Thursday, September 5, 2024

Peran Gender Dalam Budaya Bugis Makassar

Share On:



 
PENDAHULUAN
                                                                                                                        
A.  Latar Belakang
Masalah kesadaran gender dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia telah mencuat ke permukaan. Berbagai struktur dan kultur yang selama ini mengabaikan perempuan digugat dan upaya dekonstruksi terhadap pemahaman dan pelaksanaannya dilakukan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan bermacam-macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Seringkali gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan), dan  pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini serta peran dan tanggung-jawabnya masing-masing, telah dibuat sedemikian rupa dan berlalu dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga lama kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang  gender dan mana yang sex. Bahkan peran gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang diberikan Tuhan.
Sebagai akibat dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan perempuan, baik secara langsung berupa perlakuan atau sikap, maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam sejarah, adat-istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidak adilan ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki; walau secara menyeluruh ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak menimpa kaum perempuan.
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan telah mempunyai impelementasi di dalam kehidupan sosial budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di dalam bawah sadar seseorang ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu juga menjadi atribut gender yang bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran sosialnya di dalam masyarakat.[1]
Kata ‘jender’ telah di gunakan di Amerika tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara redikal, konservatif, sekuler maupun agama untuk menyuarakan eksistenai perempuan yang kemudian melahirkan kesadaran gender. Menurut Eline Sholwater (1989) sebagaimana dikemukakan Umar bahwawacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian mengaantikanya dengan isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembagunan dunia ketiga. Di indonesia istilah gender lazim dipergunakan di Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dengan ejaan “gender”, di artikan sebagai interpertasi mental dan kulturral terhadap perbedaan kelamin, yakni perempuan dan laki-laki.[2]
Gender berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Kalau begitu antara gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.
Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll.[3]

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran gender dalam budaya Bugis Makassar ?

C. Pembahasan

Perempuan dan laki-laki pada hakikatnya mempunyai status yang sama dalam suatu masyarakat, yang membedakan adalah fungsi dan peran yang diembang untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, perempuan kadang-kadang harus menjadi mahluk domestik karena tuntutan kehidupan yang lambat laun mendapat justifikasi dari masyarakat sebagai mahluk kelas dua (second sex). Hal inilah yang selanjutnya melahirkan gerakan feminisme dengan berbagai bentuk dan tuntutan, yang ingin membebeskan perempuan dari keterkungkungan domestikasi.[4]
Suku Makassar merupakan salah satu etnik di Sulawesi Selatan yang mempunyai keunikan dari segi bahasa maupun budaya termasuk dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki yang jejaknya dapat di telusuri sampai saat ini. Pada zaman dahulu masyarakat Makassar sudah memberikan kepada perempuan hak dan kewajiban serta kesempatan akses dan kontrol (pendididkan, ekonomi, sosial, politik). Perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan hak yang sama, serta senantiasa saling menghargai, bekerja sama untuk sebuah keberhasilan secara proposional, serta memperlihatkan hubungan yang lebih bersifat egaliter.
Budaya Makassar memosisikan perempuan pada posisi yang terhormat berdasarkan ungkapan-ungkapan yang di gunakan, kepada perempuan khususnya dalam peran sebagai “ibu”. Posisi “ibu” tampaknya menempati kedudukan yang sangat terhormat dalam konteks makassar, untuk mengacu kepada “ibu” dalam BM biasanya di gunakan dua kata, yaitu ammaq dan annrongq, kata ammaq penggunaanya terbatas yaitu hanya pada ibu yang mengacu pada manusia yang biasanya bermakna denotatif. Tetapi kalau annrong penggunaanya lebih luas karena bisa di gunakan untuk ibu manusia juga bisa berarti pada induk hewan atau serangga, dan biasanya di gunakan untuk ungkapan yang bermakna konotatif. Pengunaan kata anrong (ibu) yang bermakana denotatif misalnya ungkapan tersebut seperti “anrong lima” (ibu jari) yang menyimbolkan peranan ibu fleksibel dan dengan mudah berinteraksi dengan anak-anak (jari-jari) serta seluruh lapisan masyarakat, “anrong tukak” (rangka tangga) menyembolkan peran fungsional ibu sebagai tempat berperang dan bertumpunya anak-anak (seperti anak tangga) untuk menuju keposisi yang lebih tinggi. Ungkapan-ungkapan memperlihatkan bahwa posisi perempuan sangat terhormat, yaitu posisi sebagai anrong rante yang selalu di gunakan pada bagian depan leher dan di dekat hati si pemakai kalungserta menjadi tumpuan pandangan setiap orang yang melihatnya.
Dalam realitassosial kultural masyarakat Makassar, ibu dianggap sebagai pendidik utama dalam keluarga. Oleh karena itu, jika anak mengalami kesalahan dalam menginternalisasikan nilai-nilai sosial-budaya dalam kehidpanya, maka ungkapan berupa makian bukan mdialamatkan kepada sang anak, tetapi justru kepada sang ibu dengan makna negatif.[5]
Dalam menjalankan kegiatan sehari-hari khususnya peran di wilayah domestik dan wilayah publik, juga di temukan yang memosisikan perempuan dan laki-laki di sulawesi selatan, khususnya di kalangan etnik Bigis Makassar. Di wilayah domestik di temukan ungkapan bahwa “domain perempuan seputar rumah, dan domain laki-laki mencapai batas langit”, Sedangkan dalam menjalangkan peran publik terdapat kefleksibelan untuk perbedaan tingkah laku gender seperti dalam ungkapan: “siapa pun, meskipun seorang laki-laki, yang mempunyai kualitas seperti perempuan adalah seorang perempuan; tetapi meskipun seorang perempuan, mempunyai kualitas seperti laki-laki adalah seorang laki-laki”. Aplikasi persial dari prinsip ini ditemukan dalam kesempatan para perempuan dalam konteks sebagai pemimipin perang atau pemimpin politi. Terlihat dari seorang tokoh perempuan yang turut mewarnai sejarah perjuangan kerajaan Gowa melawan belanda yaitu I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya, yang lahir pada tanggal 10 september 1659. Ia adalah putri Sultan Hasanuddin yang digelari oleh seorang penyair Belanda sebagai “Garuda dari Timur” karena kegigihan dan keahlian dalam hal ilmu bela diri. Fatimah ikut membantu perjuangan melawan Belanda di Banten dengan pasukan elit serta memimpin pasukan bainea (pasukan perempuan) dan bergabung dengan pasukan Syekh Yusuf. Akibat kekalahan pasukan Banten dan pasukan kerajaan Gowa, Fatimah kembali ke Makassar meneruskan perjuangannya melawan Belanda. Dia pun gugur dalam suatu pertempuran sengit melawan Belanda di tanah kelahiranya sendiri, yaitu Gowa.[6]
Peran Gender dalam Konteks Folklor
Peran gender melahirkan relasi gender sedangkan relasi gender melahirkan perangender. Analisis relasi gender inilah yang akan memberikan gambaran bagaimana masyarakat dan budaya Makassar mendefisinikan hak dan tanggung jawab kepada perempuan dan laki-laki, serta bagaiman mendefinisikan identitas sosial perempuan dan laki-laki berdasarkan peran gender diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu peran kordati (peran reproduktif) yang bersifat permanen diantara perempuan dan laki-laki sehingga tidak dapat dipertukarkan, sedangkan peran budaya merupakan peran domestik, peran produktif, dan peran sosial merupakan peran berdasarkan hasil kontruksi budaya, oleh karena dapat dipertukarkan (bertukar peran antara perempuan dan laki-laki) dan berubah dari waktu ke waktu.
a.       Peran kodrati (nature): peran reproduktif
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan teks folklor, diperbolehkan sejumlah representasi identitas gender berdasarkan peran perempuan dan laki-laki. Peran kodrati atau peran reproduktif yang diperoleh berdasarkan data folklor mempunyai porsi sangat kecil. dalam peran kodrati atau peran reproduktif seperti anreiwa-riwa anqlolo (menimang-nimang bayi) tokoh perempuan ini merupakan sebagai perempuan yang sudah sepantasnya menimbang bayi layaknya seorang ibu dan istri.
b.      Peran budaya (culturel)
Peran budaya meliputu peran domestik, peran produktif, dan peran sosial. Seoerti peran St. Nuharirah sebelum menikah hanyalah berbatasa beraktivitas di lingkungan domestik yaitu mengurus rumah tangga seperti menyapu dan membersihkan rumah karena hidupnya sebatang kara.
Aktivitas St. Nurharari saat bersuamikan Nahkoda Hasan, peranya hanyalah peran domestik yaitu sebagai ijstri atau ibu rumah tangga. Dia menjalangkan peran sebagai istri di wilayah domestik yang hanya mengurus rumah tangga dan keperluan suaminya sewaktu berada di rumah, serta keperluan yang akan dibawa pergi berlayar.
Tokoh perempuan kedua dalam peran budaya ini adalah permaisuri raja, akan tetapi ceritanya tidak jauh dari tokoh perempuan yang pertama, dimana dalam tokoh yang kedua ini bercerita tentang peranan seoarang istri yang tidak lain permaisuryi raja, layaknya seorang raja yang memiliki seorang permaisuri, raja meminta pendapat pemisuri untuk memberikan hadia kepada  puang pakako yang tidak lain suami dari St. Nurharari karena jasanya yang telah memberi raja hasil kerajinaan tanggan yang sangat bagus. Pilihan pemaisuri untuk memberukan sepetak sawah dikabulkan oleh raja dan menjadi keputusan raja pada saat itu.
Gambaran ini mengandung bahwa peran seorang istri di lingkungan istana sangat diperhatikan dan dihargai karena untuk mengambil keputusan, raja membutuhkan pendapat dan dukunganseorang istri. Pendapat istrinyalah yang menjadi kepetusanya pada saat itu, meskipun pada awalnya pemaisuri ragu-ragu mengeluarkan pendapat akan tetapi raja mengatakan saya butuh pendapatmu makanya saya bertanya. Kondisi ini tampanyaknya memposisika ncitra perempuan di lingkungan kerajaan  atau istana.
Budaya Bugis-Makassar  tidak  membatasi perempuan untuk berekspresi menjadi pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis yang terkenal memperjuangkan kemerdekaan pada masa pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti dengan beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam dirinya tak sedikit pun rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, dalam ruang-ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar terpatri konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual yang terbentuk secara fitrawi.[7]
Peran perempuan hebat lainya dapat kita temukan di desa Bontoloe Kab. Gowa perempuan ini di percaya lebih mampu di bandikan sosok seorang laki-laki dalam hal ritual, di Bontoloe, adaq baine selalu menikah dengan  pemangku jabatan tradisional, kecuali karaeng. Adaq baine dari penguasa desa adalah perempuan yang bertanggung jawab terhadap kalompoang dan yang bertugas menyenggarakan ritual yang berkaitan dengan pusaka keramat tersebut, Perempuan dewasa ini bertanggung jawab terhadap pusaka keramat di Bontoloe telah mengembang tugas tersebut sekitar 30 tahun sementara selama periode yang sama karaeng telah di pengang oloh empat orang. Perempuan yang memelihara kalompoang, yang tidak dapat di ganti selama dia masih hidup, menepati jabatan adaq yang tertinggi di desa. Dia di anggap sebagai perwakilan adaq yang paling tinggi, termasuk dalm kepempinan politik dan spiritual, sementara karaeng tidak lebih dari pelaksanaan kekuasaan politik di bawah legitimasi pusaka keramat. Sinong, perempuan tua yang bertugas menjaga kalompoang Bontoloe, adalah orang yang pada saat yang sama di pandang memiliki pengetahuan yang paling mendalam tentang adaq serta kepercayaan tradisional.
Pada umumnya kaum perempuan merupakan “pemeran utama” dalam praktek kepercayaan tradisional sehari-hari. Mereka dianggap ahli dalam bidang itu dan hal itu semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa di beberapa desa, kaum perempuan berperang pula sebagai dukun (sanro). Selama pelaksanaan ritual, kaum perempuan mempersiapkan dan mengatur berbagai jenis persembahan dan memastikan agar seluruh rangkaian upacara dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dalam kepercayaan dan adaq. Selai itu perempuan juga bertanggung jawab terhadap semua unsur “keduniawian” suatu ritual, seperti memasak dan menyajikan hidangan kepada para peserta dari desa tersebut yang nenghadiri upacara, maupun peserta yang datang dari tempat lain. Dalam istilah modern, kita dapat katakan bahwa manajemen kepercayaan tradisional lebih banyak du serahkan kepada kaum perempuan, sedang kaum pria lebih mendominasi pelaksanaan ritualnya, termasuk membakar kemenyan, membacakan mantra (baca-baca), menyucikan sesuatu dengan air atau minyak. Hal itu khususnya terjadi dalam ritual menyangkut hubungan simbolis antara kepercayaan dengan struktur politik komunitas tersebut. Sebaliknya perempuan melaksanakan sebagian besar ritual atau tahapan-tahapan ritual dalam ruang lingkup pribadi atau keluarga,misalnya ritus-ritus daur hidup.
Perempuan sebagai Perantara Penyampaian Tinjaq
Meski agaknya baru muncul relatif lebih belakangan dan masih jarang di temukan, tinjaq kategori ini yang di buat karna ingin memperoleh harta kekeyaan atau kemakmuran yang juga berhubungan dengan ‘pola pertukara’ antara manusia dengan roh ‘penghuni’ pusaka keramat.munculnya tinjaq seperti itu di sebabkan oleh semakin bertambahnya pola hidup materialistis yang bahkan telah menyusup hingga ke pelosok pedalaman. Jika dulu perekonomian masyarakat sepenuhnya berlandaskan sistem pertukaran produk makanan serta barang lainnya, dan kesejangan standar kehidupan relatif kecil, maka meningkatnya jumlah saudagar, guru, dan pegawai lainnya yang kondisi keuangannya lebih baik dibanding para petani, sehingga terjadi perubahan fundamental dalam hal sikap mereka terhadap uang dan kekayaan dan material lainnya. Akibatnya janji memberi persembahahan roh penghuni kalompoang bila seseorang dibantu untuk memperbanyak harta kekeyaannya adalah sesuatu yang dianggap biasa.
Selanjutnya, pendidikan medern adalah faktor lain yang juga membawa perubahan terhadap isi suatu tinjaq.
Contoh kasus
Pada usia 18 tahun, ibrahim tengah bersiap menghadap ujian akhir SMA di Ujungpadang. Dia meminta ibunya, Celo, untuk membawa sesisir pisang ke kalompoang Bontoloe, kampung halaman ibu Celo.
Sinong, penjaga pusaka keramat tersebut melakukan ritual di mana Celo membuat tinjaq untuk mempersembahkan empat ekor ayam besar kepada kalompoang jika anaknya dibantu untuk lulus dalam ujian akhir nanti. Selain sinong dan Cole, tidak ada orang lain yang terlibat dalam ritual itu.
Ritual tersebut adalah contah tinjaq yang dibuat secara ‘resmi’ yang tidak dapat ‘dilupakan’ begitu saja seperti halnya tinjaq yang hanya diniatkan dalam hati, karena paling tidak sinong menjadi saksi dibuatnnya dan isi tanjaq tersebut. Tampak jelas posisi perempuan sebagai perantara dengan pusaka keramat: dalam hal ini, bukan ibrahim yang langsung membuat tinjaq di depan kalompoang, namun di wakili oleh ibunya. Setelah lulus ujian akhir, Ibrahim ikut serta dalam ritual yang di lakukan beberapa minggu kemudian untuk menunaikan tinjaq tersebut.[8]


PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa;
Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
Suku Makassar merupakan salah satu etnik di Sulawesi Selatan yang mempunyai keunikan dari segi bahasa maupun budaya termasuk dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki yang jejaknya dapat di telusuri sampai saat ini. Pada zaman dahulu masyarakat Makassar sudah memberikan kepada perempuan hak dan kewajiban serta kesempatan akses dan kontrol (pendididkan, ekonomi, sosial, politik). Perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan hak yang sama, serta senantiasa saling menghargai, bekerja sama untuk sebuah keberhasilan secara proposional, serta memperlihatkan hubungan yang lebih bersifat egaliter.
Budaya Bugis-Makassar  tidak  membatasi perempuan untuk berekspresi menjadi pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis yang terkenal memperjuangkan kemerdekaan pada masa pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti dengan beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam dirinya tak sedikit pun rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, dalam ruang-ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar terpatri konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual yang terbentuk secara fitrawi.




                                                DAFTAR PUSTAKA


 Harahap, A.R. (2010). Harakiri dan Siri’ Bugis-Makassar. (online). (http://wijatobone.blogdetik.com/feed/, diakses pada 12 Desember 2012

Desember 2012

Iswari, Ery. “Perempuan Makassar Relasi Gender Dalam Folklor”, Penerbit Ombak. Yogyakarta. 2010
M. Ag, Ch. Dra. Hj. Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender”, Uin- Malang Press. Malang. 2008
Rahman, Arham, dkk. Konsep Gender dalam Petuah Bugis. Universitas Negeri Makassar, 2007


[1] Harahap, A.R. (2010). Harakiri dan Siri’ Bugis-Makassar. (online). (http://wijatobone.blogdetik.com/feed/, diakses  pada 12 Desember  2012

[2] Dra. Hj. Mufidah M. Ag, CH. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Uin-Malang Pres. Malang). 2008. h.
[4] Ery Iswari. Perempuan Makassar Relasi Gender Dalam Folklor,  (Penerbit Ombak. Yogyakarta, 2010). h.
[5] Ibid. h.
[6] Ibid. h.
[7] Ibid. h.
            [8] Rahman, Arham, dkk. Konsep Gender dalam Petuah Bugis. (Universitas Negeri Makassar, 2007), h. 190

Newer Post Older Post Home
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment