KONSEP SIRI’ NA PACCE
A.
Latar Belakang
Setiap kelompok
masyarakat memiliki kebudayaan sendiri. Kebudayaan dapat menjadi ciri khas yang
membedakan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang
lainnya. Perbedaan kelompok tersebut dapat pula berdasarkan etnik, sehingga di
dalam kebudayaan itulah akan terlihat pola tingkah laku dari kelompok etnik
masyarakat tersebut.
Sistem nilai budaya
mengandung konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide yang paling dalam dan
sistem budaya masyarakat, karena konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide
tersebut merupakan kandungan nilai-nilai yang paling dalam dipelajari, serta
lebih dahulu diinternalisasi para warga dalam kehidpan mereka. Sistem nilai
budaya menjiwai seluruh kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat.
Kesadaran tentang kemajemukan budaya di Indonesia oleh setiap komponen
sosial dan kelompok, dimulai dari “pengetahuan” mengenai seluk beluk tradisi
budaya (culture tradision) mereka,
tanpa prasangka atau curiga memandang rendah satu dari pada yang lainnya. Kita
harus mengetahui mereka, tanpa membanggakan budaya sendiri.
Masyarakat Sulawesi
Selatan khususnya suku Bugis-Makasar, terdapat sejumlah nilai dan konsep yang sangat
besar pengaruhnya dalam perilaku dan pergaulan sosial etnis. Makna nilai
tersebut antara lain adalah : (1) makna nilai “tau/tau” (orang), (2)
makna nilai “siri’/siri” (harga diri), (3) makna nilai “pacce/pec” (iba) dan (4)
makna nilai “pangadakkang/pGdk” (adat isitadat).
Agama orang Bugis-Makassar
adalah agama Islam, tanpa mengeksplisitkan kemayoritasannya, mengingat sejarah
orang Bugis-Makassar sejak masuknya agama Islam sampai sekarang ini,
menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Bugis-Makassar dan agama Islam.
Orang Bugis-Makassar malah menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan
esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.
Orang Bugis-Makassar,
yang dalam kehidupan sehari-harinya terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan
adat yang keramat dan sakral yang keseluruhannya disebut Pangngaderreng/pGeder (Pangngadakkan/pGdk dalam bahasa Makassar). (Kata
Pangngadereng atau Panngadakkang) berasal dari ade’/adE atau ada’/ad yang bersumber dari bahasa Arab ‘adah).
Unsur pokok dalam Pangngadereng/pGeder atau Pangngadakkan/pGdk tersebut terintegrasi satu sama
lain sebagai suatu kesatuan organis dalam pikiran orang Bugis-Makassar,
demikian pula martabat dan harga diri yang terkandung semuanya dalam konsep Siri’/siri.
Orang Bugis-Makassar
dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi
kehormatan. Bila perlu, mempertahankan kehormatan, mereka bersedia melakukan
tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis-Makassar
juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta
sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Sifat dan karakter yang
melekat merupakan cerminan sekaligus budaya yang tertanam yang salah satunya
disebut dengan budaya Siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, masalah yang timbul adalah sebagai berikut:
Bagaimana Konsep Siri’
na Pacce (siri n pec) dalam
Budaya Suku Bugis-Makassar?
C. Falsafah/Pedoman Hidup
Setiap laki-laki
keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapi lawan maupun
tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaan yang
melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi kearah
delapan penjuru (persegi), yakni: mampu menghadapi apapun, berani melawan
tantangan hidup.
Dasar filsafat hidup
yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis-Makassar untuk menjadi
pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan.
Hakekat prinsip tersebut
bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:
Duai temmallaiseng,
tellui temmasarang atau
duaai
etmlies etluai etmsr.
Artinya:
Dua bagian yang tak
terpisahkan dan tiga bagian yang tidak terceraikan.
Falsafah Duai
temmallaiseng, tellui temmasarang atau duaai etmlies etluai etmsr. berarti Tuhan, Nabi Muhammad,
Manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan) antara satu dengan yang
lainnya. Begitu pula dengan badaniah dan batiniah tidak terpisahkan.
Falsafah untuk segala
bentuk yang menyangkut manusia (yang dianggap merupakan suatu bentuk dalam
jagad tiga wujud yang tunggal) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga
bagian:
1) Botting Langi/boti lGi artinya sumber segala yang mulia,
yang mulia dalam kebenaran.
2) Alekawa/aelkw artinya permukaan bumi, dimana hidup
berbagai mahkluk dengan segala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain. Suci
sebagai perlambangan “Putih”, dan perlambangan merah (Api) yakni “Ale”
atau ael artinya badan dan “Kawa” atau
kw artinya yang dapat dicapai.
3) Pertiwi, berarti di bawah tanah
pertiwi (Bugis), melambangkan keabadian, kesabaran, yaitu sifat manusia itu
sendiri, perlambangannya hitam.
Pemerintahan
kerajaan-kerajaan terdahulu terbagi atas tiga bagian, yaitu:
a. Raja Sombaya/soby (yang disembah)
b. Tomarilaleng/tomrilel (yang mewakili raja berbicara)
c. Tomarilaleng Lolo/tomrilel lolo (yang mewakili rakyat dalam
pembicaraan yang merupakan perantara rakyat dengan raja).
Rumah
adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah, watampole/wtpoel dan bagian loteng disebut “Rakkeang”/reka atau “Rangkiang” (Mel.). Adapun
ruangan terbagi lagi: tempat tunggu tamu “Lontang ri Saliweng”/lot ri sliew, bagian tengah “Lontang ri Tengnga”/lot ri etG, ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang
tua, ruangan khusus untuk anak gadis disebut “Lontang ri Laleng”/lot ri lel dan “Tamping”/tpi ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur.
Empat dan delapan juga
punya arti. Demikian, maka tiang-tiang “Aliri”/aliri rumah adat Bugis-Makassar berbentuk
persegi empat dan persegi delapan.
Tiang persegi empat
berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Balla”/posi bl (Soko Guru), ini menjadi pertanda
(perlambangan) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi tiga) atau “Woroane
sulapa eppa”/woroanE sulp aEp berarti laki-laki
yang serba bisa.
Segi delapan
menggambarkan delapan penjuru angin atau semesta, melambangkan bahwa lelaki
orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan tantangan hidup. Harus
berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya dan
masyarakatnya.
Falsafah inilah yang
membuat nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa pelaut yang
berlayar ke segala penjuru. Falsafah ini pula yang dijadikan azimat[1] untuk berani
bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian masalah siri’/siri yang dalam istilah Bugis disebut Siri’
na Ranrengi/siri n rer artinya tegakkan kehormatan, bila
perlu nyawa dipertaruhkan. Malu kalau tidak sukses dalam perjuangan hidup
ini.
D.
Sumber Siri’ na Pacce
Kata Siri’ na Pacce/siri n pec (Pesse//epsE: Bugis) sudah sangat sering kita dengar,
khususnya yang tinggal di Sulawesi Selatan.
Siri’ na Pacce/siri n pec (Makassar) atau Siri’ na Pesse/siri n epsE (Bugis) merupakan sikap mental dan
falsafah hidup orang Bugis-Makassar itu, yang mana menurut buku Lontara (lotr) tergambarkan dengan
karakter sebagai berikut:
1. “Aja mupakasiriwi, matei-tu” atau aj mupkasiri metaitu.
Artinya:
Jangan permalukan dia,
sebab dia akan memilih lebih baik mati dari pada dipermalukan.
2. “Aja mellebbaiwwi, nabokoiko-tu” atau aj emelbaiwi nbokoaikotu.
Artinya:
Jangan membuat dia
kecewa, sebab dia pasti akan meninggalkan anda.[2]
Hal ini sejalan dengan
sebuah ungkapan Bugis yang mengatakan:
“Iyamua na sirappa
warangparange nasaba rialai pallawa siri’, narekko siri’ ba’na lao, sungena-tu
na ranreng” atau aiymua na sirp
wrpreG nsb rialai plw siri nerko siri bn lao sueGntu n rer.
Artinya:
Sesungguhnya harta benda itu dicari
dan disediakan untuk menjadi penutup malu, jika kita dipermalukan maka harta benda
sudah tidak ada artinya lagi, maka yang akan bicara adalah mayat-nyawa.[3]
Buku La
Toa/ltoa artinya Yang
Tua. Tetapi, arti sebenarnya ialah Petuah-Petuah. Berisi sekitar seribu jenis
petuah-petuah. Hampir semua isi La Toa/ltoa ini erat hubungannya dengan peranan siri’/siri dalam pola hidup atau adat istiadat
Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup).
Misalnya:
1)
Mate Siri’/met siri (Orang yang
sudah hilang harga dirinya atau kehormatannya)
2)
Siri’/siri sebagai
harga diri atau kehormatan
3)
Mappakasiri’/mpksiri (dinodai kehormatannya)
4)
Ritaroang Siri’/ritroaGi (ditegakkan
kehormatannya)
5)
Siri’ Emmi ri Onroang ri Lino/siri eami ri aoroa ri lino (hanya jika ada nilai siri’,
maka hidup ini memiliki makna)
6)
Pa’sampo Siri’/psopo siri (penutup malu)
7)
Tomasiri’na/tomsirina (keluarga pihak yang dinodai kehormatannya)
8)
Parakai Siri’nu/prkai sirinu (jaga kehormatanmu)
9)
Mase’di Siri’/msEdi (bersatu dalam siri’/siri)
10) Mate ri Siri’na/met siri (mati dalam siri’/sir atau mati dalam kehormatan)
Siri’/sir dapat juga diartikan
sebagai pernyataan sikap tidak serakah (Mangowa/mGow) dan Siri’/sir sebagai prinsip hidup (pendirian) di
daerah Bugis-Makassar.
E.
Sikap Mental Suku Bugis-Makassar
Sikap mental atau
pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada umumnya, sama dan serasi atau sejalan
dan tali-temali dengan sikap mental orang-orang Makassar, karena berdasarkan
kisah awal mula kelahiran kedua suku ini (Bugis-Makassar), adalah satu. Yakni
berasal usul dari satu sumber rumpun (leluhur).
Dikisahkan dalam Lontara/lotr, bahwa di Sulawesi-Selatan ada tiga
buah kerajaan besar. Yakni Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Pandangan orang-orang
Bugis-Makassar terhadap siri’/siri dan masalah penyelesaian siri’/siri itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula
masalah-masalah adat-istiadat sebagai warisan leluhur yang bersumber dari satu
rumpun.
Orang-orang suku
Bugis-Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan konsekuen dijiwai oleh
manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyan:
a) Eja tompi na doang atau eaj topi n doa.
Arti hafiahnya “merah
baru disebut udang”.
Manifestasi
dari sikap Eja tompi na doang atau eaj topi n doa yakni watak yang keras (konsekwen
pada pendirian atau sikap), bertindak lebih dahulu resiko itu “soal belakang”.
Menggambarkan bahwa “emosi” lebih menonjol ketimbang rasionya. Hal ini erat
kaitannya dengan masalah sendi-sendi siri’/siri yakni manakalah rasa ketersinggungan
kehormatan, maka hal tersebut berarti siri’/siri.
Siri’/siri adalah kebanggaan atau keagungan harga
diri. Bagi orang suku Bugis-Makasar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk
menjunjung tinggi adat istiadatnya yang di dalamnya terpatri sendi-sendi siri’/siri. Manakalah harga diri tersebut
disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri’/siri, maka diwajibkan bagi yang tertimpa
siri’/siri itu untuk
melakukan aksi (perlawanan), baik berupa aksi seseorang maupu aksi kelompok
masing-masing.
b) Kualleanga tallanga na towalia atau kuaela tlG n toalia.
Artinya:
1. Lebih ku pilih tenggelam dari pada
kembali ke pangkalan.
2. Lebih baik mati berkalang tanah dari
pada hidup menanggung malu.
Orang-orang
Makassar dalam hal mencapai tujuan berpegang pada semboyan “Kualleanga
tallanga na towalia” atau kuaela tlG n toalia memanifestasikan bahwa orang-orang
Bugis-Makassar itu tabah menghadapi tantangan hidup, cobaan yang datang
bertubi-tubi menimpa.
c) Punna tena Siri’nu panaiki Paccenu.
Artinya:
Jika anda kehilangan
kehormatan atau harga diri, maka pertahankanlah rasa kemanusiaan dan
kesetiakawananmu, tunjukkanlah kesetiaan untuk itu.
Memanifestasikan
bahwa orang-orang Makassar itu mempunyai sikap loyalitas yang mendalam,
memiliki sikap setia kawan yang sukar dihianati dan memiliki sifat-sifat tahu membalas
budi, yakni berbudi luhur.
Dapat ditarik
kesimpulan, bahwa orang-orang suku Bugis-Makassar itu memiliki sifat-sifat:
1) Berwatak keras (konsekwen pada sikap
pendirian)
2) Tabah menghadapi tantangan
perjuangan hidup dan tawakkal menerima permasalahan yang timbul.
3) Setia kawan dan loyalitas.
Namun
untuk permasalahan siri’/siri orang Bugis-Makassar tidak pernah mengenal kompromi, seperti kata orang
Makassar, “Bawaku-ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng” atau bwkuji akrea
bdiku etn nkrea artinya
“hanya untuk Mulutku yang mengucapkan tuan, member penghormatan, tapi kerisku tak
kenal siapa kau”, yakni dalam perkara siri’. Karena apabila nipakasirika
/nipksirik
yakni na
pelakkanga siri’ku/neplkG siriku artinya menyinggung kehormatanku, membuat aku kehilangan malu/harga
diri dan martabat, maka “badikku tidak mengenal tuan” artinya senjata tidak
mengenal merek, atau tidak pandang bulu.
Contoh kasus:
Di kabupaten Jeneponto
sebuah Bus Mini (bus umum) sedang lewat di jalan raya. Seorang laki-laki
tiba-tiba muncul di tepi jalan raya dan menahan oto (mobil) tersebut dengan
harapan bahwa keluarganya dua orang wanita dapat di beri tempat di bus mini
itu. Tetapi karena bus mini itu ternyata penuh sesak penumpang, maka penumpang
dari Jeneponto itu … sangat menyesal tidak dapat dilayani oleh sang sopir bus
mini itu. Kenyataannya sang sopir itu berselang beberapa hari kemudian
dikeroyok berdarah, dengan alasan mappakasiri’/mpksiri, terjadilah penebusan siri’/siri dengan darah pula.
F. Makna Siri’ na Pacce’ di Masyarakat
Bugis-Makassar
1. Siri’ atau siri
a. Menurut Bahasa
Kata Siri’/siri,
dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce/pec (Bugis: Pesse/epsE) dapat berarti
“tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”.
Andi Rasdiyanah mengutip Shelly Errington berpendapat bahwa Siri’/siri pada orang Bugis mengandung unsur penting, yaitu harga diri dan malu.[4]
Jadi malu dan harga diri tidak dapat dipisahkan yang terdapat pada diri
seseorang.
b. Menurut Istilah
Istilah (terminologi) Siri’/siri dapat didekati dari sudut makna
menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural. Dari hasil
penelitian ahli-ahli ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep Siri’/siri itu telah diberi interpretasi yang
bermacam-macam menurut lapangan keahlian dari para ahli masing-masing.[5]
1) Menurut
Koentjaraningrat mengutip Salam Basjah memberi tiga pengertian kepada konsep Siri’/siri itu ialah; malu,
daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa
kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak
mungkin.
2) Christian Pelras mengutip Hamid
Abdullah dalam bukunya “Manusia Bugis-Makassar” bahwa dalam kehidupan
manusia Bugis-Makassar, Siri’/siri merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu pun
nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain
dari pada Siri’/siri. Bagi manusia Bugis-Makassar, Siri’/siri adalah jiwa mereka, harga diri dan
martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela Siri’/siri yang dianggap tercemar atau
dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar akan bersedia
mengorbankan apa saja, termasuk jiwa yang paling berharga demi tegakknya Siri’/siri dalam kehidupan mereka.[6]
3) Siri’/siri adalah rasa malu yang mendorong sifat untuk memberi hukuman moril atau
membinasakan bagi yang melakukan pelanggaran adat terutama dalam soal atau
masalah perkawinan.
c. Makna Kultural
Menurut makna kultural,
dalam seminar tentang Siri’/siri yang diselegarakan oleh Universitas Hasanuddin tahun 1977 telah
dirumuskan definisi Siri’/siri yaitu sebagai sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang
merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu
dan sebagai anggota masyarakat.[7] Makna kultural kata Siri’/siri baru dapat dihayati secara
komprehensif manakala diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai
budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan yaitu Bugis,
Makassar, Tator dan Mandar.
Menurut Abu Hamid orang Bugis-Makassar
di pedesaaan menekankan sikap moral yang sangat tinggi, perilaku seseorang
dinilai mengandung moral bilamana memiliki enam sifat, seperti, Malempu/melpu (jujur), ada tongeng/ad toeG (berkata benar), getteng/eget (keteguhan hati), Siri’/siri (rasa malu), amaccang /amc (kepintaran), dan makkareso/mkerso (berusaha). Sikap kehendak yang
merupakan etos dibarengi dengan sikap mental dan prilaku yang baik menjadi
jembatan bagi anugerah Tuhan.[8]
Nilai-nilai
tersebut terangkum dalam adat istiadat yang dianggapnya luhur dan suci
mempengaruhi keseluruhan perilakunya. Apabila ada diantaranya yang mencoba
melanggar salah satu adat, maka ia akan memperoleh sangksi sosial yaitu berupa
pemencilan.[9]
Dari berbagai pandangan
tersebut di atas tentang makna Siri’/siri maka dapat disimpulkan bahwa Siri’/siri adalah etos kultur, prinsip hidup
atau pendirian masyarakat yang melekat pada sistem nilai yang berimplikasi
dalam sistem budaya, sosial dan kepribadian seseorang atau suatu masyarakat. Bagi
masyarakat Bugis-Makassar, Siri'/siri mengajarkan moralitas kesusilaan
yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan
manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.
Struktur
Siri’/siri dalam Budaya Bugis-Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’
Ripakasiri’/siri ripksiri, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri, (3) Siri’ Tappela’ Siri/siri tepl siri (Bugis: Teddeng Siri’/tEed sirii), dan (4) Siri’ Mate Siri’/met siri.
Keempat struktur Siri’
tersebut maka Pacce/pec (Makassar) atau Pesse/epsE (Bugis) menduduki satu tempat, sehingga
membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ na Pacce/siri n pec.
1)
Siri’ Ripakasiri’/siri nipksiri.
Siri’
Ripakasiri’/siri melp adalah
Siri’/siri yang berhubungan dengan harga diri
pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’/siri
jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena
taruhannya adalah nyawa.
Contoh:
a.
Membawa
lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun
perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang
dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
b.
Kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau
pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga
dirinya (Siri’na/sirin) wajib untuk menegakkannya kembali,
kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan
darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Keyakinan orang Bugis-Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena
menegakkan Siri’/siri,
matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate
Risantangi/met ristGii atau
Mate
Rigollai/met rigolai, yang
artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau
gula. Itulah sejatinya kesatria.
Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman penjajahan dahulu tidak bisa
mengerti mengapa orang Bugis-Makassar begitu bangga dan secara kesatria
mengakui di depan persidangan pidana bahwa dia telah melakukan pembunuhan
berencana, meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat jika
dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan
sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP). Secara logika, memang orang lain
tidak dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan
makna Siri’/siri yang
sesungguhnya.
Pentingnya menjaga Siri’/siri untuk kategori Siri’ Ripakasiri’/siri ripksiriii, simaklah falsafah berikut
ini:
“Sirikaji
nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami
angga’na olo-oloka”. atau sirikji
nnimt atls ri linoa pun etn sirinu metmko kniakGmi agn aolo aolok.
Artinya:
Hanya
karena Siri’/siri kita masih tetap hidup (eksis), kalau
sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang,
bahkan lebih hina daripada binatang.
2)
Siri’ Mappakasiri’siri’ atau siri mpksiri siri.
Siri’/siri jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis
disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’” atau nerko dEgg sirimu aiREKo siri artinya kalau
Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu
(Siri’/siri). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka
siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri” atau nerko aEK sirimu aj mupksiri siri artinya, kalau Anda punya malu
maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan
jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu atau malu
hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri serta hubungannya dengan
etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar
di perantauan.
Motivasi oleh
semangat siri’/siri sebagaimana
ungkapan orang Makassar:
“Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’
gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya” atau tkujuG bGu turu nku guciri guliku kuaelaGGi tlG n
towliy.
Artinya:
Begitu mata
terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki
akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan
(pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang
pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri juga dapat mencegah
seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,
agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan
manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat yaitu:
“Mali’
siparampe, malilu sipakainga” atau mli
siprPE, “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau pd aidi pd ealo siptuao siptoko dan “Pada idi pada
elo’ sipatuo sipatottong” atau pd
aidi pd ealo siptoto.
Artinya:
Ketika
seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka
keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke
dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk
memperingatkan dan meluruskannya.
3)
Siri’ Tappela’ Siri’/siri tepl siri (Makassar)
atau Siri’ Teddeng Siri’/siri tEEed siri (Bugis)
Siri’
Tappela’ Siri’/siri tepl siri (Makassar)
atau Siri’ Teddeng Siri’/siri tEEed siri (Bugis) artinya
rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak
yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar
utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai
waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya,
itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis-Makassar
yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’/siri, ketika
berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri
untuk membayarnya.
4)
Siri’ Mate Siri’ atau siri met siri.
Siri’/siri yang satu
berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis-Makassar, orang yang mate
siri’-nya
adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit
pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang
biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat.
Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di
Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat.
Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak
serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap
harinya.
2. Pacce atau pec (Bugis: Pesse atau epsE)
Pacce/pec atau Pesse/epsE
adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat Bugis-Makassar. Pacce
lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’/siri
(malu).
Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga)
maka si anak yang telah membuat malu (siri’/siri)
tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun,
jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya
menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan
tidak tega melihat anaknya menderita.
Punna
tena siri’nu pa’niaki paccenu
atau pun etn sirinu pniaki pecnu.
Artinya
meski anda
marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat
anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu (Paccenu/pecnu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Pacce/pec dalam
pengertian harfiahnya berarti “pedih”, dalam makna kulturalnya pacce/pec berarti juga belas kasih,
perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal.
Jadi, pacce/pec adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang
terbit dari dalam kalbu yang dapat
merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang
Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce/ pec diarahkan keluar dari dirinya,
sedangkan siri’/siri diarahkan
ke dalam dirinya. Siri’/siri dan pacce/pec inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan
sehari-hari sebagai “motor” penggerak dalam memanifestasikan pola-pola
kebudayaan dan sistem sosialnya.[10]
F.
Kesimpulan
"Inti budaya siri' na pacce/siri n pec itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup
seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri' na pacce/siri n pec itu
merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar".
Siri' na pacce
atau siri
n pec, juga berfungsi mencipatakan hubungan harmonis serta melahirkan
kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-individu, kelompok maupun
kemasyarakatan. Konsep itu, berkaitan erat dengan saling menghargai atau sipakatau/sipktau atau sipakalabbiri/sipklbiri (Makassar). Intinya, budaya siri' na pacce/siri n pec mengarahkan
manusia untuk saling menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta
saling mengasihi dan menyayangi.
G.
Saran
Mengingat urgensi konsep
siri’ na pacce/siri n pec dalam kontruksi Sulawesi Selatan, khususnya
pada masyarakat Bugis-Makassar, maka perlu untuk ditelusuri dan dikaji ulang
secara mendetail khazanah tersebut dengan memanfaatkan pendekatan emik (orang
dalam) untuk mengkaji secara proporsional dan obyektif aspek-aspek historis
yang melekat pada konsep tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anshoriy, Nasruddin, Anregurutta
Ambo Dalle Maha Guru dari Bumi Bugis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Hamid, Abu, Syekh Yusuf Seorang
Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.
http://maulanusantara.wordpress.com/Friskawini«Imbasa, Makna Siri’ Na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar…...htm, 3 Desember 2012.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 2010.
Moen MG, A. Menggali
Nilai-Nilai Budaya Siri’ na Pacce Bugis Makassar. Ujung Pandang: Yayasan
Makassar Press, 1994.
Pelras, Christian, Manusia Bugis,
Oxford Inggris: Blackwell Publisher Limited, terj. Abdul Rahman Abu, Hasriadi,
Nurhady Sirimorok. Jakarta: Penerbit Nalar, 2006.
Rasdiyanah, Andi, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem
Syari’at sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa. Yogyakarta:
Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 1995.
[1]Azimat berarti
barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi
pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan sebagainya.
[2]A. Moen MG, Menggali
Nilai-Nilai Budaya Siri’ na Pacce Bugis Makassar (Ujung Pandang: Yayasan
Makassar Press, 1994), h. 9.
[3]Mustari Idris
Mannahao, The Secret Of Siri’ na Pesse (Makassar: Pustaka Refleksi,
2010), h. 2.
[4]Andi Rasdiyanah,
Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai Pandangan
Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa (Yogyakarta: Disertasi IAIN Sunan
Kalijaga, 1995), h.147.
[5]Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 2010), h.279.
[6]Christian Pelras, Manusia
Bugis (Jakarta: Penerbit Nalar, 2006), h.251
[7]Nasruddin, Anregurutta
Ambo Dalle Maha Guru daru Bumi Bugis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h.
XXII.
[8]Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan
Pejuang (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 260-261.
[9]Pemencilan dalam
artian ini yaitu tidak ada orang bergaul atau membantunya jika ditimpa
kesusahan atau berupa pengusiran keluar kampung. Sanksi pembunuhan sering
terjadi kalau orang yang melanggar itu berkisar pada masalah Siri’. Abu
Hamid, ibid., h. 30.
[10]
http://maulanusantara.wordpress.com/ Friskawini « Imbasa, Makna Siri’ Na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar…...htm, 3 Desember 2012.