PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
kesadaran gender dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia
telah mencuat ke permukaan. Berbagai struktur dan kultur yang selama ini
mengabaikan perempuan digugat dan upaya dekonstruksi terhadap pemahaman dan
pelaksanaannya dilakukan.
Salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan
bermacam-macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Seringkali
gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan),
dan pembagian jenis kelamin laki-laki
dan perempuan ini serta peran dan tanggung-jawabnya masing-masing, telah dibuat
sedemikian rupa dan berlalu dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga
lama kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang gender dan mana yang sex. Bahkan peran
gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang
diberikan Tuhan.
Sebagai akibat
dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan
perempuan, baik secara langsung berupa perlakuan atau sikap, maupun tidak
langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah
menimbulkan berbagai ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam
sejarah, adat-istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidak adilan
ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran yang
ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak
hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki;
walau secara menyeluruh ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini
lebih banyak menimpa kaum perempuan.
Perbedaan secara
biologis antara laki-laki dan perempuan telah mempunyai impelementasi di dalam
kehidupan sosial budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di dalam bawah
sadar seseorang ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis, seperti penis
pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu juga menjadi
atribut gender yang bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran
sosialnya di dalam masyarakat.[1]
Kata ‘jender’ telah di gunakan di Amerika
tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara redikal, konservatif, sekuler
maupun agama untuk menyuarakan eksistenai perempuan yang kemudian melahirkan
kesadaran gender. Menurut Eline Sholwater (1989) sebagaimana dikemukakan Umar
bahwawacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis
London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian mengaantikanya dengan isu gender. Sejak saat
itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun
tulisan di seputar perubahan sosial dan pembagunan dunia ketiga. Di indonesia
istilah gender lazim dipergunakan di Kantor Menteri Negara Peranan Wanita
dengan ejaan “gender”, di artikan sebagai interpertasi mental dan kulturral
terhadap perbedaan kelamin, yakni perempuan dan laki-laki.[2]
Gender berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti
jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada
laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Kalau begitu
antara gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari
pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau
dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender
ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian
jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis,
memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi,
bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.
Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks
(jenis kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara
laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah
merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender
berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain,
akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang
dianut.
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses
pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan”
misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang,
sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat,
rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll.[3]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
peran gender dalam budaya Bugis Makassar ?
C. Pembahasan
Perempuan
dan laki-laki pada hakikatnya mempunyai status yang sama dalam suatu
masyarakat, yang membedakan adalah fungsi dan peran yang diembang untuk
mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya,
perempuan kadang-kadang harus menjadi mahluk domestik karena tuntutan kehidupan
yang lambat laun mendapat justifikasi dari masyarakat sebagai mahluk kelas dua
(second sex). Hal inilah yang selanjutnya melahirkan gerakan feminisme dengan
berbagai bentuk dan tuntutan, yang ingin membebeskan perempuan dari
keterkungkungan domestikasi.[4]
Suku
Makassar merupakan salah satu etnik di Sulawesi Selatan yang mempunyai keunikan
dari segi bahasa maupun budaya termasuk dinamika kehidupan perempuan dan
laki-laki yang jejaknya dapat di telusuri sampai saat ini. Pada zaman dahulu
masyarakat Makassar sudah memberikan kepada perempuan hak dan kewajiban serta
kesempatan akses dan kontrol (pendididkan, ekonomi, sosial, politik). Perempuan
dan laki-laki mempunyai kesempatan dan hak yang sama, serta senantiasa saling
menghargai, bekerja sama untuk sebuah keberhasilan secara proposional, serta
memperlihatkan hubungan yang lebih bersifat egaliter.
Budaya
Makassar memosisikan perempuan pada posisi yang terhormat berdasarkan
ungkapan-ungkapan yang di gunakan, kepada perempuan khususnya dalam peran
sebagai “ibu”. Posisi “ibu” tampaknya menempati kedudukan yang sangat terhormat
dalam konteks makassar, untuk mengacu kepada “ibu” dalam BM biasanya di gunakan
dua kata, yaitu ammaq dan annrongq, kata ammaq penggunaanya terbatas yaitu
hanya pada ibu yang mengacu pada manusia yang biasanya bermakna denotatif.
Tetapi kalau annrong penggunaanya lebih luas karena bisa di gunakan untuk ibu
manusia juga bisa berarti pada induk hewan atau serangga, dan biasanya di
gunakan untuk ungkapan yang bermakna konotatif. Pengunaan kata anrong (ibu)
yang bermakana denotatif misalnya ungkapan tersebut seperti “anrong lima” (ibu jari) yang
menyimbolkan peranan ibu fleksibel dan dengan mudah berinteraksi dengan
anak-anak (jari-jari) serta seluruh lapisan masyarakat, “anrong tukak” (rangka tangga) menyembolkan peran fungsional ibu
sebagai tempat berperang dan bertumpunya anak-anak (seperti anak tangga) untuk
menuju keposisi yang lebih tinggi. Ungkapan-ungkapan memperlihatkan bahwa
posisi perempuan sangat terhormat, yaitu posisi sebagai anrong rante yang
selalu di gunakan pada bagian depan leher dan di dekat hati si pemakai
kalungserta menjadi tumpuan pandangan setiap orang yang melihatnya.
Dalam
realitassosial kultural masyarakat Makassar, ibu dianggap sebagai pendidik
utama dalam keluarga. Oleh karena itu, jika anak mengalami kesalahan dalam menginternalisasikan
nilai-nilai sosial-budaya dalam kehidpanya, maka ungkapan berupa makian bukan
mdialamatkan kepada sang anak, tetapi justru kepada sang ibu dengan makna
negatif.[5]
Dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari khususnya peran di wilayah domestik dan
wilayah publik, juga di temukan yang memosisikan perempuan dan laki-laki di
sulawesi selatan, khususnya di kalangan etnik Bigis Makassar. Di wilayah
domestik di temukan ungkapan bahwa “domain perempuan seputar rumah, dan domain
laki-laki mencapai batas langit”, Sedangkan dalam menjalangkan peran publik
terdapat kefleksibelan untuk perbedaan tingkah laku gender seperti dalam
ungkapan: “siapa pun, meskipun seorang laki-laki, yang mempunyai kualitas
seperti perempuan adalah seorang perempuan; tetapi meskipun seorang perempuan,
mempunyai kualitas seperti laki-laki adalah seorang laki-laki”. Aplikasi
persial dari prinsip ini ditemukan dalam kesempatan para perempuan dalam
konteks sebagai pemimipin perang atau pemimpin politi. Terlihat dari seorang
tokoh perempuan yang turut mewarnai sejarah perjuangan kerajaan Gowa melawan
belanda yaitu I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya, yang lahir pada
tanggal 10 september 1659. Ia adalah putri Sultan Hasanuddin yang digelari oleh
seorang penyair Belanda sebagai “Garuda dari Timur” karena kegigihan dan
keahlian dalam hal ilmu bela diri. Fatimah ikut membantu perjuangan melawan
Belanda di Banten dengan pasukan elit serta memimpin pasukan bainea (pasukan
perempuan) dan bergabung dengan pasukan Syekh Yusuf. Akibat kekalahan pasukan
Banten dan pasukan kerajaan Gowa, Fatimah kembali ke Makassar meneruskan
perjuangannya melawan Belanda. Dia pun gugur dalam suatu pertempuran sengit
melawan Belanda di tanah kelahiranya sendiri, yaitu Gowa.[6]
Peran Gender dalam Konteks Folklor
Peran
gender melahirkan relasi gender sedangkan relasi gender melahirkan perangender.
Analisis relasi gender inilah yang akan memberikan gambaran bagaimana
masyarakat dan budaya Makassar mendefisinikan hak dan tanggung jawab kepada
perempuan dan laki-laki, serta bagaiman mendefinisikan identitas sosial
perempuan dan laki-laki berdasarkan peran gender diklasifikasikan menjadi dua
bagian besar, yaitu peran kordati (peran reproduktif) yang bersifat permanen
diantara perempuan dan laki-laki sehingga tidak dapat dipertukarkan, sedangkan
peran budaya merupakan peran domestik, peran produktif, dan peran sosial
merupakan peran berdasarkan hasil kontruksi budaya, oleh karena dapat
dipertukarkan (bertukar peran antara perempuan dan laki-laki) dan berubah dari
waktu ke waktu.
a. Peran
kodrati (nature): peran reproduktif
Berdasarkan
hasil analisis keseluruhan teks folklor, diperbolehkan sejumlah representasi identitas
gender berdasarkan peran perempuan dan laki-laki. Peran kodrati atau peran
reproduktif yang diperoleh berdasarkan data folklor mempunyai porsi sangat
kecil. dalam peran kodrati atau peran reproduktif seperti anreiwa-riwa anqlolo (menimang-nimang bayi) tokoh perempuan ini
merupakan sebagai perempuan yang sudah sepantasnya menimbang bayi layaknya
seorang ibu dan istri.
b. Peran
budaya (culturel)
Peran
budaya meliputu peran domestik, peran produktif, dan peran sosial. Seoerti
peran St. Nuharirah sebelum menikah hanyalah berbatasa beraktivitas di
lingkungan domestik yaitu mengurus rumah tangga seperti menyapu dan
membersihkan rumah karena hidupnya sebatang kara.
Aktivitas
St. Nurharari saat bersuamikan Nahkoda Hasan, peranya hanyalah peran domestik
yaitu sebagai ijstri atau ibu rumah tangga. Dia menjalangkan peran sebagai
istri di wilayah domestik yang hanya mengurus rumah tangga dan keperluan
suaminya sewaktu berada di rumah, serta keperluan yang akan dibawa pergi
berlayar.
Tokoh
perempuan kedua dalam peran budaya ini adalah permaisuri raja, akan tetapi
ceritanya tidak jauh dari tokoh perempuan yang pertama, dimana dalam tokoh yang
kedua ini bercerita tentang peranan seoarang istri yang tidak lain permaisuryi
raja, layaknya seorang raja yang memiliki seorang permaisuri, raja meminta
pendapat pemisuri untuk memberikan hadia kepada
puang pakako yang tidak lain suami dari St. Nurharari karena jasanya
yang telah memberi raja hasil kerajinaan tanggan yang sangat bagus. Pilihan
pemaisuri untuk memberukan sepetak sawah dikabulkan oleh raja dan menjadi
keputusan raja pada saat itu.
Gambaran
ini mengandung bahwa peran seorang istri di lingkungan istana sangat
diperhatikan dan dihargai karena untuk mengambil keputusan, raja membutuhkan pendapat
dan dukunganseorang istri. Pendapat istrinyalah yang menjadi kepetusanya pada
saat itu, meskipun pada awalnya pemaisuri ragu-ragu mengeluarkan pendapat akan
tetapi raja mengatakan saya butuh pendapatmu makanya saya bertanya. Kondisi ini
tampanyaknya memposisika ncitra perempuan di lingkungan kerajaan atau istana.
Budaya
Bugis-Makassar tidak membatasi perempuan untuk berekspresi menjadi
pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis yang terkenal memperjuangkan
kemerdekaan pada masa pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng
Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti dengan
beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam dirinya tak sedikit pun
rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum Indonesia meraih kemerdekaan.
Sehingga, dalam ruang-ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar
terpatri konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak
dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual yang
terbentuk secara fitrawi.[7]
Peran
perempuan hebat lainya dapat kita temukan di desa Bontoloe Kab. Gowa perempuan
ini di percaya lebih mampu di bandikan sosok seorang laki-laki dalam hal
ritual, di Bontoloe, adaq baine
selalu menikah dengan pemangku jabatan
tradisional, kecuali karaeng. Adaq baine dari
penguasa desa adalah perempuan yang bertanggung jawab terhadap kalompoang dan yang bertugas
menyenggarakan ritual yang berkaitan dengan pusaka keramat tersebut, Perempuan
dewasa ini bertanggung jawab terhadap pusaka keramat di Bontoloe telah
mengembang tugas tersebut sekitar 30 tahun sementara selama periode yang sama karaeng telah di pengang oloh empat
orang. Perempuan yang memelihara kalompoang,
yang tidak dapat di ganti selama dia masih hidup, menepati jabatan adaq yang tertinggi di desa. Dia di
anggap sebagai perwakilan adaq yang paling tinggi, termasuk dalm kepempinan
politik dan spiritual, sementara karaeng
tidak lebih dari pelaksanaan kekuasaan politik di bawah legitimasi pusaka
keramat. Sinong, perempuan tua yang
bertugas menjaga kalompoang Bontoloe,
adalah orang yang pada saat yang sama di pandang memiliki pengetahuan yang
paling mendalam tentang adaq serta
kepercayaan tradisional.
Pada
umumnya kaum perempuan merupakan “pemeran utama” dalam praktek kepercayaan
tradisional sehari-hari. Mereka dianggap ahli dalam bidang itu dan hal itu
semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa di beberapa desa, kaum perempuan
berperang pula sebagai dukun (sanro). Selama pelaksanaan ritual, kaum perempuan
mempersiapkan dan mengatur berbagai jenis persembahan dan memastikan agar
seluruh rangkaian upacara dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah
ditentukan dalam kepercayaan dan adaq. Selai
itu perempuan juga bertanggung jawab terhadap semua unsur “keduniawian” suatu
ritual, seperti memasak dan menyajikan hidangan kepada para peserta dari desa
tersebut yang nenghadiri upacara, maupun peserta yang datang dari tempat lain.
Dalam istilah modern, kita dapat katakan bahwa manajemen kepercayaan
tradisional lebih banyak du serahkan kepada kaum perempuan, sedang kaum pria
lebih mendominasi pelaksanaan ritualnya, termasuk membakar kemenyan, membacakan
mantra (baca-baca), menyucikan sesuatu dengan air atau minyak. Hal itu
khususnya terjadi dalam ritual menyangkut hubungan simbolis antara kepercayaan
dengan struktur politik komunitas tersebut. Sebaliknya perempuan melaksanakan
sebagian besar ritual atau tahapan-tahapan ritual dalam ruang lingkup pribadi
atau keluarga,misalnya ritus-ritus daur hidup.
Perempuan sebagai Perantara Penyampaian Tinjaq
Meski agaknya
baru muncul relatif lebih belakangan dan masih jarang di temukan, tinjaq
kategori ini yang di buat karna ingin memperoleh harta kekeyaan atau kemakmuran
yang juga berhubungan dengan ‘pola pertukara’ antara manusia dengan roh
‘penghuni’ pusaka keramat.munculnya tinjaq seperti itu di sebabkan oleh semakin
bertambahnya pola hidup materialistis yang bahkan telah menyusup hingga ke
pelosok pedalaman. Jika dulu perekonomian masyarakat sepenuhnya berlandaskan
sistem pertukaran produk makanan serta barang lainnya, dan kesejangan standar kehidupan
relatif kecil, maka meningkatnya jumlah saudagar, guru, dan pegawai lainnya
yang kondisi keuangannya lebih baik dibanding para petani, sehingga terjadi
perubahan fundamental dalam hal sikap mereka terhadap uang dan kekayaan dan
material lainnya. Akibatnya janji memberi persembahahan roh penghuni kalompoang
bila seseorang dibantu untuk memperbanyak harta kekeyaannya adalah sesuatu yang
dianggap biasa.
Selanjutnya,
pendidikan medern adalah faktor lain yang juga membawa perubahan terhadap isi
suatu tinjaq.
Contoh kasus
Pada usia 18
tahun, ibrahim tengah bersiap menghadap ujian akhir SMA di Ujungpadang. Dia
meminta ibunya, Celo, untuk membawa sesisir pisang ke kalompoang Bontoloe, kampung halaman ibu Celo.
Sinong, penjaga
pusaka keramat tersebut melakukan ritual di mana Celo membuat tinjaq untuk
mempersembahkan empat ekor ayam besar kepada kalompoang jika anaknya dibantu
untuk lulus dalam ujian akhir nanti. Selain sinong dan Cole, tidak ada orang
lain yang terlibat dalam ritual itu.
Ritual tersebut
adalah contah tinjaq yang dibuat
secara ‘resmi’ yang tidak dapat ‘dilupakan’ begitu saja seperti halnya tinjaq
yang hanya diniatkan dalam hati, karena paling tidak sinong menjadi saksi
dibuatnnya dan isi tanjaq tersebut. Tampak jelas posisi perempuan sebagai perantara
dengan pusaka keramat: dalam hal ini, bukan ibrahim yang langsung membuat
tinjaq di depan kalompoang, namun di wakili oleh ibunya. Setelah lulus ujian
akhir, Ibrahim ikut serta dalam ritual yang di lakukan beberapa minggu kemudian
untuk menunaikan tinjaq tersebut.[8]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa;
Gender adalah
pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil
konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan
perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak
berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
Suku
Makassar merupakan salah satu etnik di Sulawesi Selatan yang mempunyai keunikan
dari segi bahasa maupun budaya termasuk dinamika kehidupan perempuan dan
laki-laki yang jejaknya dapat di telusuri sampai saat ini. Pada zaman dahulu
masyarakat Makassar sudah memberikan kepada perempuan hak dan kewajiban serta
kesempatan akses dan kontrol (pendididkan, ekonomi, sosial, politik). Perempuan
dan laki-laki mempunyai kesempatan dan hak yang sama, serta senantiasa saling
menghargai, bekerja sama untuk sebuah keberhasilan secara proposional, serta
memperlihatkan hubungan yang lebih bersifat egaliter.
Budaya
Bugis-Makassar tidak membatasi perempuan untuk berekspresi menjadi
pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis yang terkenal memperjuangkan
kemerdekaan pada masa pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng
Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti dengan
beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam dirinya tak sedikit pun
rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum Indonesia meraih kemerdekaan.
Sehingga, dalam ruang-ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar
terpatri konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak
dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual yang
terbentuk secara fitrawi.
DAFTAR
PUSTAKA
Harahap, A.R. (2010). Harakiri dan Siri’
Bugis-Makassar. (online). (http://wijatobone.blogdetik.com/feed/,
diakses pada 12 Desember 2012
Desember 2012
Iswari,
Ery. “Perempuan Makassar Relasi Gender
Dalam Folklor”, Penerbit Ombak. Yogyakarta. 2010
M.
Ag, Ch. Dra. Hj. Mufidah. Psikologi
Keluarga Islam Berwawasan Gender”, Uin- Malang Press. Malang. 2008
Rahman, Arham, dkk. Konsep
Gender dalam Petuah Bugis. Universitas Negeri Makassar, 2007
[1]
Harahap, A.R. (2010). Harakiri dan Siri’
Bugis-Makassar. (online). (http://wijatobone.blogdetik.com/feed/, diakses pada 12
Desember 2012
[2] Dra.
Hj. Mufidah M. Ag, CH. Psikologi Keluarga
Islam Berwawasan Gender, (Uin-Malang Pres. Malang). 2008. h.
[3] http://www.alakadarnya.net/riwayat-singkat-raden-ajeng-kartini/diakses (04 Desember 2012)
[4]
Ery Iswari. Perempuan Makassar Relasi
Gender Dalam Folklor, (Penerbit
Ombak. Yogyakarta, 2010). h.
[5]
Ibid. h.
[6]
Ibid. h.
[7]
Ibid. h.