Monday, December 2, 2013

Agama Dan Ritual Masyarakat Bugis Makassar



 



 A. LATAR BELAKANG
Sulawesi selatan adalah salah satu bagian dari pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi terletak di bagian Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sulawesi Selatan adalah salah satu propinsi yang letaknya di ujung Selatan Pulau Sulawesi. Di daerah toritorial Sulawesi Selatan ini di diami oleh empat suku bangsa, mereka adalah suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Walaupun kini suku mandar terletak dalam wilayah propinsi Sulawesi Barat, namun keberadaannya sebagai rumpun suku di sulawesi selatan masih tercatat rapi.
Secara geografis tiga dari empat suku bangsa yang mendiami sulawesi selatan ini terletak di sekitar wilayah pantai, oleh sebab itu mereka sangat terkenal sebagai pelaut ulung, ketiga suku bangsa tersebut adalah suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Banyak dari literatur kuno serta nyanyian daerah tersebut menggambarkan kehebatannya dalam mengarungi samudra yang luas.
Pada masa dahulu terdapat satu bukti bahwa pelaut sulawesi selatan menempatkan dirinya sebagai pelaut ulung di mana konon mereka mampu mengarungi samudra dan berhasil berlabuh di pulau madagaskar, pulau yang terletak di sisi timur benua Afrika. perahu yang mereka gunakan dalam berlayar adalah perahu pinisi. Keberhasilan ini sanggup menempatkan dirinya sebagai masyarakat pelaut. Dan tak kalah hebatnya dengan suku bangsa yang lainnya.
Dalam budaya suku bugis makassar terdapat simbolisasi bahasa yang mengetengahkan dua suku kata yang merupakan pondasi terkuat bagi masyarakat bugis makassar khususnya dan masyarakat sulawesi selatan umumnya, dua suku kata yang penulis maksud adalah Siri’ na Pacce/siri npec Keberadaan siri’ na pacce/sirinpec mampu membentuk sifat dan tabiat suku bungis makassar, pada hakikatnya seluruh cabang kebudayaan yang terdapat dalam diri suku tersebut telah menghubungkan dirinya dengan siri’ na pacce/sirinpec sehingga siri’ na pacce/sirinpec sangat memberikan dampak positif. Itu terlihat ketika Islam di terima di daerah ini.
Islam sebagai agama Rahmatanlil alamin sangat tidak berbenturan dengan sebagian budaya suku bugis makassar, keterkaitan itu terlihat dari pondasi dasar suku bugis makassar yaitu siri’ na pacce/sirinpec memperlihatkan hubungan yang begitu erat dengan Islam. Karena Islam sendiri mengajarkan kepada pemeluknya yaitu Malu dan kasih sayang ajaran ini jelas sangat berkaitan dengan pondasi dasar tersebut di atas. Karena tidak banyaknya benturan dalam budaya bugis makassar terhadap kedatangan Islam di daerah ini mengakibatkan laju penyebaranya tidak begitu berat.
Kedatangan Islam di daerah ini cepat tersebar berkat kharisma yang di miliki rajanya, namun penyebaran seperti ini patut di sadari bahwa, keberislaman masyarakat tersebut tidak begitu kokoh di bandingkan dengan keberislaman masyarakat yang penyebaran islamnya bermula dari masyarakat bawah tidak dengan bentuk sebaliknya. Fenomena ini terlihat dari keberislaman masyarakat sulawesi selatan hingga hari ini.
Banyak literatur yang menginformasikan mengenai budaya suku bugis makassar, menginformasikan bahwa suku bugis makassar adalah pemeluk islam yang taat namun di sela-sela ketaatannya itu terdapat beberapa ajaran yang masih di gunakan dalam berbagai ritual seperti ketika turun sawah bagi masyarakat petani atau ketika akan berlayar atau pada awal perahu tersebut baru menyentuh laut bagi masyarakat nelayan. Di sana terlihat unsur-unsur Islam yang di gabungkan dengan unsur-unsur kepercayaan masyarakat terdahulu yang masih di percayainya hingga kini. Inilah yang menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu sistem kepercayaan suku bugis.
Demikianlah makalah ini akan menyinggung dua daerah dalam lingkup masyarakat bugis yaitu bugis sidrap dan soppeng. Kekurangan dari makalah ini adalah keberadaan penulis sebagai manusia, kesadaran dari pembacalah yang meluruskan setiap kesalahan yang ada di sini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk ritual masayarakat bugis dalam melaksanakan upacara panen?
2. Bagaimana bentuk pelaksanaan dalam upacara perkawinan suku bugis?
3. Bagaimana kepercayaan suku bugis ?
C. KEPERCAYAAN MASYARAKAT SIDRAP
1)Adat panen
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare/aptiRo per atau appabenni ase/aptiRo aes sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla/posibl, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq/msuer, membaca meong palo karallae/emaoplokrlea, salah satu epos Lagaligo/lgligo tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko/ktoboko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare/ekloper. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang/mpedd. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko/apedko, yang berarti adengka ase lolo/aeslolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko/apedko dan Mappadendang/mpedd konon memang berawal dari aktifitas ini.[1]
Bagi komunitas Pakalu/pklu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.[2]
Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional. Sekadar mengingat kembali lebih dari 30 tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada dan bisnis pertanian ini. Segala cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi sistem pertanian dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai ‘bibit unggul’ itu wajib ditanam.[3]
Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.[4]
Seiring dengan modernisasi sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko. Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.[5]
Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan. Padahal dalam ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya, memperhatikan sikap dan tingkah lakunya.[6]
Kini penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan sudah pudar. Orang-orang sekarang hanya berpikir bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen. Meski demikian, tidak berarti program pembangunan pertanian masa pemerintahan Suharto yang berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan petani enggan beralih bibit padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba, seorang petani bernama Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan hasil panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil panen yang dijanjikan para penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus serupa tak sedikit jumlahnya.
Alasannya pun bermacam-macam. Dikatakan, misalnya varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru melalui unit koperasi yang masih dijalankan secara ‘top-dawn’ pula. Tentu saja ini menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit baru setiap musim tanam.
Respon yang lain juga diperlihatkan oleh komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima, mereka menerima varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak lain mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang melimpah, mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang menjadi bagian dari penghayatan hidup mereka sehari-hari.
Di Kabupaten Sidrap dewasa ini, tradisi mappadendang digelar dengan acara makan bersama di balai desa yang dihadiri oleh tetua-tetua, pemuka adat, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan semua petani-petani. Acara ini dimaksudkan untuk mensyukuri hasil panen mereka. Mereka mensyukuri rejeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepada mereka.


1)Adat pernikahan
Pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Di Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar, pernikahan/perkawinan diawali dengan proses melamar atau “Assuro”/asuro (Makassar) dan “Madduta”/mdut (Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak wanita ini disebut dengan “Mappenre dui”/mepeRduai (bugis) atau “Appanai leko caddi”/apnaielkocdi (Makassar). Pada saat mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar” mappaci/mpci (bugis) atau “akkorontigi”/akorotigi(Makassar), calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sdh mengenakan pakaian adat daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi do’a-do’a untuk kebahagiaan mereka.[7]
Keesokan harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal-hal lainnya demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (Mappenre Botting/mepeRboti = Bugis / Appanai leko lompo/apnaielkolopo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin lengkap dengan barang seserahanu rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai wanita, pernikahanpun dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya, rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama, bahasa Bugis disebut ‘mapparola’/mprol.[8]
D. KEPERCAYAAN MASYARAKAT APPASARENG SOPPENG.
Lingkungan Appasareng merupakan salah satu lingkungan yang ada di kelurahan Jennae. Dalam sejarah kehidupan  masyarakat, lingkungan Appasareng merupakan suku bugis dan penganut agama islam  yang taat menjalankan syariat agama Islam. Namun seringkali anggota masyarakatnya masih menampilkan pola hidup tradisional berkenaan dengan upacara iisiasi dan upacara adat. Seperti pada saat mendirikan rumah atau turun kesawah.[9]
Jenis Upacara tersebut diatas bukan hanya menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan tradisi budaya akan tetapi jauh lebih luas lagi yaitu pemahaman keagamaan dan sistem kepercayaan tradisional. Praktek ini bertindak dari suatu asumsi dasar bahwa sejak zaman dahulu masyarakat bugis telah mengenal sistem kepercayaan. Antara lain adanya makhluk halus, kekuatan sakti dan arwah orang mati yang menguasai kehidupan mereka. Dalam usaha menanggulangi bala bencana yang timbbul dalam kekuatan tersebut, maka masyarakat meyakini  dan berhubungan dengan alam semesta guna menghindari  dampak yang ditimbulkannya
Dalam  Ilmu antropologi diakui bahwa manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak nampak, yang ada diluar batas akal manusia. Dunia adalah dunia ghaib yang tak nampak. Dunia ghaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekauatan ghaib yang tidak dapat dikuasai olehmanusia dengan cara biasa. Oleh karena itu, pada dasarnua ditakuti oleh manusia.[10]
Dilingkungan Appasareng budaya tradisional yang dijadikan sebagai ritual disebut sebagai attoriolong  (warisan budaya leluhur) seperti kepercayaan terhadap roh leluhur yang disebut  dewata seuwaE/patotoE Dewa Tungal), percaya terhadap roh leluhur yang disebut tau lao, percaya terhadap tempat yang angker (onrong makare’) percaya terhadap benda-benda sakral yang difahami sebagai anu malebbi
Dari praktek kepercayaan tradisional di ata sebagai bentuk kebudayaan masyarakat hanyala merupakan hasil cipta manusia itulah sebabanya, sistem kepercayaan tradsiional biasanya dikategorikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Praktek seperti ini juga secara lambat laun mengalami perubahan sosial budaya ketika islam telah masuk ke Sulawesi Selatan. Setelah itu dimulailah proses sosialisasi dan enkulturasi Islam kedalam peradabamn Bugis yang disebut pangngadereng dimana syariat Islam dijadikan sebagai salah satu unsunya Isi dari pangngadereng; pertama ade, kedua rapang, ketiga; wari’; keempat bicara dan kelima adalah sara.[11]
Di dalam latoa (kumpulan aturan kerajaan adat Bone) yang disusun setelah orangn Sulawesi Selatan mengenal Agama Islam, didalamnya termuat tentatng perwujudan nilai-nilai dan kaidah sosial budaya termasuk istilah pangadereng. Walaupun Masayrakat Sulawesi Selatan  pada umumnya sudah memeluk agama Islam pada khsuusnya di lingkungan appasareng juga sudah meyakinii islam sebagai agamanya, akn tetapi berbagai hal dalam tingkah laku dan tata nilai pra Islam masih berlanjut. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut medapat legitimasi dari penguasa dan adat istiadat yang diakui oleh pangadereng/pGeder. Sepeti pada masalah keturunan yang mengatur pelapisan masyarakt atau strata sosial  yan ditentukan oleh Wuri atau pandangan suci (sakral, makare) Bugis), pemujaan terhadap benda-benda pusaka yang kesemuanya ini pada hakekatnya bertentangan dengan syariat Islam.[12]
Dari realitas tersebut terdapat banyak ketidak sesuaian atau pertentangan antara adat istiadat yang berlaku di masayrakat dengan aturan atau ajaran Islam yang sesungguhnya. Akan tetapi sejak awal telah dilakukakan penyesuaian-penyesuaian terhadap perbedaan tersebut agar tidak ada kecenderungan terjadinya konflik atau pertentangan yang nyata antara adat istiadat dengan hukum Agama yang mereka fahami. Sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara perlahan adat kebiasaan atau kepercayaan tradisional yang mereka anut mulai mengalami kemerosotan.
Selain kemerosotan tersebut dipengaruhi oleh perubahan pandangan dan pola fikir, juga disebabakan oleh karena semakin dlamnya kajian pengetahuan dan pengalaman keagamaan mereka. Hal ini sejalan dengna pandangan Samlawi bahwa trasidi adalah merupakan keyakinan dan adat istiadat yang tuirun temurun dari genrasi satu kegenerasi berikutnya.[13]
Disis lain kebudayaan adalahmerupakan cara hidup yang dikembangkan  oleh sebuah mayarakat guna memnuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal tersebut seperti cara tingkah laku dan kegiatan lainnya yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Dari asumsi tersebut di atas, secara total perubahan terhadap kepercayaan tradisional memeang tidak sepeuhnya bisa berobah, akan tetapi bagi manusia sebagai pelaksana budaya sudah ada yang membuang atau mengikis sedikit demi sedikit. Hal ini juga sejalan dengan pendapat bahwa masyarakat tertentu dalam waktu tertentu lebih banyak menyisihkan bagian kebudayaan ketimbang menambahnya, mengakibatkan terjadinya pengikisan kebudayaan.[14]
Pada masyarakat di Appasaren Kabupaten Soppeng sudah terdapat beberapa kelompok masyarakat yang ternyata secara perlahan telah melakukan pengikisan terhadap kepercayaan dan budaya nenek moyangnya. Hal ini dipengaruhi oleh kedalaman ajaran agama yang difahaminya.
Sehubungan dengan ajaran agama, diharapkan bisa semakin cepat memberikan perubahan sosial budaya, utama pola kepercayaan tradisional seprti attoriolong (percaya terhadap hal-hal yang angker, roh jahat, barang sakti dan lain-lain) Selama masyarakat eksis terhadap tradisi irrasional yang berkaitan dengan kepercayaan pada hal-hal tersebut, akan menjaidkan masyarka ttersebut tidak mengalami perkembangan. Hal inilah menjadi alasan perlunya diungkap persolan perubahan sosial masyarakat yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh ajaran agama yang di anutnya.[15]








DAFTAR PUSTAKA

Paeni, Mukhlis dkk, “Kepemimpinan dan Kelembagaan di Sulawesi Selatan” makalah Seminar Nasional HIPIIS, Ujung Pandang, 1996.
Rahman Nurhayati, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam Centre For Middle Eastern Studies Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.
Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. 1999.
Nonci,Adat Pernikahan Masyarakat Makassar dan Tanah Toraja. Makassar: CV. Aksara Makassar, Tanpa Tahun.
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Akhmar, Andi M dan  Syarifuddin, ed. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan.Makassar: Masagena Press, 2007.



[1]Mukhlis Paeni(dkk).  “Kepemimpinan dan Kelembagaan di Sulawesi Selatan” (makalah Seminar Nasional HIPIIS. Ujung Pandang, 1996), h. 32.
[2]Ibid.
[3]DR. Nurhayati Rahman, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, (Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam Centre For Middle Eastern Studies Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007), h. 45.
[4]Mukhlis Paeni(dkk), op.cit.,h. 30.
[5]Ibid. 15
[6]DR. Nurhayati Rahman, M.hum, op.cit., h.25.
[7]Nonci,Adat Pernikahan Masyarakat Makassar dan Tanah Toraja(Makassar: CV. Aksara Makassar, Tanpa Tahun), h. 75.
[8]Ibid,. h. 35.
[9]Ibid,. h. 45.
[10]Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Djambatan: Jakarta, 1999), h.23
[11] Ibid,. h. 12.
[12]Mattulada. Latoa: Satu Lukisan terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.h. 339
[13]Koentjaraningrat,. Op.cit. h. 123
[14] Ibid,. h. 130.
[15] Nonci, lop. Cit. 45.

Adat Dan Upacara Perkawinan Suku Bugis Makassar


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi - yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.[1]

Perkawinan merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi umat manusia, terutama untuk mengatur pergaulan antar seorang laki—laki dan seorang perempuan yang hidup bersama dalam sebuah rumah tangga sebagai suami istri dengan sekaligus merupakan saat peralihan dari remaja ke masa berkeluarga.

Segi sosial dari suatu perkawinan adalah bahwa dalam setiap masyarakat, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga dianggap mempunyai kedudukan yang lebih dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak kawin. Sedangkan dari sudut pandang keagamaan, perkawinan merupakan suatu hal yang di pandang suci (sakral) karenanya tidaklah mengherankan jika semua agama pada dasarnya mengakui keberadaan institusi perkawinan.

Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai Negara. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan hukum Negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kedirian masing-masing dalam ruang bersama, menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.

            Menurut Abuhamid (Fadly Husein, 1999), mengemukakan bahwa perkawinan merupakan tingkah laku manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah terutama perhatian untuk melanjutkan keturunannya. Perkawinan sebagai pengatur tingkah laku seks, mempunyai fungsi dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan, yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perkembangan masyarakat dan keluarga, yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil perkawinan itu berupa suatu unit keluarga.

            Bagi masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis Makassar dan masyarakat di Indonesia pada umumnya, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga besar dari kedua mempelai. Tak heran jika perkawinan adat Bugis Makassar tidak hanya melibatkan keluarga inti kedua mempelai, tapi juga seluruh keluarga besar sehingga tak jarang jika saudara, kakak dan adik, paman dan bibi, serta para sesepuh ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan si mempelai. Upacara perkawinan di daerah Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh ritual-ritual sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai mendapat berkah dari Tuhan.



B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas maka dapat di uraikan rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.

2.      Bagaimana Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar

3.      Apa saja Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar







BAB II

PEMBAHASAN



1.      Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.

Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.

Menurut Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé (istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.

Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppémabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).

Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama. 

Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah,  perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat.

Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.



2.      Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar

1.      A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.

2.      A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.

3.      Appa'nasa/Patenre Ada

Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

4.      Appanai Leko Lompo (erang-erang)

Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko atau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau Appa'nasa.

5.      A'barumbung (mappesau)

Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.

6.      Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing)

Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.

1.    Alat/Bahan yang Digunakan

Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:

a.       Pammaja’ besar/Gentong.

b.      Gayung/tatakan pammaja’.

c.       Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.

d.      Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.

e.       Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.

f.       Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.

g.      Kelapa tunas.

h.      Gula merah.

i.        Pa’dupang.

j.        Leko’ passili.  

2.    Prosesi Acara Appassili

Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria. Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

7.      A’Bubu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu
bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya   hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

8.      Appakanre Bunting

Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh  orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.

9.      Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
            Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.

 Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.

10.  Assimorong/Menre'kawing
           Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.

11.  Appabajikang Bunting

Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.

12.  Alleka bunting (marolla)

Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.[2]

3.      Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar

Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di antaranya adalah:

1.       Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.

  1. Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui’ balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
  2. Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar
  3. Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak  tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
  4. Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status social

seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.[3]








BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pernikahan merupakan bagian terpenting dan dianggap sakral dalam kehidupan manusia yang beradab.Masyarakat Makassar meyakini bahwa, pernikahan adalah wadah tempat bersatunya dua keluarga besar.

Tradisi budaya perkawinan suku Makassar mengangkat beberapa hal seperti:

A'jangang-jangang (penyelidikan), Assuro (melamar), Appa'nassa(penentuan hari pernikahan), Appanai’ Leko Lompoa(pertunangan), A'barumbung(mandi uap bagi mempelai wanita), Appasili Bunting(pembersihan diri lahir batin), A’Bubu(membersihkan bulu-bulu halus pada ubun-ubun an alis), Appakanre Bunting(memberi makan calon mempelai), Akkorontigi(upacara penyucian diri calon mempelai), Assimorong(mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita), Appabajikang Bunting(prosesi menyatukan kedua mempelai), Allekka’ bunting(acara ngunduh mantu), ini semua dilakukan pada saat perkawinan orang-orang suku Makassar.

B.      Saran

Bagi para pembaca sudihlah kiranya untuk memberikan kritik-kritik yang membangun, agar untuk kedepan bisa menjadi penulis yang lebih baik, akurat dan terpercaya. Bagi kaum remaja sebaiknya melestarikan budaya leluhur kita, jangan sampai diabaikan karena budaya asing selalu menggoyang hati kita yang tak menentu.









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis. Inti Idayu Press, Jakarta.

Wikipedia bahasa Indonesia,diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, pada tanggal13   januari 2013 pukul 11.32

Khairil Anas,“Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar”,diakses dari http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar, pada tanggal 13 januari pukul 13.50

Samsuni, “Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis, Sulawesi diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2622/mappabotting-upacara-adat-perkawinan-orang-bugis-sulawesi-selatan, pada tanggal 13 januari pukul 14.10




[1] Wikipedia bahasa Indonesia,diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, pada tanggal13   januari 2013 pukul 11.32

[2] Khairil Anas, “Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar”, diakses dari http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar, pada tanggal 13 januari pukul 13.50

[3] Samsuni, “Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis Sulawesi, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2622/mappabotting-upacara-adat-perkawinan-orang-bugis-sulawesi-selatan, pada tanggal 13 januari pukul 14.10

Newer Posts Older Posts Home