LAGALIGO ialah putera
Sawerigading dengan perkawinannya dengan WECUDAI. Sawerigading yang menurut
Legenda dikisahkan sebagai berasal dari Kayangan (TOMANURUNG putera Batara
Guru) menurut istilah Bugis. Yang kemudian menjadi asal usul secara
turun-temurun raja-raja Luwu di Sulawesi Selatan.
Semasa hidupnya LAGALIGO terkenal sebagai pujangga yang tak ada bandingannya di kawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk membuktikan asli tidaknya ialah huruf”H” tidak ada pada buku asli LAGALIGO tersebut. Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid. Tidak ada huruf “H” didalamnya. Buku Lagaligo ini tidak ada lagi di Sulawesi Selatan (?). Jelas diangkat Pemerintah Belanda ke negerinya seperti halnya buku-buku Lontara lainnya. Yang ada di sini tinggal keeping-keping cerita yang dikisahkan turun-temurun, oleh manusia seseorang ke manusia yang lainnya. Atau merupakan fragmenta-fragmenta tentang Lagaligo yang ditulis dalam aksara Bugis-Makassar (Lontara). Dengan versi-versi penulisnya(yang mengyutipnya). Asal Mula Aksara LONTARA.
Semasa hidupnya LAGALIGO terkenal sebagai pujangga yang tak ada bandingannya di kawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk membuktikan asli tidaknya ialah huruf”H” tidak ada pada buku asli LAGALIGO tersebut. Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid. Tidak ada huruf “H” didalamnya. Buku Lagaligo ini tidak ada lagi di Sulawesi Selatan (?). Jelas diangkat Pemerintah Belanda ke negerinya seperti halnya buku-buku Lontara lainnya. Yang ada di sini tinggal keeping-keping cerita yang dikisahkan turun-temurun, oleh manusia seseorang ke manusia yang lainnya. Atau merupakan fragmenta-fragmenta tentang Lagaligo yang ditulis dalam aksara Bugis-Makassar (Lontara). Dengan versi-versi penulisnya(yang mengyutipnya). Asal Mula Aksara LONTARA.
“La Galigo adalah karya
sastra terpanjang dan terbesar di dunia yang setara dengan kitab Mahabharata
dan Ramayana dari India serta sajak-sajak Homerus dari Yunani,” ungkap R.A,
Kern. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan Belanda, Sirtjof
Koolhof, menyebutnya sebagai karya sastra terpanjang di dunia, terdiri dari
300.000 baris, mengalahkan Mahabharata dan yang lainnya.
Nah, novel di tangan Anda ini adalah pemiksian yang sangat menarik dari karya legendaris tersebut.
Nah, novel di tangan Anda ini adalah pemiksian yang sangat menarik dari karya legendaris tersebut.
Diceritakan bahwa
dahulu kala, Kerajaan Bumi hanyalah tanah kosong yang benar-benar tak
berpenghuni. Lalu, Sang Dewata (Sang Pototoqe) segera memutuskan bahwa kerajaan
tersebut tidak bisa dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan
untuk menyuburkannya dan tentu saja menyembah-Nya!
Maka, dipilihlah sang putra sulung-Nya untuk menjadi manusia pertama yang menghuni bumi. Dialah yang kemudian menjelma Batara Guru.
Tidaklah mudah menjadi penguasa di Bumi, meski sang manusia titisan Dewata tersebut bisa saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya. Tapi, Sang Dewata mengharuskannya untuk berusaha sebelum pasrah. Di sinilah, ujian-ujian kehidupan mulai menerpanya. Dia dipaksa untuk melewati berbagai rintangan hingga sampailah dia pada titik di mana Sang Dewata mengizinkan Batara Guru memiliki pendamping hidup.
Maka, dipilihlah sang putra sulung-Nya untuk menjadi manusia pertama yang menghuni bumi. Dialah yang kemudian menjelma Batara Guru.
Tidaklah mudah menjadi penguasa di Bumi, meski sang manusia titisan Dewata tersebut bisa saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya. Tapi, Sang Dewata mengharuskannya untuk berusaha sebelum pasrah. Di sinilah, ujian-ujian kehidupan mulai menerpanya. Dia dipaksa untuk melewati berbagai rintangan hingga sampailah dia pada titik di mana Sang Dewata mengizinkan Batara Guru memiliki pendamping hidup.
Lantas, bagaimana
kehidupannya kemudian? Tentu saja sepak terjang hebat keturunan-keturunannya
semisal Sawerigading bakal mewarnai dengan sangat menghibur karya besar ini.
Bahkan, petualangan cucu Batara Guru inilah yang nantinya sering menjadi
sorotan istimewa dari para penikmat La Galigo. Selamat membaca!
“Adinda, tidak usah
khawatir bila anak kita kelak menjelma manusia lalu mengalami cobaan hidup di
Bumi. Karena, memang sudah menjadi hukum Bumi bahwa sesungguhnya hidup adalah
cobaan. Bukanlah manusia namanya bila tidak dicoba. Juga, bukanlah manusia bila
tidak tahan menghadapi cobaan,” ucap Sang Patotoqe meyakinkan istrinya.
Selama ini naskah-naskah tua berupa
manuskrip kuno yang tersebar di museum-museum Eropa masih kurang
dipublikasikan. Naskah atau manuskrip yang berasal dari Indonesia yang jelas
adalah milik Indonesiai menjadi daya tarik utama dan menjadi andalan bagi
museum-museum yang ada di Eropa yang memilikinya. Sehingga banyak hasil-hasil
penelitian dan membuahkan tulisan baik artikel atau buku yang berkenaan dengan
sejarah-sejarah di Indonesia banyak bersumber dari manuskrip yang berasal
dari Indonesia yang menjadi keloksi di berbagi museum di Eropa. Diantara
negara-negara Eropa mungkin saat ini Belanda adalah negara yang memiliki
beberapa museum dengan koleksi manuskrip berasal dari Indonesia.
Diantara ribuan lembar koleksi manuskrip
yang ada di beberapa museum Belanda, yang paling menarik perhatian adalah
manuskrip kuno kitab epos I La Galigo yang berasal dari masyarakat Sulawesi
Selatan. Naskah ini sekarang merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia
dari the Netherlands Bible Society, yang diberikan hak permanen ke Koninklijk
Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden Perpustakaan Universitas
Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda. Manuskrip ini masih tersimpan rapi
seperti dan menjadi salah satu naskah tua yang paling dijaga dan sangat
berharga.[1]
Sekelumit mengenai Kitab Epos I La Galigo
bagi masyarakat Sulawesi Selatan merupakan epos yang menceritakan asal usul
peradaban masyarakat Sulawesi umumnya dan khususnya Sulawesi bagian Selatan.
Epos berkaitan dengan berbagai etnis yang ada di daratan Sulawesi sehingga
masih dapat ditemukan di tengah lapisan masyarakat di Sulawesi khususnya di
propinsi Sulawesi Selatan mensakralkan epos ini dan ada pula menganggap ini
merupakan kitab suci selain itu ada pula menganggap epos ini hanya sebuah karya
sastra karena isinya hanya mitos. Namun terpenting kisah I La Galigo bisa di
temui di hampir seluruh jazirah Sulawesi namun kisah ini lebih banyak ditemukan
di bagian Selatan pulau Sulawesi Selatan khususnya di masyarakat etnis Bugis,
Makassar, Mandar dan Toraja., dalam hal ini epos I La Galigo memberikan
gambaran keterkaitan bahwa etnis yang ada memiliki hubungan kuat dengan
keterkaitan memiliki satu leluhur yang sama. Inilah membuat I La Galigo bukan milik
etnis tertentu di Sulawesi melainkan milik semua dan untuk saat ini adalah
milik masyarakat Indonesia.
Perjalanan kitab ini sungguh panjang hingga
menjadi salah satu koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land-
en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I La Galigo di tulis ulang seorang
wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama Collie Puji Arung Pancana Toa yang
merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang sekarang masuk wilayah Kabupaten
Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji
menulis ulang adalah hasil dorongan seorang misionaris dan juga seorang
peneliti Antropolog asal Belanda yakni Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan
misionarisnya di sertai penelitiannya B.F Mathees berupaya mengumpulkan lagi
lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo yang tersebar di kalangan
masyarakat di Sulawesi Selatan.
Manuskrip Epos I La Galigo memiliki 300.000
baris teks serta diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan lembar masih
tersebar di tengah masyarakat selain itu telah banyak mengalami kerusakan atau
hilang, namun untuk melihat secara dekat epos ini masih bisa dijumpai beberapa
lembar di Museum La Galigo Makassar.
Saat ini Epos I La Galigo menjadi salah satu
Epic terpanjang di Dunia yang dapat disejajarkan dengan epos terpanjang dunia
lainnya seperti Epos Mahabarata dan Ramayana dari India, Shahmane peninggalan
persia (Iran), dan epos peradaban Yunani. Hal inilah membuat La Galigo
diadaptasi ke dalam seni pentas yang di sutradarai oleh Robert Wilson
sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Pementasan I La galigo menjadi pertunjukkan
opera di mulai pada tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Epos I La galigo menjadi kebanggaan tersendiri, begitu banyak kita mengenal
epos atau epic dari luar Indonesia ketimbang epos yang berasal dari Indonesia.
Sulit bagi kita untuk mengharuskan manuskrip epos I La Galigo pulang kampung ke
tanah kelahirannya di Indonesia, faktor utama adalah perawatan yang membutuhkan
biaya cukup tinggi, dan peralatan penunjang untuk membuat manuskrip tidak rusak
atau hancur. Kondisi suhu di Indonesia menjadikan epos ini sulit untuk kembali
pulang dan di Museum Leiden Belanda sendiri memberikan ruangan khusus dan
selalu mengawasi suhu dan temperatur ruangan tersebut. Di satu sisi kesulitan
untuk mengembalikan epos ini kembali pulang adalah kemampuan khususnya
Pemerintah untuk memberikan perhatian dan perawatan yang khusus.
Di akhir tulisan ini sebuah ungkapan simpati
untuk mengucapkan selamat kepada manuskrip Epos I La Galigo yang telah menjadi
salah satu Memori Dunia yang tercatat di UNESCO Memory of the World Register.
UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah naungan PBB mempunyai program yang
disebut UNESCO Memory of the World Register yang dimulai pada tahun 1992.
Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk menjaga warisan berupa
hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja atau pun tidak disengaja
oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca. Kegiatan
ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa peninggalan dari hasil
dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen dianggap penting dalam
sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian timur Indonesia telah
menjadi milik dunia.
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.[2]
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.[2]
Karya
sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dengan
pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga menjadi bagian penyampaian
kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan
kebudayaan.
Inilah
yang tercermin dalam La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno
berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 yang saat ini menjadi kitab sakral
Bugis. Dari naskah La Galigo ini bisa diketahui kondisi masa-masa awal masuknya
Islam di tanah Bugis.
“Sastra
La Galigo tidak hanya dinikmati sebagai sastra tapi juga sebagai sarana
Islamisasi bagi orang Bugis,” kata Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanudin
Andi Muhammad Akhmar, dalam ujian terbuka promosi doktornya dengan judul
"Islamisasi Bugis" di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (6/6).
Dirinya
menjelaskan, islamisasi yang memanfaatkan sastra ini dilakukan tanpa
menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis. Namun, menyesuaikan unsur Islam
dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan
baik.
Sebelum menerima agama Islam, orang
Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno yakni
kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). “Orang Bugis
biasa menyebutnya Dewata Sisinae.Bahkan sisa-sisa kepercayaan terhadap Dewata
Seuwae ini dapat dilihat pada masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten
Sidenreng Rappang,” kata Akhmar.
Dewa-dewa
dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di
dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Tapi
seiiring masuknya islam dari Asia Barat, menggeser kepercayaan Dewata Sisinae
dengan konsep Allah Subhanahu Wa Taala, melalui ajaran-ajaran tauhid.
Pengucapan
doa-doa dan ayat Al-quran pun juga disesuaikan pengucapan bahasa Bugis. Dalam
praktik ibadah seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai
bagian mantra Bugis. “Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam
mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis,” ungkapnya.
Hingga
kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang
tidak boleh dibaca tanpa didahului sebuah ritual tertentu seperti menyembelih
sapi. Umumnya naskahnya dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun
rumah, musim tanam, pesta perkawinan, atau doa tolak bencana.
(Olivia Lewi Pramesti)
(Olivia Lewi Pramesti)
Adapun kisah berdirinya
kerajaan Luwu,diriwayatkan pada buku kesusteraan yang berbentuk “epos”.
Dikisahkan sebagai berasal dari kayangan berjudul berjudul “LAGALIGO”. Terdiri
dari dua puluh tiga jilid, dengan satu juta suku kata dan merukan buku sastera
jenis “epos” yang terpanjang di dunia pada zaman itu.
Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu Belanda berkuasa , semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya.[3]
Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu Belanda berkuasa , semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya.[3]
Kritik Ke Aslian Naskah La Galigo
Kritik
pedas yang dilontarkan Penulis buku “Gurita Cikeas” George Aditjondro dalam
makalahnya berjudul: Terlalu Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas klaim orang
Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya
Christian Pelras, patut dipertimbangkan oleh orang-orang Luwu (Bija To Luwu).
Selama ini, Orang Luwu selalu berada dalam bayang-bayang suku bugis. Sebagian
besar Bija To Luwu telah latah mengakui bahwa mereka adalah suku bugis, padahal
dalam kesehariannya, mereka menggunakan bahasa TAE sebagai ciri khas kesukuan
orang Luwu. Berikut 2 (dua) kutipan dari makalah tersebut yang patut
direnungkan:
1. Dan pengamatan di Tana Luwu’ dan
wawancara dengan sejumlah informan kunci, cukup jelaslah bagi saya bahwa orang
Luwu’ atau To Luwu’, penduduk asli ketiga kabupaten ex-kerajaan Luwu’ (Luwu,
Luwu Utara dan Luwu Timur) merupakan kelompok etno-linguistik (suku) sendiri,
dan bukan sub-etnis Bugis. Bahasanya, bahasa Tae’, lebih dekat ke bahasa Toraja
dari pada ke bahasa Bugis.
2. Klaim Bugis atas Luwu’, yang
dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim La Galigo sebagai karya sastra
Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim Mahabharata dan Ramayana
sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman
mengklaim Homeros sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya
sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa La Galigo
menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di
Sulawesi Selatan dan Barat.
Ternyata,
George Aditjondro bukan orang pertama yang berpendapat demikian. Hampir
seperempat abad silam, Andi Zainal Abidin, guru besar Fakultas Hukum Unhas,
telah mengungkap hal tersebut dalam beberapa tulisannya, yang kembali dikutip
George Aditjondro dalam makalah tersebut di atas.
Banyak Bukti
Saya
sendiri justru penasaran dengan Kitab Lagaligo yang diklaim sebagai Karya
Sastra Bugis. Saya mengembangkan sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Kitab
Lagaligo itu dikatakan karya sastra Bugis, sementara pemerannya adalah
Raja-raja Luwu, penutur rumpun bahasa TAE’? Saya pun berinisiatif mencari tahu
melalui search google.
Jawaban
pertama saya temukan dari pernyataan Muh. Salim -salah seorang penerjemah Sureq
Lagaligo- bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur
bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di
Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Makanya, Muh. Salim butuh 5
tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000
baris yang terbagi dalam 36 Bab itu.
Dari
pernyataan Salim ini, kita dapat mengembangkan logika: kalau Kitab tersebut
berbahasa Bugis, tentu dia hanya butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan
terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar
berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab
tersebut.
Tapi,
Saya tetap menggaris bawahi phrasa “Proto Bugis+Sansekerta” yang dikatakan oleh
Muh. Salim. Saya coba telusuri melalui Genesis bahasa Austronesia. Masya
Allah….., saya baru tahu kalau bahasa yang merupakan turunan terakhir di
Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan
dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa
Makassar. Dan bahasa Makassar adalah turunan campur (Indo) dari bahasa TAE’
(Luwu) dan Bahasa BARE’E (Sulawesi tengah). Sungguh mengejutkan![4]
Lalu
apa alasan Muh. Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” dan hanya tersisa 100
orang saja yang mengerti?” Hanya Allah dan dia saja yang tahu.
Saya belum puas sampai disitu. Saya
berpikir bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa
Bugis, tapi berbahasa lain dan dari tempat asli di mana para pemeran dan
episodenya berlangsung, yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab
tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas, suatu hal yang belum mampu saya
lakukan, mengingat keterbatasan saya dalam hal finansial dan kapasitas
keilmuan.
Tapi
entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik di teliga saya untuk mencari
keterangan dari para pemerhati Lagaligo di Luar Negeri. Dalam benak saya,
mereka (orang luar itu) tentu pernah menulis hal-hal terkait kitab tersebut,
dan mereka tentu akan lebih objektif, semata hanya untuk pengembangan keilmuan,
dan tidak ada tendensi dan pengaruh subjektifitas kesukuan. Toh mereka bukan
orang Sulsel. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan tambahan dari V.
SIRK melalui tulisannya berjudul : On Old Buginese and Basa Bissu hal
235. Berikut kutipannya:
1. To determine the origin of the
lexical layers formed basically by the words that Matthes marks with O.B. and
with B.B. is a complicated problem. Here I am able to give some suggestion only
regarding the first, “Old Buginese” layer. This layer has apparently been
brought about by the “Lagaligo” tradition. As regards the original homeland of
this tradition, there are various consideratios putting forward Luwu’ region.
However, such a hypothesis cannot as yet be founded linguistically : much more
data about Buginese dialects and neighbouring languages are needed to prove it.
Nevertheless, already at present it seems that there are isoglosses linking the
“Old Buginese” layer with the languages of Central and Eastern Sulawesi. The
following parallels are interesting : O.B. eyo ‘day’ — eo id. in a number of
languages of Central Sulawesi (a specific development of the etymological rool
* (q)ajaw); O.B. rananrir) ‘wind’ — ranindi ‘cold’ in Toraja languages ; O.B.
tapide ‘shield’ — Bare’e (Pu’umboto dialect) tampide, Banggai tompide id. ;
O.B. kunawe ‘buffalo’ — Bare’e (priests’ language)
(Artinya: Untuk menentukan keaslian
dari lexical yang melapisi pembentuk dasar kata-kata yang ditandai Matthes
dengan O.B. dan B.B., adalah sebuah masalah yang complete. Di sini, saya dapat
memberi saran hanya mengenai “Bahasa Bugis Kuno” dulu. Adapun mengenai tanah
air asli dari tradisi ini, ada begitu banyak pertimbangan di sepanjang wilayah
Luwu. Namun demikian, sebagaimana halnya hipotesis-hipotesis yang belum dapat
ditemukan secara linguistic: terlalu banyak data tentang dialek-dialek bahasa
Bugis dan bahasa tetangga(nya) yang harus disediakan. Kendati demikian,
kelihatannya telah ada batas pemisah yang jelas pada lapisan “Bahasa Bugis
Kuno” dengan bahasa-bahasa di Sulawesi tengah dan Sulawesi bagian Timur).
2. Besides, it should not be
forgotten that the origin of the linguistic standard of Buginese prose
antedates Matthes’s scarce notes about Buginese dialects
(Artinya: Disamping itu, jangan lupa
bahwa standar linguistic asli dari prosa Bugis, lebih dulu ada daripada catatan
langka Matthes tentang Dialek-dialek Bugis).
Mengakhiri Kelatahan
Kutipan
V. Sirk di atas cukup menggambarkan kepada kita bahwa orang luar pun sudah tahu
di mana tempat asli dari Kitab Lagaligo itu dilahirkan, berikut bahasa yang
digunakan dalam Kitab Lagaligo tersebut. Jelas bukan bahasa Bugis, tapi bahasa
Luwu alias bahasa TAE’ yang belum diketahui dialek apa. Jadi, tunggu apalagi?
Saya sendiri tetap berkomitmen untuk mengumpulkan data demi data untuk
pembuktian tersebut. Dan insya Allah komitmen saya tidak akan padam, walaupun
ada di antara kita sekalian (Bija To Luwu) bertanya-tanya: Apa perlunya?
Membuat
Identitas sebagai Suku tersendiri akan menguntungkan orang Luwu ke depan,
khususnya dalam bidang Pariwisata. Saat ini dunia sedang melek mata akan
keagungan Sureq Lagaligo yang lebih panjang dari pada Kisah Mahabharata dan
Ramayana dari India. Mereka sedang mencari-cari dari manakah asal muasal Kitab
yang hebat itu. Tidak menutup kemungkinan, akan ada sutradara Hollywood yang
tertarik menggarap kisah Sawerigading yang memiliki karakter yang lebih unik
daripada Hercules, atau tokoh-tokoh Mythos lainnya di dunia. Jelas, itu hanya
sebuah tips dan bukan tujuan utama jika kita memiliki identitas tersendiri[5].
Tapi,
jika Luwu tetap mendompleng dalam bayangan identitas suku bugis, maka justru
orang-orang Bugislah -yang secara geografis berada di wilayah BOSOWA- yang akan
mengeruk keuntungan tersebut. Terbukti, pernah dilakukan ekspedisi arkeologi
OXYS, di Sulsel untuk menelusuri perjalanan Kitab Lagaligo. Sayangnya, mereka
tidak menemukan apa-apa, karena diarahkan ke Kecamatan Cenrana, Kab. Bone, oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir,
tak lupa peran penting 4 pemerintahan di Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu
Utara dan Luwu Timur. 2 (dua) hal mendesak yang sebaiknya segera dilakukan
untuk penyelamatan identitas kesukuan ini, yaitu:
1. Mengirim putra dan putri Luwu ke perpustakaan
Leiden Belanda yang punya kapasitas keilmuan untuk melakukan translasi,
transliterasi dan dokumentasi Sureq Lagaligo.
2. Mengembalikan Luwu dalam kondisi
originality (keasliannya), minimal dalam berbahasa.
Sungguh
pilu hati ini melihat begitu latah dan bangganya orang Luwu di Kota Palopo
disebut sebagai orang bugis, sehingga slogan berbahasa bugis pun tertera di
mana-mana. Wanua mappatuwo naewai alena, Toddopuli temmalara (ini sejak tahun
1946?), SaodenraE, SaokataE, dan lain lain. Nawawi S. Kilat dari Kec. Wotu Kab.
Luwu Timur, bahkan sudah lebih dulu teriak agar nama Sungai Cerekang
dikembalikan ke nama semula sesuai bahasa setempat menjadi Sungai Cerrea.
Semoga kelatahan ini segera diakhiri, dan kita menuju ke kondisi keaslian
identitas kita sebagai Bija To Luwu. Selebihnya……,
W
Allahu a’lam bisshawab. Wa Shadaq Allahu l’adzim.[6]
Kesimpulan
Kitab Epos I La Galigo bagi masyarakat
Sulawesi Selatan merupakan epos yang menceritakan asal usul peradaban masyarakat
Sulawesi umumnya dan khususnya Sulawesi bagian Selatan. Epos berkaitan dengan
berbagai etnis yang ada di daratan Sulawesi sehingga masih dapat ditemukan di
tengah lapisan masyarakat di Sulawesi khususnya di propinsi Sulawesi Selatan
mensakralkan epos ini dan ada pula menganggap ini merupakan kitab suci selain
itu ada pula menganggap epos ini hanya sebuah karya sastra karena isinya hanya
mitos.
Perjalanan kitab ini sungguh panjang hingga
menjadi salah satu koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land-
en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I La Galigo di tulis ulang seorang
wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama Collie Puji Arung Pancana Toa yang
merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang sekarang masuk wilayah Kabupaten
Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji
menulis ulang adalah hasil dorongan seorang misionaris dan juga seorang
peneliti Antropolog asal Belanda yakni Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan
misionarisnya di sertai penelitiannya B.F Mathees berupaya mengumpulkan lagi
lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo yang tersebar di kalangan
masyarakat di Sulawesi Selatan.
Manuskrip Epos I La Galigo memiliki 300.000
baris teks serta diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan lembar masih
tersebar di tengah masyarakat selain itu telah banyak mengalami kerusakan atau
hilang, namun untuk melihat secara dekat epos ini masih bisa dijumpai beberapa
lembar di Museum La Galigo Makassar.
Saat ini Epos I La Galigo menjadi salah satu
Epic terpanjang di Dunia yang dapat disejajarkan dengan epos terpanjang dunia
lainnya seperti Epos Mahabarata dan Ramayana dari India, Shahmane peninggalan
persia (Iran), dan epos peradaban Yunani. Hal inilah membuat La Galigo
diadaptasi ke dalam seni pentas yang di sutradarai oleh Robert Wilson
sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Manuskrip Epos I La Galigo yang telah
menjadi salah satu Memori Dunia yang tercatat di UNESCO Memory of the World
Register. UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah naungan PBB mempunyai
program yang disebut UNESCO Memory of the World Register yang dimulai pada
tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk menjaga warisan
berupa hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja atau pun tidak
disengaja oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca.
Kegiatan ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa peninggalan dari
hasil dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen dianggap penting
dalam sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian timur Indonesia
telah menjadi milik dunia.
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.
REFERENSI MAKALAH
ü Http://www.Englopedia.asalusul kitap la galigo. 2008
ü Http://www.Raengdoungunae.co.id lagaligo kitap sacral orang bugis.2001
ü Http://www.
George
Aditjondro ;Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas klaim orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat
dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras. 2001
ü Http://www.Unhas.Com.
Collie Puji Arung Pancana Toa perjuangan perempuan mencatat kitab la galigo.
2008
ü Http://www.Burhanuddinloue.com.Kerajaanluwuyang
dikucilkan.2007
ü Http://www.kampoengbugis.co.id.
bahasa la galigo adalah bahasa bugis tua. 2000
[1] Htt:// www.Raengdoungunae.co.id. lagaligo kitap sacral orang bugis..2001
[2] Http:// www.Unhas.Com Collie Puji Arung Pancana Toa perjuangan
perempuan mencatat kitab la galigo. 2008
[3] Hhtp. www.Burhanuddinloue.com. Kerajaan luwu yang dikucilkan.2007
[4] Http://www.kampoengbugis.com. bahasa la galigo adalah bahasa bugis
tua. 2000
[5] Http://www. George
Aditjondro ;Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas klaim orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo,
seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras. 2001
[6] Http.www.Englopediac0.id. asalusulkitaplagaligo. 2008