A. LATAR BELAKANG
Sulawesi
selatan adalah salah satu bagian dari pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi terletak
di bagian Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sulawesi Selatan adalah
salah satu propinsi yang letaknya di ujung Selatan Pulau Sulawesi. Di daerah
toritorial Sulawesi Selatan ini di diami oleh empat suku bangsa, mereka adalah
suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Walaupun kini suku mandar terletak
dalam wilayah propinsi Sulawesi Barat, namun keberadaannya sebagai rumpun suku
di sulawesi selatan masih tercatat rapi.
Secara
geografis tiga dari empat suku bangsa yang mendiami sulawesi selatan ini
terletak di sekitar wilayah pantai, oleh sebab itu mereka sangat terkenal
sebagai pelaut ulung, ketiga suku bangsa tersebut adalah suku Bugis, Makassar,
dan Mandar. Banyak dari literatur kuno serta nyanyian daerah tersebut
menggambarkan kehebatannya dalam mengarungi samudra yang luas.
Pada masa
dahulu terdapat satu bukti bahwa pelaut sulawesi selatan menempatkan dirinya
sebagai pelaut ulung di mana konon mereka mampu mengarungi samudra dan berhasil
berlabuh di pulau madagaskar, pulau yang terletak di sisi timur benua Afrika.
perahu yang mereka gunakan dalam berlayar adalah perahu pinisi. Keberhasilan
ini sanggup menempatkan dirinya sebagai masyarakat pelaut. Dan tak kalah
hebatnya dengan suku bangsa yang lainnya.
Dalam budaya
suku bugis makassar terdapat simbolisasi bahasa yang mengetengahkan dua suku
kata yang merupakan pondasi terkuat bagi masyarakat bugis makassar khususnya
dan masyarakat sulawesi selatan umumnya, dua suku kata yang penulis maksud
adalah Siri’ na Pacce/siri npec Keberadaan siri’ na pacce/sirinpec mampu
membentuk sifat dan tabiat suku bungis makassar, pada hakikatnya seluruh cabang
kebudayaan yang terdapat dalam diri suku tersebut telah menghubungkan dirinya
dengan siri’ na pacce/sirinpec sehingga siri’
na pacce/sirinpec sangat memberikan dampak positif.
Itu terlihat ketika Islam di terima di daerah ini.
Islam
sebagai agama Rahmatanlil alamin sangat tidak berbenturan dengan sebagian
budaya suku bugis makassar, keterkaitan itu terlihat dari pondasi dasar suku
bugis makassar yaitu siri’ na pacce/sirinpec
memperlihatkan hubungan yang begitu erat dengan Islam. Karena Islam sendiri
mengajarkan kepada pemeluknya yaitu Malu
dan kasih sayang ajaran ini jelas sangat berkaitan dengan pondasi dasar
tersebut di atas. Karena tidak banyaknya benturan dalam budaya bugis makassar
terhadap kedatangan Islam di daerah ini mengakibatkan laju penyebaranya tidak
begitu berat.
Kedatangan
Islam di daerah ini cepat tersebar berkat kharisma yang di miliki rajanya,
namun penyebaran seperti ini patut di sadari bahwa, keberislaman masyarakat
tersebut tidak begitu kokoh di bandingkan dengan keberislaman masyarakat yang
penyebaran islamnya bermula dari masyarakat bawah tidak dengan bentuk
sebaliknya. Fenomena ini terlihat dari keberislaman masyarakat sulawesi selatan
hingga hari ini.
Banyak literatur
yang menginformasikan mengenai budaya suku bugis makassar, menginformasikan
bahwa suku bugis makassar adalah pemeluk islam yang taat namun di sela-sela
ketaatannya itu terdapat beberapa ajaran yang masih di gunakan dalam berbagai
ritual seperti ketika turun sawah bagi masyarakat petani atau ketika akan
berlayar atau pada awal perahu tersebut baru menyentuh laut bagi masyarakat
nelayan. Di sana terlihat unsur-unsur Islam yang di gabungkan dengan
unsur-unsur kepercayaan masyarakat terdahulu yang masih di percayainya hingga
kini. Inilah yang menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu sistem kepercayaan
suku bugis.
Demikianlah
makalah ini akan menyinggung dua daerah dalam lingkup masyarakat bugis yaitu
bugis sidrap dan soppeng. Kekurangan dari makalah ini adalah keberadaan penulis
sebagai manusia, kesadaran dari pembacalah yang meluruskan setiap kesalahan
yang ada di sini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk ritual masayarakat bugis dalam
melaksanakan upacara panen?
2. Bagaimana bentuk pelaksanaan dalam upacara
perkawinan suku bugis?
3. Bagaimana kepercayaan suku bugis ?
C. KEPERCAYAAN MASYARAKAT SIDRAP
1)Adat panen
Mulai dari
turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili
sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare/aptiRo per atau appabenni ase/aptiRo aes sebelum
bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit
padi di possi balla/posibl, sebuah tempat khusus terletak di
pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di
atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq/msuer, membaca meong palo karallae/emaoplokrlea, salah satu
epos Lagaligo/lgligo tentang padi. Dan ketika panen tiba
digelarlah katto bokko/ktoboko, ritual
panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare/ekloper. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang/mpedd. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko/apedko, yang berarti adengka ase lolo/aeslolo, kegiatan
menumbuk padi muda. Appadekko/apedko dan Mappadendang/mpedd konon memang berawal dari aktifitas ini.[1]
Bagi
komunitas Pakalu/pklu, ritual mappadendang mengingatkan
kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber
kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi
padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin
menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang
diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.[2]
Tapi itu
dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati
dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek
peningkatan surplus produksi ekonomi nasional. Sekadar mengingat kembali lebih
dari 30 tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi
pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan
pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah.
Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek
berorientasi swasembada dan bisnis pertanian ini. Segala cara dilakukan para
penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani
menjalankan program bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi
sistem pertanian dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang
disebut-sebut sebagai ‘bibit unggul’ itu wajib ditanam.[3]
Sejak saat
itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan
digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara,
Remaja, yang merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat
Pertanian (LP-3) Bogor. Atau varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang
dikenal dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute
(IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem
pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.[4]
Seiring
dengan modernisasi sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan
“income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang
rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung
ritual itu semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada
lagi katto bokko. Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu
tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak
berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi
soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang
diharapkan para penyuluh pertanian.[5]
Mapadendang
itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang
sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan.
Padahal dalam ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan
mappadendang menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan
hidup. Dalam ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon
pasangannya, memperhatikan sikap dan tingkah lakunya.[6]
Kini
penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan sudah pudar. Orang-orang
sekarang hanya berpikir bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen.
Meski demikian, tidak berarti program pembangunan pertanian masa pemerintahan
Suharto yang berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai
reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan petani enggan beralih bibit
padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba, seorang petani bernama
Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang mendatanginya. Cerita
yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan hasil panen Karaeng Haji jauh
lebih besar ketimbang hasil panen yang dijanjikan para penyuluh pertanian dari
Bimas. Di banyak tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah
pertanian, kasus-kasus serupa tak sedikit jumlahnya.
Alasannya
pun bermacam-macam. Dikatakan, misalnya varietas bibit baru unggulan itu
kenyataannya cuma unggul sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun
untuk masa tanam berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli
bibit baru melalui unit koperasi yang masih dijalankan secara ‘top-dawn’ pula.
Tentu saja ini menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit baru
setiap musim tanam.
Respon yang
lain juga diperlihatkan oleh komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan
Halima, mereka menerima varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka.
Di pihak lain mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih
terbukti hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang
melimpah, mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang menjadi
bagian dari penghayatan hidup mereka sehari-hari.
Di Kabupaten
Sidrap dewasa ini, tradisi mappadendang digelar dengan acara makan bersama di
balai desa yang dihadiri oleh tetua-tetua, pemuka adat, pemuka agama, tokoh
masyarakat, dan semua petani-petani. Acara ini dimaksudkan untuk mensyukuri
hasil panen mereka. Mereka mensyukuri rejeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT
kepada mereka.
1)Adat
pernikahan
Pernikahan
yang kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang
membahagiakan bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang-orang di
sekitarnya. Di Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan
suku dan kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar,
pernikahan/perkawinan diawali dengan proses melamar atau “Assuro”/asuro (Makassar) dan “Madduta”/mdut (Bugis).
Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari
pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak wanita ini
disebut dengan “Mappenre dui”/mepeRduai (bugis)
atau “Appanai leko caddi”/apnaielkocdi (Makassar).
Pada saat mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara
pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum
hari “H” berlangsung acara “malam pacar” mappaci/mpci (bugis)
atau “akkorontigi”/akorotigi(Makassar),
calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sdh mengenakan pakaian adat
daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya
datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi do’a-do’a untuk
kebahagiaan mereka.[7]
Keesokan
harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara
pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal-hal lainnya
demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (Mappenre
Botting/mepeRboti = Bugis / Appanai leko lompo/apnaielkolopo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian
pengantin lengkap dengan barang seserahanu rumah
mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai wanita, pernikahanpun
dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu
disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan
selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah
dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di
rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan
selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan
biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian
daerah lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke
rumah mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya,
rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama, bahasa Bugis disebut ‘mapparola’/mprol.[8]
D. KEPERCAYAAN MASYARAKAT APPASARENG SOPPENG.
Lingkungan
Appasareng merupakan salah satu lingkungan yang ada di kelurahan Jennae. Dalam
sejarah kehidupan masyarakat, lingkungan Appasareng merupakan suku bugis
dan penganut agama islam yang taat menjalankan syariat agama Islam. Namun
seringkali anggota masyarakatnya masih menampilkan pola hidup tradisional
berkenaan dengan upacara iisiasi dan upacara adat. Seperti pada saat mendirikan
rumah atau turun kesawah.[9]
Jenis
Upacara tersebut diatas bukan hanya menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan
tradisi budaya akan tetapi jauh lebih luas lagi yaitu pemahaman keagamaan dan
sistem kepercayaan tradisional. Praktek ini bertindak dari suatu asumsi dasar
bahwa sejak zaman dahulu masyarakat bugis telah mengenal sistem kepercayaan.
Antara lain adanya makhluk halus, kekuatan sakti dan arwah orang mati yang
menguasai kehidupan mereka. Dalam usaha menanggulangi bala bencana yang timbbul
dalam kekuatan tersebut, maka masyarakat meyakini dan berhubungan dengan
alam semesta guna menghindari dampak yang ditimbulkannya
Dalam Ilmu antropologi diakui bahwa manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak nampak, yang ada diluar batas akal manusia. Dunia adalah dunia ghaib yang tak nampak. Dunia ghaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekauatan ghaib yang tidak dapat dikuasai olehmanusia dengan cara biasa. Oleh karena itu, pada dasarnua ditakuti oleh manusia.[10]
Dalam Ilmu antropologi diakui bahwa manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak nampak, yang ada diluar batas akal manusia. Dunia adalah dunia ghaib yang tak nampak. Dunia ghaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekauatan ghaib yang tidak dapat dikuasai olehmanusia dengan cara biasa. Oleh karena itu, pada dasarnua ditakuti oleh manusia.[10]
Dilingkungan
Appasareng budaya tradisional yang dijadikan sebagai ritual disebut sebagai
attoriolong (warisan budaya leluhur) seperti kepercayaan terhadap roh
leluhur yang disebut dewata seuwaE/patotoE Dewa Tungal), percaya terhadap
roh leluhur yang disebut tau lao, percaya terhadap tempat yang angker (onrong
makare’) percaya terhadap benda-benda sakral yang difahami sebagai anu malebbi
Dari praktek kepercayaan tradisional di ata sebagai bentuk kebudayaan masyarakat hanyala merupakan hasil cipta manusia itulah sebabanya, sistem kepercayaan tradsiional biasanya dikategorikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Praktek seperti ini juga secara lambat laun mengalami perubahan sosial budaya ketika islam telah masuk ke Sulawesi Selatan. Setelah itu dimulailah proses sosialisasi dan enkulturasi Islam kedalam peradabamn Bugis yang disebut pangngadereng dimana syariat Islam dijadikan sebagai salah satu unsunya Isi dari pangngadereng; pertama ade, kedua rapang, ketiga; wari’; keempat bicara dan kelima adalah sara.[11]
Dari praktek kepercayaan tradisional di ata sebagai bentuk kebudayaan masyarakat hanyala merupakan hasil cipta manusia itulah sebabanya, sistem kepercayaan tradsiional biasanya dikategorikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Praktek seperti ini juga secara lambat laun mengalami perubahan sosial budaya ketika islam telah masuk ke Sulawesi Selatan. Setelah itu dimulailah proses sosialisasi dan enkulturasi Islam kedalam peradabamn Bugis yang disebut pangngadereng dimana syariat Islam dijadikan sebagai salah satu unsunya Isi dari pangngadereng; pertama ade, kedua rapang, ketiga; wari’; keempat bicara dan kelima adalah sara.[11]
Di dalam
latoa (kumpulan aturan kerajaan adat Bone) yang disusun setelah orangn Sulawesi
Selatan mengenal Agama Islam, didalamnya termuat tentatng perwujudan
nilai-nilai dan kaidah sosial budaya termasuk istilah pangadereng. Walaupun
Masayrakat Sulawesi Selatan pada umumnya sudah memeluk agama Islam pada
khsuusnya di lingkungan appasareng juga sudah meyakinii islam sebagai agamanya,
akn tetapi berbagai hal dalam tingkah laku dan tata nilai pra Islam masih
berlanjut. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut medapat legitimasi dari
penguasa dan adat istiadat yang diakui oleh pangadereng/pGeder. Sepeti pada masalah keturunan yang mengatur pelapisan masyarakt atau
strata sosial yan ditentukan oleh Wuri atau pandangan suci (sakral,
makare) Bugis), pemujaan terhadap benda-benda pusaka yang kesemuanya ini pada
hakekatnya bertentangan dengan syariat Islam.[12]
Dari
realitas tersebut terdapat banyak ketidak sesuaian atau pertentangan antara
adat istiadat yang berlaku di masayrakat dengan aturan atau ajaran Islam yang
sesungguhnya. Akan tetapi sejak awal telah dilakukakan penyesuaian-penyesuaian
terhadap perbedaan tersebut agar tidak ada kecenderungan terjadinya konflik
atau pertentangan yang nyata antara adat istiadat dengan hukum Agama yang
mereka fahami. Sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
secara perlahan adat kebiasaan atau kepercayaan tradisional yang mereka anut
mulai mengalami kemerosotan.
Selain
kemerosotan tersebut dipengaruhi oleh perubahan pandangan dan pola fikir, juga
disebabakan oleh karena semakin dlamnya kajian pengetahuan dan pengalaman
keagamaan mereka. Hal ini sejalan dengna pandangan Samlawi bahwa trasidi adalah
merupakan keyakinan dan adat istiadat yang tuirun temurun dari genrasi satu
kegenerasi berikutnya.[13]
Disis lain
kebudayaan adalahmerupakan cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah
mayarakat guna memnuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup,
meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal tersebut seperti
cara tingkah laku dan kegiatan lainnya yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Dari asumsi tersebut di atas, secara total perubahan terhadap kepercayaan tradisional memeang tidak sepeuhnya bisa berobah, akan tetapi bagi manusia sebagai pelaksana budaya sudah ada yang membuang atau mengikis sedikit demi sedikit. Hal ini juga sejalan dengan pendapat bahwa masyarakat tertentu dalam waktu tertentu lebih banyak menyisihkan bagian kebudayaan ketimbang menambahnya, mengakibatkan terjadinya pengikisan kebudayaan.[14]
Dari asumsi tersebut di atas, secara total perubahan terhadap kepercayaan tradisional memeang tidak sepeuhnya bisa berobah, akan tetapi bagi manusia sebagai pelaksana budaya sudah ada yang membuang atau mengikis sedikit demi sedikit. Hal ini juga sejalan dengan pendapat bahwa masyarakat tertentu dalam waktu tertentu lebih banyak menyisihkan bagian kebudayaan ketimbang menambahnya, mengakibatkan terjadinya pengikisan kebudayaan.[14]
Pada
masyarakat di Appasaren Kabupaten Soppeng sudah terdapat beberapa kelompok
masyarakat yang ternyata secara perlahan telah melakukan pengikisan terhadap
kepercayaan dan budaya nenek moyangnya. Hal ini dipengaruhi oleh kedalaman
ajaran agama yang difahaminya.
Sehubungan
dengan ajaran agama, diharapkan bisa semakin cepat memberikan perubahan sosial
budaya, utama pola kepercayaan tradisional seprti attoriolong (percaya terhadap
hal-hal yang angker, roh jahat, barang sakti dan lain-lain) Selama masyarakat
eksis terhadap tradisi irrasional yang berkaitan dengan kepercayaan pada
hal-hal tersebut, akan menjaidkan masyarka ttersebut tidak mengalami
perkembangan. Hal inilah menjadi alasan perlunya diungkap persolan perubahan
sosial masyarakat yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh ajaran agama yang di
anutnya.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Paeni, Mukhlis dkk, “Kepemimpinan dan Kelembagaan di
Sulawesi Selatan” makalah Seminar Nasional HIPIIS, Ujung Pandang, 1996.
Rahman Nurhayati, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar
Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam Centre For Middle
Eastern Studies Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot
Makassar, 5-8 September 2007.
Koentjaraningrat
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. 1999.
Nonci,Adat Pernikahan Masyarakat Makassar dan
Tanah Toraja. Makassar: CV. Aksara Makassar, Tanpa Tahun.
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan terhadap Antropologi
Politik Orang Bugis. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Akhmar, Andi M
dan Syarifuddin, ed. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi
Selatan.Makassar: Masagena Press, 2007.
[1]Mukhlis
Paeni(dkk). “Kepemimpinan dan Kelembagaan
di Sulawesi Selatan” (makalah Seminar Nasional HIPIIS. Ujung Pandang, 1996), h.
32.
[2]Ibid.
[3]DR.
Nurhayati Rahman, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, (Seminar
Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam Centre For Middle
Eastern Studies Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot
Makassar, 5-8 September 2007), h. 45.
[4]Mukhlis
Paeni(dkk), op.cit.,h. 30.
[5]Ibid.
15
[6]DR.
Nurhayati Rahman, M.hum, op.cit., h.25.
[7]Nonci,Adat
Pernikahan Masyarakat Makassar dan Tanah Toraja(Makassar: CV. Aksara Makassar,
Tanpa Tahun), h. 75.
[8]Ibid,.
h. 35.
[9]Ibid,.
h. 45.
[10]Koentjaraningrat,Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, (Djambatan: Jakarta, 1999), h.23
[11]
Ibid,. h. 12.
[12]Mattulada.
Latoa: Satu Lukisan terhadap Antropologi
Politik Orang Bugis. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.h.
339
[13]Koentjaraningrat,.
Op.cit. h. 123
[14]
Ibid,. h. 130.
[15]
Nonci, lop. Cit. 45.