A.
Latar Belakang
Secara
garis besar masyarakat Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku yakni Bugis,
Makassar, Toraja, dan Mandar. Khusus masyarakat suku Bugis, pada awalnya hanya
mengenal suatu aliran kepercayaan yang sifatnya animisme yang biasa sebagai kebudayaan
asli. Setelah kebudayaan India (Hindu) masul ke wilayah nusantara, khususnya di
Sulawesi Selatan maka masyarakat Sulawesi Selatan menjadi penganut agama
monoisme. Kemudian Islam masuk sekitar abad ke-13 yang menyebabkan terjadinya
perpaduan antara ajaran agama Islam dengan ajaran agama Hindu, bahkan tidak
terlepas dari kepercayaan leluhur tradisional yang bersifat animism yang
dianggap sebagai kebudayaan asli.
Proses
islamisasi berlangsung secara terus menerus dengan pendekatan persuasive terhadap
kepercayaan leluhur dan ajaran Hindu. Sehingga penerimaan ajaran agama Islam
oleh penganut kepercayaan animisme dan ajaran Hindu berlangsung dengan cepat
dan cukup mudah. Hal ini terlihat dengan sangat jelas pada prosesi perkawinan
adat masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan pada acara-acara tradisi
lainnya.
Prosesi
pernikahan yang biasa dikenal dengan tudang
botting/ tud boti (dalam bahasa Bugis)
atau duduk pengantin hal ini bukan hanya menyatukan dua orang menjadi sepasang
suami-istri tetapi juga menyatukan dua rumpun keluarga yang lebih besar yaitu
keluarga dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga dari pihak mempelai
perempuan. Penyatuan keluarga besar keedua belah pihak tersebut dalam bahasa
Bugis disebut mappasilorongeng/mpsiloroeg atau
saling menghubungkan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Begitu
pentingnya pernikahan sehingga dikalangan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan
dikenal dengan ungkapan yang dialamatkan bagi orang yang belum mendapatkan
jodoh untuk elangsungkan pernikahannya. Misalnya, bagi anak yang mulai remaja
hingga menganjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan kalau belum menikah
dikatakan belum sempurna sebagai manusia atau de’pa nabbatang tau/edp nbt tau.
Sedangkan bai laki-laki taua perempuan yang berusia lanjut dan tidak pernah
menikah dikatakan pohon yang tidak berbuah atau nawelaini uwae/newlaini
auwea.
Pernikahan
itu dianggap bersifat sakral dan ukhrawi bukan diangap hanya bersifat duniawi.
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang sangat penting bagi seseorang karena
pernikahan itu merupakan babak baru dalam menempuh kehidupan untuk membentuk
keluarga yang merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat.
Masyarakat
Bugis, bagi orang tua yang telah berhasil menikahkan anaknya baik laki-laki maupun
wanita, mereka merasa gembira dan beruntung karena sudah terlepas dari tanggung
jawabnya sebagai orang tua dan selalu mengatakan “mabbatang tauni anakku”/mbt tauni anku
atau anakku telah menjadi manusia sempurna. Berdasarkan uangkapan tersebut,
timbul suatu kesan bahwa bagi anaknya yang mulia dewasa dan belum menikah,
dianggap belum menjadi manusia sempurna atau masih manusia welangpelang/ewlepl.
Berdasarkan
hal tersebut diatas menjadi alasan utama penulis mengangkat sebuah tulisan yang
berjudul “Adat dan Pernikahan Suku Bugis”.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Proses Upacara Pernikahan Suku Bugis?
2. Apa
makna dari berbagi prosesi dan peralatan yang digunakan dalam upacara
pernikahan Bugis?
C. Pengertian
pernikahan
Pernikahan artinya akad atau ikatan
lahir batin di antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang halalnya
pergaulan sebagai suami-istri dan sahnya hidup berumah tangga dengan tujuan
membentuk keluarga sejahterah.[1]
D. Tujuan
Penikahan
Tujuan pernikahan pada
masyarakat Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Kalau orang Makassar
mengatakan terhadap orang yang mau dinikahkan lanipatutukmi ulunna salangganna/lniptutumi aulun
slgn, maka orang Bugis mengatakan elokni ri pakkalepu/ealoni
ri pkelpu
maksudnya akan diutuhkan. Jadi, orang
yang belum kawin dianggap belum utuh.[2]
E.
Usia pernikahan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yakni usia minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi
laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua mempelai
tersebut memiliki kematangan dalam mengarungi
bahtera rumah tangga , agar dia mampu memenuhi tujuan yang luhur dari
suatu perkawinan yaitu mendapat keturunan yang sehat jasmani dan rohaninya
serta memiliki akhlak yang mulia.[3]
F. Jenis-jenis
pernikahan:
a. Perkawinan
dengan peminangan
Perkawinan
yang dilaksanakan dengan peminangan ini berlaku secara turun temurun bagi
masyarakat Bugis-Makassar yang bersifat umum, baik golongan bangsawan maupun
golongan masyarakat biasa. Perbedaan hanya dari tatapelaksanaannya, bagi
golongan bangsawan, melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu.
Sedangkan bagi golongan masyarakat biasa dilaksanakan secara sederhana sesuai
kemampuannya.
b. Pernikahan
Ideal
Pernikahan
ideal pada masyarakat Bugis terjadi jika seorang laki-laki maupun perempuan
mendapat jodohnya dalam lingkungan keluarganya, baik dari pihak ibu ataupun
dari pihak ayah.
Pernikahan
dalam lingkungan keluarga makin mempererat hubungan kekeluargaan (kekerabatan).
a)
Siala
massapposiseng / sial msposies
ialah nikah antar sepupu sekali. Pernikahan ini juga disebut pernikahan assialang marola /asial
mrol.
b)
Siala
massappokadua/sial mspokdua
ialah nikah antarsepupu dua kali. Pernikahan ini biasa disebut assiparewesenna/ asiperesn.Artinya
kembali ke kekerabat.
c)
Siala
massappokatellu/sial
mspoketlu
ialah nikah antarsepupu ketiga kali.
Pernikahan ini disebut juga pernikahan
ripasilosengngi /ripsiloesngi atau rioaddeppe mabelae/riaoaedep.
Artinya, menghubungkan kembali kekerabatan yang agak jauh.
c. Perkawinan
dengan silariang (kawin lari)
Perkawinan
dengan silariang dilaksanakan tidak diawali dengan peminangan, tetapi kedua
belah pihak sudah sepakat untuk lari ke rumah penghulu atau imam untuk meminta
perlidungan, selanjutnya dinikahkanlah oleh penghulu atau imam.
Kawin
lari terjadi jika keluarga perempuan menolak pinangan pihak laki-laki. Tolakan
pinangan itu biasanya terjadi karena keluarga pihak perempuan memandang calon
pasangan anaknya tidak cocok atau tidak pantas. Hal itu disebabkan berbagai
kemungkinan, antara lain:
a) Laki-laki
berasal dari keturunan lapisan masyarakat yang lebih rendah dari pada
perempuan.
b)
Laki-laki itu
dianggapnya sebagai orang yang kurang sopan, tidak mematuhi adat-istiadat
sehingga laki-laki tersebut digolongkan sebagai orang yang ceroboh.
c) Anak
perempuan terlebih dahulu sudah ripasitaro/ripsitro.
Artinya, sudah dipertunangkankan lebih dahulu dengan remaja lain pilihan orang
tuanya. Biasanya dari kalangan kerabat sendiri.
Kawin lari dapat dibedakan atas tiga
jenis:
1) Silariang/silria
Silariang/silria
berarti sama-sama lari atas dasar kehendak bersama setelah mengadakan mufakat
untuk lari secara rahasia. Keduanya menetapakan waktu untuk bersama-sama menuju
ke rumah penghulu adat (ama/kadi). Keduanya meminta untuk dilindungi dan
selanjutnya minta untuk dinikahkan.
2) Rilariang/rilria
Rilariang/rilria berarti
dilarikan. Laki-laki memaksa perempuan ke rumah penghulu adat untuk minta
dilindungi selanjutnya minta untuk dinikahkan.
3) Elo Ri Ale/ ealo
ri ael
Elo Ri Ale/ealo ri
ael artinya melarikan diri. Pernikahan terjadi karena
perempuan dating sendiri kepada pihak laki-laki minta untuk dinikahi atau
perempuan ke rumah penghulu adat untuk minta dinikahkan dengan laki-laki
tertentu yang telah dipilihnya.
d. Perkawinan
yang dilarang
Pada
zaman dahulu sampai sekarang dalam masyrakat pada umunya, ada perkawinan yang
dilarang oleh adat, tidak terkecuali dalam masyarakat Bugis melarang perkawinan
antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah
yang dekat seperti:
a) Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui
ayah maupun ibu.
b) Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkan darinya (anak/cucu/cicit)
baik keturunan anak wanita.
c) Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita dari
keturunan ayah atau ibu (saudara kandung/anak dari saudara kandung).
d)
Seorang pria dilarang
kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah/ibu,
saudara kandung kakek/nenek baik dari ayah maupun dari ibu)
Berdasarkan hal tersebut diatas berate
seorang laki-laki dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan
lurus keatas dan kebawah tanpa batas.[4]
G. Pembatasan
Jodoh
Dalam masyarakat, dikenal adanya pelapisan masyarakat.
Ada golongan bangsawan dan ada pula golongan bukan bangsawan. Hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya pembatasan jodoh, bahkan terdapat hubungan perkawinan
yang terlarang. Misalnya terjadinya pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan
karena batas kedudukan yang tidak sejajar. Pada zaman lampau, hubungan antara
anak keturunan bangsawan dengan orang biasa sangat tertutup. Kalau terjadi
pelanggaran, disebut lejjak sung tappere/elj su
teper, artinya menginjak sudut tikar.
Hukuman bagi pelanggar adat nikah disebut riladung/rildu atau
rilamung/rilmu.
Maksudnya, bahwa kedua pelanggar tersebut hukuman berat, yaitu keduanya
ditenggelamkan ke dalam air. Namun, terdapat juga hal yang memungkinkan
terjadinya pernikahan dari golongan yang tidak sederajat karena laki-laki
mempunyai keistemewaan tertentu, seperti sifat keberanian dan ketangkasan.
Mereka dikenal sebagai towarani/towrni
“gagah berani”. itu dihargai dan dipandang sebagai orang terhormat. Kelebihan
lain adalah orang yang tergolong cendikiawan atau pemimpin-pemimpin agama.
H. Syarat-syarat
untuk Nikah
Seorang
laki-laki yang akan kawin lebih banyak persyaratan yang harus dipenuhi
dibandingkan dengan seorang perempuan. Selain dari persyaratan umum, terdapat
pula persyaratan khusus bagi laki-laki, yaitu naullebi mattulilingi dapurengnge wekka pitu/naeulbi
mtuliligi dpurneg ewk pituu, “ia harus mampu
mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali”. Dapur adalah temapat memasak semua
kebutuhan makanan dan sebagainya semuanya harus diproses melalui dapur.
Makna ungkapan ini adalah seorang laki-laki barulah
dianggap matang untuk kawin bila ia mampu memperoleh atau mengadakan segala
sesuatu yang bersangkut paut dengan kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan
jasmani maupun kebutuhan rohani.
Penanggung jawab utama dalam rumah tangga adalah
laki-laki, termasuk keamanan dalam rumah tangga. Seorang suami diharuskan
mengetahui bagaimana membina rumah tangga dan terutama keselamatan istri dan
anaknya. Disamping itu calon mempelai laki-laki yang berasal dari daerah lain
atau luar daerah, maka diharuskan membayar pallawa
tana/plw tn.
I. Upacara
Sebelum Pernikahan
Tata Cara Peminangan
Dalam hal peminangan jodoh, orang Bugis lebih
mengutamakan lingkungan kerabat, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Biasanya, orang tua laki-laki mengadakan kesepakatan dengan orang tua wanita
yang dipilihnya. Wanita itulah yang akan dijodohkan dengan anaknya.
Setelah orang tua menentukan wanita yang akan menjadi
calon menantunya, dimulailah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
perjodohan itu. Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai berikut:
a. Mapessek-pessek/ mepes-pese
Mapessek-pessek/mepes-pese atau
mammanu-manu/mmnu-mnu adalah
suatu cara untuk mengetahui sudah terikat atau tidaknya seorang gadis yang
telah dipilihnya dan untuk mengetahui kemungkinan diterima atau tidaknya
peminangan nanti. Untuk itu, diutusnyalah orang yang dipercayainya untuk
mengadakan penyelidikan dengan cara mendekati keluarga gadis secara langsung.
Pemyelidikan itu biasanya berasala dari keluarga terdekat gadis yang dianggap
cukup mbengetahui gadis itu dan orang tuanya. Kalau belum ada yang mengikatnya,
langkah selanjutnya adalah mengutus beberapa orang terpandang untuk
menyampaikan lamaran.
b. Madduta/ mdut
Madduta/mdut adalah
pengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan yang telah disepakati oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan
itu harus orang yang tuakan dan tahu seluk beluk madduta/mdut. Ia harus pandai
membawa diri agar keluarga perempuan tidak merasa tersinggung.
Duta
berhadapan langsung dengan orang tua atau wakil orang tua perempuan yang
dilamar. Pembicaraannya tidak langsung menyentuh soal lamaran. Duta harus
bersikap meyakinkan dan mampu tampil dengan nada pembicaraan yang halus
sehingga pihak keluarga perempuan akan mengerti maksud kedatangannya.
To madduta/tomdut
biasanya menyampaikan pembuka kata dan maksud kedatangannya dengan
ungkapan-ungkapan.
Berikut
ini salah satu contoh dialog antara To
Madduta/ to mdut dengan To Riaddutai/to riadutai:
To Madduta :
Duami luala sappo, unganna panasae belona
kanuku/duami lual spo, aungn pnsea eblon knuku.
(Hanya dua yang menjadi tumpuan kami, kejujuran dan hati yang bersih).
Iyaro bunga rositta tepu tabbaka
toni, engkanaga sappona/aiyro
buG rosit etpu tbk toni, eakng spon. (kembang ros
itu cukup mekarlah, apakah sudah ada yang melindunginya?)
To Riaddutai :
Dekga pasa ri kampotta, balanca ri
liputta mulinco mabela/edg ps ri kpot, blc ri liput mulico mebl.
(Apakah tidak ada gadis di negeri Bapak sehingga jauh Bapak mencari).
To Madduta :
Engka pada ri liputta, balanca ri
kampotta, nekiya nawami kusappa/eak pd ri liput, blc ri kpot, enkiy
nwmi. (Ada juga gadis di negeri kami, tetapi
yang kucari adalah hati yang suci/budi pekerti yang baik).
To Riaddutai :
Iganaro elo ri bungata, bunga
temmaddaunnge, temmattake/aignro ealo ri buGt, buG etmdaueG, etmtwk.
(Siapa yang ingin pada anak kami yang tidak punya pengetahuan sedikitpun).
To Madduta
: Taroni temmadaung, temmatakke/troni
etmdau, etmtek. (Biarlah tidak tahu apa-apa, karena
perhiasan yang tak kunjung layu, akan kuhadikan pelita hidupku).
Setelah
pihak perempuan mendengar niat suci To
Madduta/to mdut, dengan segala
kerendahan hati ia berkata: Narekko
makkonitu adatta, soroni tangngaka, nakutangnga tokki/nerko
mkonitu adt, soroni tGk, nkutG toki. (Kalau begitu
tekad tuan, kembalilah pelajari saya dan saya pelajari tuan).
Dapatlah
disimpulkan bahwa maksud baik To Madduta/to mdut diterima baik oleh pihak To Riaddutai/to ridutai.
Artinya, pihak perempuan menerima dengan baik lamaran pihak laki-laki. Namun,
tentunya masih banyak hal yang bersangkut paut dengan pelaksanaan pernikahan
yang perlu dimusyawarahkan lebih lanjut agar dapat diperoleh kata sepakat.
Misalnya, hal tentang uang belanja, hari pernikahan, dan uang mahar. Untuk itu,
baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki masih perlu bermusyawarah dengan
keluarga masing- masing.
c. Mappettu Ada/meptu
ad
Walaupun pihak perempuan sudah bersedia
menerima lamaran pihak laki-laki, pihak perempuan masih perlu bermusyawarah
maksud kedatangan to madduta/to mdut.
Orang tua perempuan berusaha menemui keluarga terdekatnya untuk memberitahukan
hal tersebut. Setelah mereka sepakat untuk menerima baik lamaran pihak
laki-laki, ditetapkanlah hari pelaksanaan mappettu
ada/ meptu ad.
Dalam acara mappettu ada/meptu ad
(memutuskan kata sepakat), dibicarakan dan diputuskan segala sesuatu yang
bertalian dengan upacara pernikahan, yang antara lain meliputi hal-hal berikut.
a)
Tanra
Esso/tr easo(Penentuan Hari)
Penentuan acara puncak atau pesta hari
pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa factor, seperti waktu-waktu
yang dianggap luang bagi keluarga pada umumnya. Jika pihak keluarga, baik
laki-laki atau perempuan, berstatus petani, biasanya mereka memilih waktu
sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada musim padi, biasanya hari yang
dipilih adalah hari sesudah tanam padi atau sesudah panen. Disamping itu jug
lebih ba dipertimbangkan hari lahir perempuan karena yang lebih banyak
menetukan hari jadi pernikahan/pesta adalah pihak perempuan.
b)
Balanca/blc
(Uang Belanja)
Besarnya uang belanja ditetapkan
berdasarkan kelaziman atau kesepakatan lebih dahulu antaranggota keluarga yang
melaksanakan pernikahan. Misalnya, ada yang menyerahkan uang belanja itu
sepenuhnya kepada pihak laki-laki sesuai dengan kemampuannya. Hal itu dapat
terjadi karena adanya saling pengertian yang baik dari kedua belah pihak.
c) Sompa/sop
Sompa/sop atau
mahar adalah barang pemberian, dapat berupa uang atau harta dari mempelai
laki-laki kepada mempelai wanita untuk memenuhi syarat sahnya pernikahan.
Jumlah sompa/ sop
ini diucapkan oleh mempelai laki-laki
pada saat akad nikah.
Menurut adat, jumlah sompa/ sop atau
mahar itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan social bangsawan atau
bukan bangsawan. Disamping itu, sompa
itu berbeda pula pada setiap daerah.
Sompa
itu dinilai dengan mata uang lama yang
disebut kati/kti.
Nilai 1 kati/ kti,
sesuai dengan nilai uang lama adalah 88 real + 8 orang + 8 doi serta 1 orang ata dan
1 ekor kerbau. Sekarang ini, 1 kati/ kti bernilai
Rp 100.000 – Rp 200.000.
Ata/at
artinya budak. Ata/ at yang
diperjualbelikan pada masa dahulu. Sekarang ini tidak ada lagi perbudakan
karena hal itu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, khususnya tentang
aspek perikemanusiaan.
d)
Mappasiarekeng/mpsiaerek dan Mappaenre Balanca/mpeaer
blc
Ada orang yang menggabungkan upacara mappasiarekeng/ mpsiaerek dan mappaenre Balanca/ mpeaer
blc dengan upacara
mappettu ada/meptu ad. Hal itu tergantung
pada kemampuan, kesempatan dan kesepakatan antara pihak keluarga laki-laki
dengan pihak kelearga perempuan.
Rombongan mappasiarekeng (mpsiaerek)/ mappaenre balanca (mpeaer
blc) terdiri atas laki-laki dan perempuan yang
masing-masing berpakaian adat dan dipimpin oleh orang tua dengan berpakaian jas
hitam tertutup leher (jas tattutu/ttutu).
Rombongan pihak laki-laki disambut oleh pihak perempuan. Masing-masing pihak
berpakaian adat. Rombongan pihak laki-laki membawa barang-barang berikut:
1)
7 ikat daun sirih (tiap
ikat berisi 7 lembar)
2)
7 ikat pinang merah
3)
7 biji gambir
4)
7 ungkus kapur
5)
7 bungkus tembakau
Selain barang-barang tersebut, dibawah
pula barang-barang berikut:
1)
1 cincin
2)
1 atau 2 lembar baju
dan sarung.
Setelah mereka duduk dengan tenang,
mereka kemudian mengulangi hasil pembicaraan yang telah disepakati pada saat mappettu ada/meptu ad.
Satu demi satu keputusan terdahulu dibacakan kembali. Setelah semuanya
dimantapkan, mereka berjbat tangan. Selanjutnya, mereka mengucapkan doa kepada
Allah Yang Mah Kuasa. Acara itu dipimpin oleh seseorang yang dituakan oleh
pihak mempelai wanita. Berikutnya, barang-barang dan perhiasan itu diserahkan
kepada pihak mempelai wanita.
Pada saat mappasiarekeng/mpsiaerek
itu, ada kalanya pihak keluarga laki-laki sudah menyerahkan uang belanja
kepadda pihak keluarga wanita sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
J. Waktu
Pelaksanaan Pernikahan
a. Mappasau/mpsau
Menjelang hari pesta penikahan, calon
pengantin wanita mendapatkan perawatan yang disebut mappasau/ mpsau
(mandi uap). Peralatan mappasau/ mpsau
berupa sebuah belanga yang terbuat dari tanah. Belanga tersebut berisi air yang
bercampur ramuan daun baka/bk,
daun calloppeng/cloep,
daun padang/pd,
rempa patappulo/erp
ptpulo, dan akar-akar yang harum.
Tempat memasak ramuan-ramuan itu ialah
rumah bagian belakang yang dianggap aman dan tidak dilewati banyak orang.
Belanga yang berisi air dan ramuan itu diletakkan di atas tungku. Mulut belanga
ditutup dengan batang pisang, kemudian dipasangi pipa bambu yang tegak sampai
di lantai rumah tempat duduk calon pengantin yang akan mappasau/ mpsau.
Sekitar
empat puluh hari sebelum calon pengantin mappasau/ mpsau,
calon pengantin itu diharuskan selalu memakai bedak basah atau lulur yang
terbuat dari beras rendaman bercampur kunyit dan akar-akar harum yang kemudian
ditumbuk halus.
Menjelang
mappasau/ mpsau,
calon pengantin memakai bedda lotong/ebd
loto (bedak hitam) yang terbuat dari beras
ketan hitam yang digoreng sampai hangus yang kemudian dicampur dengan asam jamu
dan jeruk nipis. Bedak itu digosokkan ke seluruh tubuh.
Pada
waktu mappasau/ mpsau,
bedak itu akan meleleh sehingga kulit calon pengantin kelihatan bersih dan
kuning langsat.
Air
yang akan digunakan untuk mappasau/ mpsau
dipanaskan sampai mendidih. Saat air mendidih, dikeluarkanlah ramuan yang akan
digunakan. Setelah air mendidih, ramuan itupun berbau harum.
Pada
waktu itu, calon pengantin yang sudah memakai bedda lotong/ebd loto
duduk diatas mulut terowongan bambu yang sudah dibuka penutupnya. Oleh karena
itu uap yang keluar melalui mulut bambu itu sangatn panas, mengalirlah keringat
yang keluar dari seluruh tubuh calon pengantin. Seluruh badannya menjadi bersih
dan perasaannya menjadi segar dan nyaman sehingga ia dapat bertahan duduk saat
menyelesaikan rangkaian acara pernikahan.
Setelah
selesai melakukan kegiatan mappasau/ mpsau,
calon pengantin dimandikan dengan berbagai macam daun dan bunga itu antara lain
sebagai berikut.
a) Daun
sirih yang merupakan simbol “siri’”/siri
b) Daun
serikaya = symbol kekayaan
c) Daun
tebu = manis
d) Daun
waru = subur dan rimbun
e)
Daun tabaling/tbli =
bermakna jika dating hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal tersebut akan
berbalik kembali ke asalnya.[5]
f)
Bunga cabberu/cebru =
bermakna agar calon pengantin senantiasa berwajah cerah
g)
Bunga canagori/cngori =
bermakana agar calon pengantin selalu menonjol/utama dan kuat
h)
Mayang/my pinang
yang masih kuncup berfungsi mengusahakan pengantin dapat hidup sejahterah dan
mendapatkan keturunan.
b. Mappacci/mpci
Upacara mappacci pada hakikatnya termasuk dalam acara pelaksanaan
pernikahan. Sesuai dengan maknanya, upacara
mappacci ini dapat pula digolongkan ke dalam acara merawat pengantin di
jaman dahulu di kalangan bangsawan. Upacara mappacci
dilaksanakan dalam tiga hari secara berturut-turut. Sekarang, upacara ini hanya
dilaksanakan dalam satu malam, yakni pada malam hari pesta perkawinan.
Mappacci barasal dari kata
paccing yang berarti bersih. Mappacci berarti membersihkan diri. Maksudnya agar
calon pengantin itu terhindar dari segala sesuatu yang dapat menghambat acara
pernikahan. Selain itu, calon pengantin
dalam hati yang bersih menghadapi segala rangkaian pernikahan termasuk
pula bersih diri dalam mengarungi hidup berkeluarga.
Acara mappacci
disebut juga acara tudampenni yang dilakukan di rumah masing-masing kedua calon
mempelai. Sebelum acara tudampenni terlebih dahulu diadakan upacara pengambilan
pacci disebut malekke pacci/melek
pci. Pelaksanaannya dilakukan pada sore hari di rumah
orang-orang tertentu. Kalau calon pengantin itu dari golongan keturunan
bangsawan, maka tempat malekke pacci
juga di istana raja. Kalau calon pengantin itu dari golongan keturunan orang
biasa atau orang kebanyakan, maka tempat pengambilan pacci adalah di rumah
kerabat terdekat yang dituankan.
Rombongan palekke pacci/pelek pci
ini terdiri atas wanita dan laki-laki tua dan muda. Setiap palekke pacci itu menggunakan pakaian adat lengkap. Iring-iringan
rombongan palekke pacci terdiri atas:
a) Pembawa
tombak
b) Pembawa
tempat sirih
c) Pembawa
hidangan kue-kue adat yang tersimpan dalam bosara
d) Pembawa
tempat pacci dan dipayungi dengan lellu/ellu
e)
Pembawa alat-alat
bunyi-bunyian berupa gendering, gong, beccing, dan lain-lain.
Penyuguhan sirih merupakan
penghargaan bagi raja karena pada masa dahulu, raja-raja itu memakan sirih.
Istilah sirih, termasuk bahan kelengkapan lainnya, seperti daun sirih, buah
pinang, kapur, dan gambir. Kelengkapan lainnya seperti daun tembakau. Daun
tembakau didiris halus-halus kemudian dikeringkan. Dengan adanya perubahan
situasi dan kondisi dewasa ini acara malekke
pacci ini tidak lagi diadakan tetapi
langsung saja mengambil daun pacci di
pohon pacci.
Dalam upacara mappacci secara simbolik digunakan daun pacci dan barang-barang lain seperti berikut.
1)
Bantal (angkangulung/akGulu),
adalah pengalas kepala, disimbolkan sebagai harkat/kehormatan yang harus dijaga
dan dihormati “ipakalebbi”/ipkelbi.
2)
Sarung sutera (lipa sabbe/lip seb),
sarung adalah sebagai pembungkus /penutup badan yang mengandung makna harga
diri dan moral. Sarung juga melambangkan ketekunan dan keterampilan yang harus
dimiliki oleh calaon mempelai putri (ini tempo dulu). Pada umumnya jumlah
sarung adalah 7 helai. Jumlah tujuh melambangkan hasil pekerjaan yang baik “mattuju”/mtuju
besar sesuai status (stratifikasi social calon mempelai) ada yang sembilan
lembar dan bahkan sebelas lembar.
3)
Pohon pisang lengkap
dengan daunnya, daun pisang melambangkan kehidupan yang sambung menyambung.
Daun yang tua belum kering betul, daun muda telah muncul untuk menggantikan dan
melanjutkan hidupnya dalam bahasa Bugis maccolli
maddaung/mcoli mdau.
4)
Daun nangka (panasa/pns),
daun nangka dihubungkan dengan kata maminmasa/mmims
berarti harapan atau cita-cita. Disini digunakan 2×7 atau duakkapitu daun panasa/duakpitu dau pns
mengandung arti “semoga hidup yang akan dilalui membuahkan”, sebagaimana yang
diharapkan/dicita-citakan. Diatas daun panasa
inilah calon mempelai melatakkan kedua tangannya untuk mengharapkan doa restu
dan mereka yang diundang dan meletakkan pacci/pcidiatas
telapak tangannya dimulai tangan kanan/kemudian tangan kiri, kanan= tau/tau
artinya manusta, kiri = abio/abiao,
dianggap tidak etis (majora/mjor).
5) Pesse pelleng/epes
epel
atau lilin yang sedang dinyalakan,
memiliki arti member sinar pada jalan yang akan ditempuh oleh calon mempelai.
Selain itu sebelum ada lilin digunakan pula tai
bani/tai bni
yang berasal dari sarang lebah, dikaitkan
dengan tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, serta sekata-kata
sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan lebah. Mereka tidak saling mengganggu
satu sama lain. Selalu rajin dan ada kerja sama yang baik serta harmonis.
Namun, apabila ada musuh dari luar yang datang mengganggu, mereka akan serentak
menyerang dan menyengat.
6)
Berondong atau benno/ebno
beras yang dihamburkan sebanyak tiga kali, mengandung suatu harapan dan doa
agar calon mempelai dapat mekar berkembang serta murah rezeki di kemudian hari,
disebut mappenno rialei/mepno
riaelai.
7)
Daun pacci/pci (daun
inai), tersimpul kata paccing/pci
atau bersih.
Melaksanakan
upacara mappacci/mpci
menjelang akad nikah berarti bahwa calon mempelai telah siap dengan hati yang
suci bersih serta ikhlas untuk memasuki kehidupan rumah tangga.
1) Mappaccing ati/mpci
ati
(bersih hati)
2) Mappaccing nawa-nawa/mpci
nw-nw
(bersih pikiran)
3)
Mappaccing
pangkaukeng/mpci pkauek (bersih/baik
tingkah laku/perbuatan)
4) Mappaccing ateka/mpci
aetk
(bersih itikat)[6]
Setelah peralatan mappacci/mpci
disiapkan, calon pengantin didudukkan di pelaminan. Jika calon pengantin dari
golongan bangsawan dipakaiakanlah lellu/ellu
yang dipegang oleh 4 orang remaja yang berpakaian adat. Jika calon pengantinnya
laki-laki, lellu/ell
itu dipegang oleh 4 orang remaja laki-laki yang memakai sarung putih dan
songkok putih. Didepan pengantin, dileyakkan sebuah bantal sebagai alas. Diatas
bantal, disusun 7,9, atau 11 lembar sarung sutera. Diatas sarung, diletakkan
daun pisang. Diatas daun pisang diletakkan daun nangka. Peralatan itu disusun
demikian sebagai wadah peletakan kedua tangan calon mempelai yang siap dipasangkan/di-pacci/pci.
Dahulu,
pembacaan dzikir atau barazanji dilaksanakan bersama-sama dengan upacara mappacci. Pelaksanaannya setelah
pembacaan doa selamat, penghulu syara berzikir. Pada saat sampai pada bacaan “asyaraka”, orang-orang berdiri. Pada
saat itu dimulailah peletakan pacci/pci.
Kemudian,
secara berturut-turut orang membubuhkan pacci pada telapak tangan pengantin
yang duduk diatas lamming/lmi.
Orang yang pertama memasangkan pacci/pc
biasanya dipercayakan kepada pemuka masyarakat atau pajabat setempat kemudian
disusul oleh orang lain.
Dahulu,
oleh karena pada umumnya calon pengantin belum saling mengenal, pada malam
sebelum acara mappacci/mpci,
calon pengantin laki-laki dengan berpakaian lengkap diantar ke rumah mempelai
wanita itu. Acara yang demikian disebut mattuduk
majjareng/mtudu mjer. Pada saat itu, calon
pengantin wanita dengan berpakaian lengkap duduk diatas pelaminan. Lalu,
diadakanlah upacara mappanre dewata/mper
edwt dengan suguhan sokko patanrupa/soko ptrup (nasi ketan 4 macam
warna) bersama dengan lauk pauknya. Pada saat upacara itu, taibani/taaibni atau lili menyala
terus dan gendang juga berbunyi terus hingga acara selesai.
Dewasa ini, pelaksanaan upacara mappacci/mpci
sering tidak bersama-sama dengan pembacaan zikir, perubahan zaman menyebabkan
hal itu terjadi. Orang yang membubuhkan pacci/pci
biasanya dalam juumlah ganjil, misalnya, 7,9,atau 11orang. Orang yang terakhir
yang membubuhkan pacci/pci
adalah imam. Imam tersebut sekaligus bertindak sebagai pembaca doa.
K.
Mappaenre dan Mapparola
1. Peralatan
Upacara Selamatan dalam Pernikahan
Alat-alat
yang perlu disiapkan dalam rangkaian upacara pernikahan sebagai berikut:
a. Uang
belanja
b. Alat
bunyi-bunyian, seperti genderang, kancing, gong, dan pui-pui
c. Lisek kawin (lies
kwi)/lisek sompa (lies
sop), seperti kunyit, buah pala, reppak pammutu/erp pmutu, aju cenning/aju
ecni,
dan kemiri
d. Sokko/soko bersama
dengan palopo/plopo
e. Buah-buahan,
seperti pisang, tebu, durian, kelapa, nangka dan nenas
f. Tombak
(bessi), payung, dan lain-lain
g. Walasuji/wlsuji dan
sebagainya.
2. Proses
Pelaksanaan Pernikahan
a. Mappada (mpd)/Madduppa (mdup)
Dalam
rangka pelaksanaan pernikahan, pihak
keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki perlu memberikan informasi
kepada seluruh keluarga, teman, sejawat, dan handai tolan.
Acara
pemberian informasi secara lisan disebut madduppa/mdup, ,mappada/mpd, mappaisseng/mpaies, atau
mattampa/mtp. Hal
itu dilaksanakan oleh beberapa orang perempuan maupun laki-laki yang berasal
dari anggota keluarga, seperti ibu, bibi, dan saudara terdekat. Yang diduppai/didupai
dalah pemuka masyarakat dan pejabat negeri. Padduppa/pdup itu berpakaian adat. Padduppa/pdup laki-laki memakai
songkok (songkok pamiring/soko
pmiri).
Pengedaran
undangan diusahakan paling lambat 3 hari sebelum pesta pernikahan dan paling
cepat sepuluh hari sebelum pernikahan.
1.
Massarapo
(msrpo)/Massompung
Bola (msopu bol)
Untuk
menampung undangan keluarga dan undangan resmi, sebelum pesta pernikahan
berlangsung, dibuatlah bangunan tambahan disamping, di muka, atau di belakang
rumah. Kegiatan itu disebut massompung
bola/ msopu bol
atau
massarapo/ msrpo. Bahkan, ada yang
membangun gedung tersendiri di halaman rumahnya. Gedung itu disebut baruga.
Bangunan itu diberi pagar bambu. Pagar yang demikian disebut walasuji/wlsuji.
Ditengah-tengah bangunan itu didirikan lamming/lmi
yang merupakan tempat duduk pengantin bersama pengiringnya. Tempat itu penuh
dengan hiasan yang beraneka bentuk dan warnanya.
2.
Mappaenre
Botting/mpaeer boti
Saat
yang dinanti, baik oleh pihak perempuan maupun pihak laki-laki adalah hari
pelaksanaan pernikahan. Hari tersebut disebut esso appabbottinge/esso apboti
atau mata gauk/mt gau (puncak
acara). Hari itu disebut pula dengan hari mappaenre
botting/mpeaer boti. Orang yang mengantar
pengantin laki-laki ke rumah perngantin perempuan disebut mappaenre botting/ mpeaer boti atau penugantara botting/epnugtr
boti.
Pengantin laki-laki bersama dengan
pengiringnya baru berangkat setelah ada penjemput (padduppa/pdup)
dari keluarga perempuan. Rombingan penjemput ini biasanya berjumlah empat,
delapan orang atau lebih yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Mereka
berpakaian adat. Di rumah pengantin perempuan, telah siap pula kelompok
penjemputbaik yang ada di dalam maupun di luar rumah. Kemudian seorang
perempuan tua berdiri di depan pintu sambil menebarkan beras kea rah pengantin
laki-laki pada waktu ia mulai menginjak anak tangga. Pengantin itu kemudian
dituntun menuju lamming/lmi yang
sudah disediakan.
3.
Akad Nikah dan Mappasikarawa/mpsikrw
Akad nikah dimulai dengan berdasarkan tuntunan wali atau
imam yang dipercayakan sebagai wakil orang tua pengantin perempuan.[7]
Setelah acara mengucapkan akad nikah (ijab qabul), maka pengantin dituntun oleh
seorang laki-laki berpengalaman masuk ke kamar mempelai wanita untuk makkarawa/mkrw
(memegang) bagian-bagian tubuh mempelai wanita sebagai tanda bahwa keduanya
telah sah untuk bersentuhan. Tetapi menurut kebiasaan, pemegang kunci pintu
kamar mempelai wanita tidak akan membuka pintu sebelum diberi uang oleh
pengantar yang disebut pattimpe tange’/ptiep
teG (pembuka pintu). Begitu pula ketika mempelai
laki-laki telah berada dalam kamar, tidak akan dibukakan kelambu sebelum
mengeluarkan uang yang disebut oleh pattimpa
boco/ptip boco (pembuka kelambu).
Setelah semuanya dipenuhi oleh pangantar mempelai laki-laki, barulah mempelai
laki-laki diperkenankan duduk dekat mempelai perempuan.
Menurut kebiasaan ambo
botting/abo boti
atau pengantar mempelai laki-laki
berusaha untuk menggerakkan memepelai laki-laki agar dapat menyentuh bagian
tubuh mempelai perempuan yang dianggap memiliki makna simbolis. Misalnya,
ubun-ubun mempelai perempuan atau bagian leher dengan harapan setelah menjadi
istri yang sah akan patuh pada suaminya. Ada pula yang dibagian perut, dengan
harapan kehidupannya kelak tidak akan mengalami kesulitan. Oleh masyarakat
Bugis, meyakini bahwa sentuhan pertama sang suami akan menetukan berhasil
tidaknya membina rumah tangga dikemudian hari.
Setelah acara makkarawa/mkrw,
kedua mempelai dililit dengan selembar kain kemudian keduanya berlomba untuk
berdiri. Menurut keyakinan jika mempelai laki-laki berdiri lebih dulu, maka
istri akan tunduk kepadanya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dalam
acara ini baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan selalu berusaha
untuk saling mendahului.
4. Millau Dampeng/milau
dep
Setelah acara mappasikarawa/msikrw
selesai, maka kedua mempelai keluar dari kamarnya lalu dituntun, ke kedua orang
tua pengantin perempuan untuk memohon maaf “millau
dampeng”/milau dep dan mohon restu kepada
kedua orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga yang sempat hadir atas
hidup baru kedua mempelai. Selanjutnya kedua pengantin diantar menuju ke
pelaminan untuk bersanding menerima ucapan selamat dan doa restu dari tamu dan
keluarga yang hadir. Acara ini berlanjut samapi malam hari.
5. Mapparola/mpril
Mapparola/ mpril
dalam pernikahan Bugis yaitu merupakan kunjungan mempelai perempuan ke rumah
mempelai pria.[8]
Pelaksanaannya biasanya stelah acara akad nikah atau keesokan harinya dengan
pakaian seperti pada pernikahan pada hari sebelumnya. Pesta pernikahan tersebut
berpindah dari rumah mempelai laki-laki yang dihadiri oleh para undangan.
Sebagai tanda syukur pihak mempelai perempuan.
Di acara marola kedua mempelai
diantar masuk kediaman mempelai laki-laki sambil menunggu kedatangan kedua
orang tua, keluarga dan sepupu mempelai laki-laki duduk berjejer kemudian kedua
mempelai mendatangi kedua orang tua laki-laki memberikan salam dan berjabat
tangan atau dikenal dengan istilah millau
dampeng/milau dep. Diacara marola
mempelai perempuan menyodorkan sarung sebagai tanda ungkapan terima kasih
kepada kedua orang tua, keluarga mempelai dengan memberikan cendera mata berupa
kalung, gelang, cincin, atau uang dalam amplop yang disesuaikan dengan
kemampuan keluarga mempelai laki-laki dan kedua mempelai diarahkan untuk duduk
dipelaminan yang telah disediakan. Para tamu dipersilahkan untuk mencicipi hidangan yang telah
disediakan oleh keluarga mempelai laki-laki.
Dengan selesainya prosesi tersebut,
maka selesailah sudah rangkaian acara pernikahan dan kedua pasang suami istri
memulai hidup baru.
L. Kesimpulan
Pernikahan
bagi masyarakat Bugis sangatlah penting karena mereka menganggap pernikahan
bukan hanya sekedar urusan dunia tetapi sesuatu yang sangat sakral. Pernikahan
adalah suatu peristiwa yang sangat penting bagi seseorang karena pernikahan itu
merupakan babak baru dalam menempuh kehidupan untuk membentuk keluarga yang
merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat.
Begitu
pentingnya pernikahan sehingga dikalangan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan
dikenal dengan ungkapan yang dialamatkan bagi orang yang belum mendapatkan
jodoh untuk elangsungkan pernikahannya. Misalnya, bagi anak yang mulai remaja
hingga menganjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan kalau belum menikah
dikatakan belum sempurna sebagai manusia atau de’pa nabbatang tau/edp nbt tau.
Sedangkan bai laki-laki taua perempuan yang berusia lanjut dan tidak pernah
menikah dikatakan pohon yang tidak berbuah atau nawelaini uwae/newlaini
auwea.
Prosesi
pernikahan suku Bugis memiliki perbedaan dengan prosesi pernikahan suku lain
dan perpedaan itulah yang membuat pernikahan suku Bugis memiliki keunikan
tersendiri.
M. Saran
Untuk
lebih melestarikan kekeyaan yang dimiliki Sulawesi Selatan khususnya pernikahan
suku Bugis perlulah kita tetap melaksanaan semua prosesi sesuai dengan yang
dilakukan orang sebelum kita dan diharapkan agar pemerintah dapat menyediakan
media yang lebih menarik agar generasi mudah meresa tertarik untuk mempelajari
pernikahan suku Bugis.
DAFTAR PUSTAKA
Abustan
n alimin. Adat perkawinan masyarakat
bugis. Makassar: Telaga zamzam, 2008.
Ahmad,
Abd. Kadir. Sistem Perkawinan di Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat. Cet. 1; Makssar: Indobis, 2006.
Al-Barik, Haya binti Mubarak. Mausu’ah Al-Mar’atul Muslimah. Terj.
Amir Hamzah Fachrudin, Ensiklopedi Enita
Muslimah. Cet. 18; Bekasi: Darul Falah, 2012.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang, 1995.
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan. Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Sulawesi Selatan. Cet. 3; Makassar, 2006.
Nonci. Adat Perkawinan Masyarakat Bugis dan Mandar.
Makassar: CV. Aksara.
Nonci.
Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis.
Makassar: CV. Karya Mandiri Jaya, 2002.
Sapada, Andi
Nurhani. Tata- Rias Pengantin dan Tata Cara Adat Perkawinan Bugis-Makassar.
[1] Haya
binti Mubarak al-Barik, Mausu’ah
Al-Mar’atul Muslimah, terj. Amir Hamzah Fachrudin, Ensiklopedi Wanita Muslimah (cet. 18; Bekasi: Darul Falah, 2012), h. 97.
[2] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Cet. 3;
Makassar: , 2006), h. 75
[3] Abustan
dan Alimin, Adat Perkawinan Msyarakat
Bugis (Makassar: ZamZam, 2008), h. 9
[4] Ibid., h. 10
[5] Nonci, Adat Pernikahan Masyarakat Bugis dan Mandar (Makassar:
CV. Aksara, ), h. 20.
[6] Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Adat
dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Cet. 3; Makassar: , 2006),
h. 93.
[7] Op. cid, h.
[8] Abd.
Kadir Ahmad. Sistem perkawinan di
Sulawesi Selatan danSulawesi Barat (Cet. 1; Makassar: Indobos, 2006), h.
137.