisah awal mula kelahiran kedua suku ini (Bugis-Makassar), adalah satu. Yakni berasal usul dari satu sumber rumpun (leluhur).
Dikisahkan dalam Lontara/lotr, bahwa di Sulawesi-Selatan ada tiga buah kerajaan besar. Yakni Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Pandangan orang-orang Bugis-Makassar terhadap siri’/siri dan masalah penyelesaian siri’/siri itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula masalah-masalah adat-istiadat sebagai warisan leluhur yang bersumber dari satu rumpun.
Orang-orang suku Bugis-Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan konsekuen dijiwai oleh manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyan:
a)      Eja tompi na doang atau eaj topi n doa.
Arti hafiahnya “merah baru disebut udang”.
Manifestasi dari sikap Eja tompi na doang atau eaj topi n doa yakni watak yang keras (konsekwen pada pendirian atau sikap), bertindak lebih dahulu resiko itu “soal belakang”. Menggambarkan bahwa “emosi” lebih menonjol ketimbang rasionya. Hal ini erat kaitannya dengan masalah sendi-sendi siri’/siri yakni manakalah rasa ketersinggungan kehormatan, maka hal tersebut berarti siri’/siri.
Siri’/siri adalah kebanggaan atau keagungan harga diri. Bagi orang suku Bugis-Makasar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat istiadatnya yang di dalamnya terpatri sendi-sendi siri’/siri. Manakalah harga diri tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri’/siri, maka diwajibkan bagi yang tertimpa siri’/siri itu untuk melakukan aksi (perlawanan), baik berupa aksi seseorang maupu aksi kelompok masing-masing.  

   
b)     Kualleanga tallanga na towalia atau kuaela tlG n toalia.
Artinya:
1.      Lebih ku pilih tenggelam dari pada kembali ke pangkalan.
2.      Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup menanggung malu.
Orang-orang Makassar dalam hal mencapai tujuan berpegang pada semboyan “Kualleanga tallanga na towalia” atau kuaela tlG n toalia memanifestasikan bahwa orang-orang Bugis-Makassar itu tabah menghadapi tantangan hidup, cobaan yang datang bertubi-tubi menimpa.
c)      Punna tena Siri’nu panaiki Paccenu.
Artinya:
Jika anda kehilangan kehormatan atau harga diri, maka pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu, tunjukkanlah kesetiaan untuk itu.
Memanifestasikan bahwa orang-orang Makassar itu mempunyai sikap loyalitas yang mendalam, memiliki sikap setia kawan yang sukar dihianati dan memiliki sifat-sifat tahu membalas budi, yakni berbudi luhur.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang-orang suku Bugis-Makassar itu memiliki sifat-sifat:
1)      Berwatak keras (konsekwen pada sikap pendirian)
2)      Tabah menghadapi tantangan perjuangan hidup dan tawakkal menerima permasalahan yang timbul.
3)      Setia kawan dan loyalitas.
Namun untuk permasalahan siri’/siri orang Bugis-Makassar tidak pernah mengenal kompromi, seperti kata orang Makassar, “Bawaku-ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng” atau bwkuji akrea bdiku etn nkrea artinya “hanya untuk Mulutku yang mengucapkan tuan, member penghormatan, tapi kerisku tak kenal siapa kau”, yakni dalam perkara siri’. Karena apabila nipakasirika /nipksirik yakni na pelakkanga siri’ku/neplkG siriku artinya menyinggung kehormatanku, membuat aku kehilangan malu/harga diri dan martabat, maka “badikku tidak mengenal tuan” artinya senjata tidak mengenal merek, atau tidak pandang bulu.
Contoh kasus:
Di kabupaten Jeneponto sebuah Bus Mini (bus umum) sedang lewat di jalan raya. Seorang laki-laki tiba-tiba muncul di tepi jalan raya dan menahan oto (mobil) tersebut dengan harapan bahwa keluarganya dua orang wanita dapat di beri tempat di bus mini itu. Tetapi karena bus mini itu ternyata penuh sesak penumpang, maka penumpang dari Jeneponto itu … sangat menyesal tidak dapat dilayani oleh sang sopir bus mini itu. Kenyataannya sang sopir itu berselang beberapa hari kemudian dikeroyok berdarah, dengan alasan mappakasiri’/mpksiri, terjadilah penebusan siri’/siri dengan darah pula.
F.  Makna Siri’ na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar
1. Siri’ atau siri
a.  Menurut Bahasa
Kata Siri’/siri, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce/pec (Bugis: Pesse/epsE) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”.
Andi Rasdiyanah mengutip Shelly Errington berpendapat bahwa Siri’/siri pada orang Bugis mengandung unsur penting, yaitu harga diri dan malu.[4]
Jadi malu dan harga diri tidak dapat dipisahkan yang terdapat pada diri seseorang.
b.  Menurut Istilah
Istilah (terminologi) Siri’/siri dapat didekati dari sudut makna menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural. Dari hasil penelitian ahli-ahli ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep Siri’/siri itu telah diberi interpretasi yang bermacam-macam menurut lapangan keahlian dari para ahli masing-masing.[5]
1)      Menurut Koentjaraningrat mengutip Salam Basjah memberi tiga pengertian kepada konsep Siri’/siri itu ialah; malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.
2)      Christian Pelras mengutip Hamid Abdullah dalam bukunya “Manusia Bugis-Makassar” bahwa dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, Siri’/siri merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu pun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari pada Siri’/siri. Bagi manusia Bugis-Makassar, Siri’/siri adalah jiwa mereka, harga diri dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela Siri’/siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwa yang paling berharga demi tegakknya Siri’/siri dalam kehidupan mereka.[6]
3)      Siri’/siri adalah rasa malu yang mendorong sifat untuk memberi hukuman moril atau membinasakan bagi yang melakukan pelanggaran adat terutama dalam soal atau masalah perkawinan.
c.       Makna Kultural
Menurut makna kultural, dalam seminar tentang Siri’/siri yang diselegarakan oleh Universitas Hasanuddin tahun 1977 telah dirumuskan definisi Siri’/siri yaitu sebagai sistem nilai sosio-kultural dan  kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.[7] Makna kultural kata Siri’/siri baru dapat dihayati secara komprehensif manakala diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Makassar, Tator dan Mandar.
Menurut Abu Hamid orang Bugis-Makassar di pedesaaan menekankan sikap moral yang sangat tinggi, perilaku seseorang dinilai mengandung moral bilamana memiliki enam sifat, seperti, Malempu/melpu (jujur), ada tongeng/ad toeG (berkata benar), getteng/eget (keteguhan hati), Siri’/siri (rasa malu), amaccang /amc (kepintaran), dan makkareso/mkerso (berusaha). Sikap kehendak yang merupakan etos dibarengi dengan sikap mental dan prilaku yang baik menjadi jembatan bagi anugerah Tuhan.[8]
Nilai-nilai tersebut terangkum dalam adat istiadat yang dianggapnya luhur dan suci mempengaruhi keseluruhan perilakunya. Apabila ada diantaranya yang mencoba melanggar salah satu adat, maka ia akan memperoleh sangksi sosial yaitu berupa pemencilan.[9]
Dari berbagai pandangan tersebut di atas tentang makna Siri’/siri maka dapat disimpulkan bahwa Siri’/siri adalah etos kultur, prinsip hidup atau pendirian masyarakat yang melekat pada sistem nilai yang berimplikasi dalam sistem budaya, sosial dan kepribadian seseorang atau suatu masyarakat. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Siri'/siri mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.
Struktur Siri’/siri dalam Budaya Bugis-Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’/siri ripksiri, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri, (3) Siri’ Tappela’ Siri/siri tepl siri (Bugis: Teddeng Siri’/tEed sirii), dan (4) Siri’ Mate Siri’/met siri.
Keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce/pec (Makassar) atau Pesse/epsE (Bugis) menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ na Pacce/siri n pec.
1)      Siri’ Ripakasiri’/siri nipksiri.
Siri’ Ripakasiri’/siri melp adalah Siri’/siri yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’/siri jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Contoh:
a.       Membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
b.      Kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na/sirin) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Keyakinan orang Bugis-Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’/siri, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi/met ristGii atau Mate Rigollai/met rigolai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Itulah sejatinya kesatria.
Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman penjajahan dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis-Makassar begitu bangga dan secara kesatria mengakui di depan persidangan pidana bahwa dia telah melakukan pembunuhan berencana, meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat jika dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP). Secara logika, memang orang lain tidak dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan makna Siri’/siri yang sesungguhnya.
Pentingnya menjaga Siri’/siri untuk kategori Siri’ Ripakasiri’/siri ripksiriii, simaklah falsafah berikut ini:
“Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka”. atau sirikji nnimt atls ri linoa pun etn sirinu metmko kniakGmi agn aolo aolok.
Artinya:
Hanya karena Siri’/siri kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.
2)      Siri’ Mappakasiri’siriatau siri mpksiri siri.
Siri’/siri jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’” atau nerko dEgg sirimu aiREKo siri artinya kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’/siri). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri” atau nerko aEK sirimu aj mupksiri siri artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu atau malu hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri serta hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar di perantauan.
Motivasi oleh semangat siri’/siri sebagaimana ungkapan orang Makassar:
 Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya” atau tkujuG bGu turu nku guciri guliku kuaelaGGi tlG n towliy.
Artinya:
Begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat yaitu:
Mali’ siparampe, malilu sipakainga” atau mli siprPE, “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau pd aidi pd ealo siptuao siptoko dan “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong” atau pd aidi pd ealo siptoto.
Artinya:
Ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.



3)      Siri’ Tappela’ Siri’/siri tepl siri (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’/siri tEEed siri (Bugis)
Siri’ Tappela’ Siri’/siri tepl siri (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’/siri tEEed siri (Bugis) artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis-Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’/siri, ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk membayarnya.
4)      Siri’ Mate Siri’ atau siri met siri.
Siri’/siri yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis-Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya.
2. Pacce atau pec (Bugis: Pesse atau epsE)
Pacce/pec atau Pesse/epsE adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat Bugis-Makassar. Pacce lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’/siri (malu).
Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’/siri) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya menderita.
Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu atau pun etn sirinu pniaki pecnu.
Artinya
meski anda marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu (Paccenu/pecnu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Pacce/pec dalam pengertian harfiahnya berarti “pedih”, dalam makna kulturalnya pacce/pec berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce/pec  adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce/ pec diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’/siri diarahkan ke dalam dirinya. Siri’/siri dan pacce/pec inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “motor” penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.[10]
F.  Kesimpulan
"Inti budaya siri' na pacce/siri n pec itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri' na pacce/siri n pec itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar".
Siri' na pacce atau siri n pec, juga berfungsi mencipatakan hubungan harmonis serta melahirkan kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-individu, kelompok maupun kemasyarakatan. Konsep itu, berkaitan erat dengan saling menghargai atau sipakatau/sipktau atau sipakalabbiri/sipklbiri (Makassar). Intinya, budaya siri' na pacce/siri n pec mengarahkan manusia untuk saling menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta saling mengasihi dan menyayangi.
G.  Saran
Mengingat urgensi konsep siri’ na pacce/siri n pec dalam kontruksi Sulawesi Selatan, khususnya pada masyarakat Bugis-Makassar, maka perlu untuk ditelusuri dan dikaji ulang secara mendetail khazanah tersebut dengan memanfaatkan pendekatan emik (orang dalam) untuk mengkaji secara proporsional dan obyektif aspek-aspek historis yang melekat pada konsep tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anshoriy, Nasruddin, Anregurutta Ambo Dalle Maha Guru dari Bumi Bugis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Hamid, Abu, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.
http://maulanusantara.wordpress.com/Friskawini«Imbasa,  Makna Siri’ Na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar…...htm, 3 Desember 2012.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2010.
Moen MG, A.  Menggali Nilai-Nilai Budaya Siri’ na Pacce Bugis Makassar. Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press, 1994.
Pelras, Christian, Manusia Bugis, Oxford Inggris: Blackwell Publisher Limited, terj. Abdul Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok. Jakarta: Penerbit Nalar, 2006.
Rasdiyanah, Andi, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa. Yogyakarta: Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 1995.





[1]Azimat berarti barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan sebagainya.
[2]A. Moen MG, Menggali Nilai-Nilai Budaya Siri’ na Pacce Bugis Makassar (Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press, 1994), h. 9.

[3]Mustari Idris Mannahao, The Secret Of Siri’ na Pesse (Makassar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 2.
[4]Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa (Yogyakarta: Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 1995), h.147.

[5]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2010),  h.279.
[6]Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Penerbit Nalar, 2006), h.251

[7]Nasruddin, Anregurutta Ambo Dalle Maha Guru daru Bumi Bugis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h. XXII.

[8]Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 260-261.
[9]Pemencilan dalam artian ini yaitu tidak ada orang bergaul atau membantunya jika ditimpa kesusahan atau berupa pengusiran keluar kampung. Sanksi pembunuhan sering terjadi kalau orang yang melanggar itu berkisar pada masalah Siri’. Abu Hamid, ibid., h. 30.

[10] http://maulanusantara.wordpress.com/ Friskawini « Imbasa,  Makna Siri’ Na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar…...htm, 3 Desember 2012.

Newer Post Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment