BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fikih
muamalah (hukum perdata Islam) merupakan salah satu dari himpunan hukum Islam.
Dalam arti umum, fikih muamalah mencakup segala hal yang berhubungan antara
manusia dengan sesamanya, baik munakahat maupun fikih dauli, murafa’at,
mawaris, dan lain sebagainya. Fikih muamalah yang dimaksud di sini adalah
berkaitan antara manusia dengan manusia yang menyangkut tentang harta benda
serta hak dan kewajiban manusia antara satu dengan yang lain.
Dalam
pandangan ilmuwan muslim, hukum islam bukanlah sebuah pengkajian yang berdiri
sendiri atau empiris. Hukum Islam adalah aspek praktis doktrin sosial dan
keagamaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi umat Islam generasi awal,
hampir-hampir tidak ada perbedaan antara sesuatu yang bersifat legal dan
sesuatu yang bersifat keagamaan. Dalam Alquran dan Sunnah , kedua hal ini
saling berkaitan dan berhubungan.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai syirkah dan mudharabah yang di ajarkan oleh
Islam. Dan hal ini dapat di jadikan pertimbangan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
itu syirkah dan Mudharabah?
2. Bagaimana
rukun serta syarat syirkah dan mudharabah?
3. Apa
saja macam-macam syirkah?
4. Bagaimana
cara membagi keuntungan dan kerugian serta mengakhiri syirkah?
5. Bagaimana
biaya pengelolaan mudharabah?
6. Bagaimana
mudharabah itu dapat menjadi batal?
BAB
II
PEMBAHASAN
KERJA
SAMA (SYIRKAH)
A.
Pengartian
Syirkah
Syirkah
menurut bahasa berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua
harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
Musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (amal/expertise) dengan
kesepakatan, bahwa keuangan dan risiko ditangguna bersama.
Secara
istilah, yang dimaksud dengan syirkah menurut para fukaha adalah sebagai
berikut:
1. Menurut
Malikiyah, syirkah ialah “perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan
(tasharruf) harta yang dimiliki dua orangsecara bersama-sama oleh keduanya,
yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan
harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf”.
2. Menurut
Sayyid Sabiq, syirkah ialah “akad antara dua orang berserikat pada pokok harta
(modal) dan keuntungan”.
3. Menurut
Muhammad al-Syarbini al-Khatib, syirkah ialah “ketetapan hak pada sesuatu untuk
dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”.
4. Menurut
Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira, syirkah ialah “penetapan hak pada dua orang
atau lebih”.
5. Menurut
Imam Taqiyyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, syirkah ialah “ibarat
penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan
cara yang telah ditentukan”.
6. Menurut
Hasbi Ash-Shiddiqie, syirkah ialah “akad yang berlaku antara dua orang atau
lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya”.
7. Idris
Ahmad menyebutkan, syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau
lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan
modal masing-masing, keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar
kecilnya modal masing-masing.
Setelah
diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami,
bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau
lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Hal
senada juga dikemukakan oleh Ilfi Nur Diana, bahwa musarakah adalah akad kerja
sama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing memberikan
konstribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Adapun
yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah Alquran Surah An-Nisa
ayat 12.
B.
Rukun
dan Syarat Syirkah
Rukun
syirkah diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Hanafiyah,rukun syirkah
ada dua, yaitu ijab dan kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun
yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar
pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian,
sebagai berikut.
1. Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk pihak syirkah, baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenan
dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus
jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga, dan
seterusnya.
2. Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mal (harta). Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal, dan rupiah; dan b)
benda yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketiga akad syirkah dilakukan,
baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu
yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan;
a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) orang yang
bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad,
disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
4. Adapun
syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufwadhah.
Menurut
Malikiyah. Syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah
merdeka, baliqh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat, bahwa syirkah
yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman
Al-Jaziri, bahwa rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang berserikat,
shighat, dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah
seperti yang dijelaskan oleh Idris Ahmad adalah berikut ini.
1. Mengeluarkan
kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang
akan mengendalikan harta itu.
2. Anggota
serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang
lainnya.
3. Mencampurkan
harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang
maupun bentuk yang lainnya.
C.
Macam-macam
Syirkah
Menurut
Hanafiyah, secara garis besar syirkah dibagi dua bagian, yaitu milk dan syirkah
‘uqud. Syirkah milk juga dibagi dua macam: syirkah milk jabar dan syirkah milk
ikhtiyar. Syirkah ‘uqud dibagi menjadi tiga macam, yaitu: syirkah ‘uqud al-mal,
syirkah ‘uqud bi al-abdan, dan syirkah ‘uqud bi al-wujuh. Syirkah ‘uqud al-mal
dibagi dua, yaitu: syirkah-syirkah ‘uqud bi al-mal mufawadhah dan syirkah ‘uqud
bi al-mal’inan. Syirkah ‘uqud bi al-wujuh dibagi menjadi dua bagian: syirkah
‘uqud bi al-wujuh mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-wujuh ‘inan.
Pengertian
syirkah milk ialah ibarat dua orang atau lebih memiliki suatu benda kepada yang
lain tanpa akad syirkah.
Maksud
syirkah al-‘uqud ialah ibarat akad yang terjadi antara dua orang atau lebih
untuk berserikat dalam harta dan keuntungan.
Maksud
syirkah al-jabr ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu
benda secara paksa.
Maksud
syirkah al-ikhtiyar ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan
harta dengan ikhtiyar keduanya.
Maksud
syirkah al-ikhtiyar ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk
menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara
mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.
Maksud
syirkah al-wujuh ialah dua orang berserikat atau pihak yang tidak ada harta
didalamnya, tetapi kedunya sama-sama berusaha. Keduanya termasuk ahli kafalah
dan dalam pembelian masing-masing setengah.
Maksud
syirkah al-wujuh’ian ialah sesuatu dari ikatan-ikatanyang berkesinambungan
soelah-olah bukan ahli kafalah atau seperti tak ada kelebihan bagi penjual dan
pembeli.
Menurut Malikiyah, syirkah dibagi
beberapa bagian, yaitu syirkah al-irts, syirkah al-ghanimah, dan syirkah
al-mutaba ’ain syai’a bainahuma.
Maksud
syirkah al-irts ialah berkumpulnya para pewaris dalam memiliki benda dengan
cara pewaris.
Maksud
syirkah al-ghanimah ialah berkumpulnya para tentara dalam pemilikan ghanimah.
Maksud
syirkah al-mutaba ‘ain syai’a bainahuma ialah berkumpulnya dua orang atau lebih
dalam pemilikan barang dengan waris, pembelian, pemberian, atau yang lainnya.
Syirkah ‘uqud dibagi menjadi lima
macam, yaitu syirkah al-inan, syirkah al-wujuh, syirkah al-abadan, syirkah
al-muwadhah, dan syirkah al-mudharabah.
D.
Cara
Membagi Keuntungan dan Kerugian
Macam-macam
serikat, sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti ulama
Syafi’iyahberpendapat, bahwa syirkah yang sah dilakukan hanyalah syirkah al-inan,
sedangkan syirkah yang lainnya itu batal untuk dilakukan.
Cara
membagi keuntungan atau kerugian tegantung besar dan kecilnya modal yang mereka
tanamkan. Untuk lebuh jelasnya, dapat dilihat pada contoh praktik berserikat
pada tabel berikut ini.
Tabel cara membagi
keuntungan dan kerugian
Nama
Anggota
|
Pokok
Masing-Masing
|
Jumlah
pokok
|
Untung
|
Persenrase
Untung
|
Irfan
|
Rp.1500
|
|
|
1/10
x ¼ x 6,00 = Rp. 150
|
Nanda
|
Rp.1000
|
Rp.6000
|
Rp.600
|
1/10
x 1/6 x 6000 = 1/6 x 60 = Rp. 100
|
Karson
|
Rp.
500
|
|
|
1/10
x 1/12 x 6000 = Rp. 50
|
Lilian
|
Rp.3000
|
|
|
1/10
x ½ x 6000 = Rp. 300
|
E.
Mengakhiri
Syirkah
Hendi
Suhendi menjelaskan, bahwa syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal
berikut.
1. Salah
satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya, sebab syirkah
akad yang terjadi atas dasra rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak
ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya
lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2. Salah
satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf (keahlian mengelola harta),
baik karena gila maupun kerana alasan lainnya.
3. Salah
satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua
orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada
anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal
menghendaki turut serta dalam syirkah tesebut,maka dilakukan perjanjian baru
bagi ahli waris yang bersangkutan.
4. Salah
satu pihak ditaruh di bawah pengapunan, baik karena boros yang terjadi pada
waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
5. Salah
satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang
menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mahzab Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali, Hanafi berpendapat, bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan
perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
6. Modal
para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atau nama syirkah. Bila modal
tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak dapat
dipisah-pisahkan lagi, maka yang menanggung risiko adalah para pemiliknya
sendiri. Apabila hartanya lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa
dipisahkan lagi, maka hal ini menjadi risiko bersama. Kerusakan yang terjadi
setelah dibelanjakan, menjadi risiko bersama, apabila masih ada sisa harta,
syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
MUDHARABAH
ATAU QIRADAH
A.
Pengertian
Kata
mudharabah berasal dari kata (darabah, yaderabu, darbang) yang berarti
bergerak, menjalankan, memukul, dan lain-lain. Midharabah juga disebut dengan
muqaradah (qiradh). Menurut penduduk Hijaz, seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad bin Ismail:
“Qiradh
dengan kasrah qaf adalah kerja sama pemilik modal dengan amil dengan pembagian
laba, dalam istilah ahli Hijaz disebut mudharabah yang diambil dari kata
“berjalan di mua bumi” karena menurut kebiasaan laba itu diperoleh dengan
berjalan-jalan atau mendistribusikan harta”.
Karnaen Perwaatmadja mengemukakan,
bahwa mudharabah (profit sharing) yaitu, penyertaan modal dalam suatu
perusahaan pemerintah atau swasta dalam bentuk pembagian laba. Sedangkan
Abdullah Saeed mengemukakan, bahwa mudharabah adalah kontrak antara dua pihak
dimana satu pihak yang disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uang kapada
pihak kedua, yang disebut muharib, untuk tujuan menjalankan usaha dagang.
Kasmir mengemukakan, bahwa
mudharabah merupakan akad kerha sama antara dua pihak, dimana pertama
menyediakan seluruh modal dan pihak yang lain menjadi pengelola. Keuntungan
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, maka
akan ditanggung pemilik modal selama kerugian diakibatkan kelalaian pengelola.
Dari beberapa pendapat di atas, maka
dapat dicermati bahwa mudharabah atau qhirad adalah menyerahkan sejumlah modal
kepada seseorang untuk diperdagangkan. Adapun keuntungannya dibagi antara yang
mempunyai modal dan yang memperdagangkan menurut persentase yang disepakati
kedua belah pihak.
Menurut istilah, mudharabah atau
qhirad dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut.
1. Menurut
para fukaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menaggung,
salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengan atau
sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2. Menurut
Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
3. Malikiyah
berpendapat, bahwa mudharabah ialah dalam akad perwakilan, pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (emas dan perak).
4. Sayyid
Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak, salah satu
pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan
dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
B.
Dasar
Hukum Mudharabah
1. Dasar
hukum penerapan sistem mudharabah
Landasan
dasar penerapan sistem mudharabahpada prinsipnya terbagi kepada dua landasan
hukum, yaitu: 1)berdasarkan hukum islam (Alquran, hadis, ijma’, dan qiyas) dan
2)berdasarkan undang-undang perbankan yang berlaku di Indonesia.
Landasar
syariah pada pembiayaan Yad al-Amanah, dalam Surah An-Nisa ayat 58 Allah swt.
Berfirman: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha
mendengar lagi maha melihat”.
Melakukan
mudharabah atau qhirad adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib ra., bahwasanya Rasulullah swa.
Telah bersabda: “ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan,
memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk
dijual”.
Diriwayatkan
dari Daruquthni, bahwa Hakim Ibn Haizam apabila memberi modal kepada seseorang,
dia mensyaratkan: “Harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu
bawa ke laut, dan jangan dibawa menyeberangi sungai, apabila kamu lakukan salah
satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada
hartaku”.
Qiradh
atau mudharabah menurut Ibn Hajr telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau telah
mengikutinya, bahkan sebelum diangkat menjadi rasul. Muhammad telah melakukan
qiradh, yaitu Muhammad melakukan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang
milik Khadijah ra. Yang kemudian menjadi istri beliau.
2. Penanggung jawab terhadap risiko mudharabah
Dalam
penerapan sistem mudharabah, tidak ada sesuatu ketentuan mengenai sesuatu yang
bisa dijadikan sebagai jaminan bagi penanam modal, karena jaminan dalam sistem
mudharabah ditetapkan dalam bentuk kepercayaan.
Jika
terjadi suatu musibah yang menimpa terhadap barang sebagai modal yang
diserahkan kepada si pelaksana, sedangkan penanam modal (investor) tidak
mempercayai atas pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dari si pelaksana, maka
untuk meyakinkannya, pihak investor boleh meminta kepada si pelaksana untuk
bersumpah, sehinnga pihak investor merasa yakin akan pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan oleh si pelaksana. Adapun bentuk jaminan pada kredit produktif,
bisa barang bergerak atau berupa barang tidak bergerak. Dengan demikian
dapatlah diketahui, bahwa bank dalam memberikan kreditnya harus secara mutlak
ada jaminan, namu jaminan tersebut dapat juga berupa kepercayaan.
3. Hikmah
disyariatkannya mudharabah
Pada
dasarnya, Islam telah membolehkan memberi keringanan kepada manusia untuk
menggunakan uangnyadalam suatu usaha dengan bentu kerja sama, seperti halnya
qiradh atau mudharabah. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak
berkemampuan memproduktifkannya. Terkadang ada pula orang yang tidak memiliki
harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat
membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Apabila
islam mensunahkan dan mencintai orang yang meng-qirah-kan, maka dalam waktu
yang sama sesungguhnya ia juga dibolehkan untuk orang yang diberikan qiradh
atau mudharabah dan tidak menganggapnya sebagai yang makruh, karena dia
mengambil harta atau menerima harta untuk dimanfaatkan dalam upaya menutupi
kebutuhan-kebutuhan dan selanjutnya ia mengambil harta itu seperti sediakala.
Jadi
hikmah yang disyariatkannya mudharabah adalah agar manusia dapat melakukan
kerja sama dalam perdagangan, karena hal ini termasuk juga saling tolong-menolong.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadis yang sanad-nya dari Abu Hurairah
yang artinya: “Dari Abu Hurairah RA. Berkata, bahwa Rasulullah saw.bersabda:
barang siapa yang memberikankeluangan terhadap orang miskin dari duka dan kabut
dunia, Allah akan meluangkannya dari duka dan kabut di hari kiamat. Dan siapa
yang memudahkan kesibukan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan di dunia
dan akhirat dan Allah selalu menolong hambanya selama hamba itu menolong
saudaranya”.
Mudharabah
mengandung hikmah yang besar dalam masyarakat, karena memupuk terhadap individu
agar selalu memiliki sifat saling tolong-menolong dan jiwa gotong royong sesama
anggota masyarakat. Selain itu, hikmah disyariatkannya mudharabah yang
dikehendaki oleh syar’i yang Maha Bijaksana adalah untuk menghilangkan
kefakiran dan untuk menjalin kasih sayang antara sesama manusia.
C.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun
qiradh ada enam, yaitu:
1. Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya
2. Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
3. Akad
mudharabah, dilakukan oleh pekilik dengan pengelola barang.
4. Mal,
harta pokok atau modal
5. Amal,
yaitu penkerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba, dan
6. Keuntungan
Menurut
Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adlah ijab dan qabul yang keluar dari orang yang
memiliki keahlian. Syarat-syarat sah midharabah adalah berhubungan dengan
rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai
berikut.
1. Modal
atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu
berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan atau barang dagangan
lainnya, maka mudharabah tersebut batal.
2. Bagi
orang yang melakukan akad, disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka akan
dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang dibawah
pengapuan.
3. Modal
harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang
diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada dua belah pihak, sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
4. Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya,
umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
5. Melafazkan
ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang,
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
6. Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tersebut, pada waktu tertentu
sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpan
dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada
persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut
pendapat al-Syafi’i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanafiyah dan Ahmad Ibn
Hanbal, mudharabah tersebut sah.
D.
Kedudukan
Mudharabah
Hukum
mudharabah berbeda-beda seiring dengan adanya perbedaan-perbedaan keadaan.
Begitupun dengan kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah
(qiradh), juga tergantung pada keadaan.
Pengelola
modal perdagangan yang mengelola modal tersebut harus ada izin pemilik harta,
sehingga pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam
pengelolanya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (objek
wakalah). Ketika harta di-tasharruf-kan oleh pengelola, maka harta tersebut
berada dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan pemiliknya,
sehinnga herta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila harta
itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, maka ia tidak wajib menggantinya.
Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, ia wajib menangginya.
Ditinjau
dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam
pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati.
Mudharabah juga sebagai syirkah, karena bersama-sama dalam keuntungan.ditinjau
dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil
upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehinnga mudharabah dianggap
ijarah (upah-mengupah atau sewa menyewa). Apabila pengelola modal mengingkari
ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka
telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan
pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab, atau disebut juga
min al-kabair.
E.
Biaya
Pengelolaan Mudharabah
Biaya
dari mudharab diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan
(daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk
kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan,
kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan,
karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar dari pada
keuntungan. Namun, jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan
modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena
penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal
mudharabah. Imam Malik berpendapat, bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan
kepada modal, apabila modalnya cukup besar, sehingga masih memungkinkan
mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kiranya
dapat dipahami, bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada
pengelola modal, namun tidak masalah jika biaya diambil dari keuntungan apabila
pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam
Malik, menggunakan modal pun boleh
apabila modalnya besar, sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya.
F.
Tindakan
setelah Matinya Pemilik Modal
Jika
pemilik meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah
fasakh, maka pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika
pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa
pemilik perbuatan seperti itu dianggap ghasab. Ia wajib menjamin
(mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi
dua.
Jika
mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang
dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena
yang demikian itu adalah hak berdua, jika pelaksanaan (pengelolaan modal)
setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik
modal harus dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan
dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat Mazhab
Syafi’i dan Hambali.
G.
Pembatalan
Mudharabah
Mudharabah
menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut.
1. Tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat
mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan
sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya
sebagaia upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan
tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut
menjadi tanggung jawab pemilikmodal karena pengelola adalah sebagi buruh yang
hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apa pun, kecuali atas kelalaiannya.
2. Pengelola
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola
modal berbuat sesuatu yang pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi
kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3. Apabila
pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal
meniggal dunia, maka mudharabah menjadi batal.
Aplikasi mudharabah dalam perbankan
biasanya diterapkan para produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada isi
penghimpunan, maka dana mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan
berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
b. Deposito
biasa, da
c. Deposito
spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk
bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Sedangkan
pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
a. Pembiayaan
modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b. Investasi
khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul
mal.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syirkah menurut bahasa berarti
percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya,
tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
syirkah adalah kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung
bersama. Hal senada juga dikemukakan oleh Ilfi Nur Diana, bahwa musrakah adalah
akad kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
masing-masing memberikan konstribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan,
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para
ulama adalah Alquran Surah An-Nisa ayat 12.
Menurut
istilah, mudharabah atau qhirad dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut.
a. Menurut
para fukaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menaggung,
salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengan atau
sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
b. Menurut
Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
c. Malikiyah
berpendapat, bahwa mudharabah ialah dalam akad perwakilan, pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (emas dan perak).
d. Sayyid
Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak, salah satu
pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan
dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
B. Saran
Dengan membaca makala
ini, pembaca diharapkan dapat menambah wawasannya tentang koperasi mahasiswa.
Tak lupa kami meminta saran dan kritik atas tulisan kami demi melengkapi dan
menjadi bahan pertimbangan pada penulisan-penulisan berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sahrani
sohari dan Abdullah Ru’fah, Fikih
Muamalah, Ghalia Indonesia, Cilegon, 2011.