Monday, December 2, 2013

Mengkaji Kitab Lagaligo






LAGALIGO ialah putera Sawerigading dengan perkawinannya dengan WECUDAI. Sawerigading yang menurut Legenda dikisahkan sebagai berasal dari Kayangan (TOMANURUNG putera Batara Guru) menurut istilah Bugis. Yang kemudian menjadi asal usul secara turun-temurun raja-raja Luwu di Sulawesi Selatan.
Semasa hidupnya LAGALIGO terkenal sebagai pujangga yang tak ada bandingannya di kawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk membuktikan asli tidaknya ialah huruf”H” tidak ada pada buku asli LAGALIGO tersebut. Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid. Tidak ada huruf “H” didalamnya. Buku Lagaligo ini tidak ada lagi di Sulawesi Selatan (?). Jelas diangkat Pemerintah Belanda ke negerinya seperti halnya buku-buku Lontara lainnya. Yang ada di sini tinggal keeping-keping cerita yang dikisahkan turun-temurun, oleh manusia seseorang ke manusia yang lainnya. Atau merupakan fragmenta-fragmenta tentang Lagaligo yang ditulis dalam aksara Bugis-Makassar (Lontara). Dengan versi-versi penulisnya(yang mengyutipnya). Asal Mula Aksara LONTARA.
“La Galigo adalah karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia yang setara dengan kitab Mahabharata dan Ramayana dari India serta sajak-sajak Homerus dari Yunani,” ungkap R.A, Kern. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan Belanda, Sirtjof Koolhof, menyebutnya sebagai karya sastra terpanjang di dunia, terdiri dari 300.000 baris, mengalahkan Mahabharata dan yang lainnya.
Nah, novel di tangan Anda ini adalah pemiksian yang sangat menarik dari karya legendaris tersebut.
Diceritakan bahwa dahulu kala, Kerajaan Bumi hanyalah tanah kosong yang benar-benar tak berpenghuni. Lalu, Sang Dewata (Sang Pototoqe) segera memutuskan bahwa kerajaan tersebut tidak bisa dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan untuk menyuburkannya dan tentu saja menyembah-Nya!
Maka, dipilihlah sang putra sulung-Nya untuk menjadi manusia pertama yang menghuni bumi. Dialah yang kemudian menjelma Batara Guru.
Tidaklah mudah menjadi penguasa di Bumi, meski sang manusia titisan Dewata tersebut bisa saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya. Tapi, Sang Dewata mengharuskannya untuk berusaha sebelum pasrah. Di sinilah, ujian-ujian kehidupan mulai menerpanya. Dia dipaksa untuk melewati berbagai rintangan hingga sampailah dia pada titik di mana Sang Dewata mengizinkan Batara Guru memiliki pendamping hidup.
Lantas, bagaimana kehidupannya kemudian? Tentu saja sepak terjang hebat keturunan-keturunannya semisal Sawerigading bakal mewarnai dengan sangat menghibur karya besar ini. Bahkan, petualangan cucu Batara Guru inilah yang nantinya sering menjadi sorotan istimewa dari para penikmat La Galigo. Selamat membaca!
“Adinda, tidak usah khawatir bila anak kita kelak menjelma manusia lalu mengalami cobaan hidup di Bumi. Karena, memang sudah menjadi hukum Bumi bahwa sesungguhnya hidup adalah cobaan. Bukanlah manusia namanya bila tidak dicoba. Juga, bukanlah manusia bila tidak tahan menghadapi cobaan,” ucap Sang Patotoqe meyakinkan istrinya.
Selama ini naskah-naskah tua berupa manuskrip kuno yang tersebar di museum-museum Eropa masih kurang dipublikasikan. Naskah atau manuskrip yang berasal dari Indonesia yang jelas adalah milik Indonesiai menjadi daya tarik utama dan menjadi andalan bagi museum-museum yang ada di Eropa yang memilikinya. Sehingga banyak hasil-hasil penelitian dan membuahkan tulisan baik artikel atau buku yang berkenaan dengan sejarah-sejarah di Indonesia  banyak bersumber dari manuskrip yang berasal dari Indonesia yang menjadi keloksi di berbagi museum di Eropa. Diantara negara-negara Eropa mungkin saat ini Belanda adalah negara yang memiliki beberapa museum dengan koleksi manuskrip berasal dari Indonesia.
Diantara ribuan lembar koleksi manuskrip yang ada di beberapa museum Belanda, yang paling menarik perhatian adalah manuskrip kuno kitab epos I La Galigo yang berasal dari masyarakat Sulawesi Selatan. Naskah ini sekarang merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia dari the Netherlands Bible Society, yang diberikan hak permanen ke Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden Perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda. Manuskrip ini masih tersimpan rapi seperti dan menjadi salah satu naskah tua yang paling dijaga dan sangat berharga.[1]
Sekelumit mengenai Kitab Epos I La Galigo bagi masyarakat Sulawesi Selatan merupakan epos yang menceritakan asal usul peradaban masyarakat Sulawesi umumnya dan khususnya Sulawesi bagian Selatan. Epos berkaitan dengan berbagai etnis yang ada di daratan Sulawesi sehingga masih dapat ditemukan di tengah lapisan masyarakat di Sulawesi khususnya di propinsi Sulawesi Selatan mensakralkan epos ini dan ada pula menganggap ini merupakan kitab suci selain itu ada pula menganggap epos ini hanya sebuah karya sastra karena isinya hanya mitos. Namun terpenting kisah I La Galigo bisa di temui di hampir seluruh jazirah Sulawesi namun kisah ini lebih banyak ditemukan di bagian Selatan pulau Sulawesi Selatan khususnya di masyarakat etnis Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja., dalam hal ini epos I La Galigo memberikan gambaran keterkaitan bahwa etnis yang ada memiliki hubungan kuat dengan keterkaitan memiliki satu leluhur yang sama. Inilah membuat I La Galigo bukan milik etnis tertentu di Sulawesi melainkan milik semua dan untuk saat ini adalah milik masyarakat Indonesia.
Perjalanan kitab ini sungguh panjang hingga menjadi salah satu koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I La Galigo di tulis ulang seorang wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama Collie Puji Arung Pancana Toa yang merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji menulis ulang adalah hasil dorongan seorang misionaris dan juga seorang peneliti Antropolog asal Belanda yakni Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan misionarisnya di sertai penelitiannya B.F Mathees berupaya mengumpulkan lagi lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo yang tersebar di kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Manuskrip Epos I La Galigo memiliki 300.000 baris teks serta diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan lembar masih tersebar di tengah masyarakat selain itu telah banyak mengalami kerusakan atau hilang, namun untuk melihat secara dekat epos ini masih bisa dijumpai beberapa lembar di Museum La Galigo Makassar.
Saat ini Epos I La Galigo menjadi salah satu Epic terpanjang di Dunia yang dapat disejajarkan dengan epos terpanjang dunia lainnya seperti Epos Mahabarata dan Ramayana dari India, Shahmane peninggalan persia (Iran), dan epos peradaban Yunani. Hal inilah membuat La Galigo diadaptasi ke dalam seni pentas yang di sutradarai oleh Robert Wilson sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Pementasan I La galigo menjadi pertunjukkan opera di mulai pada tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Epos I La galigo menjadi kebanggaan tersendiri, begitu banyak kita mengenal epos atau epic dari luar Indonesia ketimbang epos yang berasal dari Indonesia. Sulit bagi kita untuk mengharuskan manuskrip epos I La Galigo pulang kampung ke tanah kelahirannya di Indonesia, faktor utama adalah perawatan yang membutuhkan biaya cukup tinggi, dan peralatan penunjang untuk membuat manuskrip tidak rusak atau hancur. Kondisi suhu di Indonesia menjadikan epos ini sulit untuk kembali pulang dan di Museum Leiden Belanda sendiri memberikan ruangan khusus dan selalu mengawasi suhu dan temperatur ruangan tersebut. Di satu sisi kesulitan untuk mengembalikan epos ini kembali pulang adalah kemampuan khususnya Pemerintah untuk memberikan perhatian dan perawatan yang khusus.
Di akhir tulisan ini sebuah ungkapan simpati untuk mengucapkan selamat kepada manuskrip Epos I La Galigo yang telah menjadi salah satu Memori Dunia yang tercatat di UNESCO Memory of the World Register. UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah naungan PBB mempunyai program yang disebut UNESCO Memory of the World Register yang dimulai pada tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk menjaga warisan berupa hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja atau pun tidak disengaja oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca. Kegiatan ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa peninggalan dari hasil dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen dianggap penting dalam sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian timur Indonesia telah menjadi milik dunia.
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.[2]
Karya sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dengan pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga menjadi bagian penyampaian kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan kebudayaan.
Inilah yang tercermin dalam La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 yang saat ini menjadi kitab sakral Bugis. Dari naskah La Galigo ini bisa diketahui kondisi masa-masa awal masuknya Islam di tanah Bugis.
“Sastra La Galigo tidak hanya dinikmati sebagai sastra tapi juga sebagai sarana Islamisasi bagi orang Bugis,” kata Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanudin Andi Muhammad Akhmar, dalam ujian terbuka promosi doktornya dengan judul "Islamisasi Bugis" di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (6/6).
Dirinya menjelaskan, islamisasi yang memanfaatkan sastra ini dilakukan tanpa menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis. Namun, menyesuaikan unsur Islam dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik.
Sebelum menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno yakni kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). “Orang Bugis biasa menyebutnya Dewata Sisinae.Bahkan sisa-sisa kepercayaan terhadap Dewata Seuwae ini dapat dilihat pada masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang,” kata Akhmar.
Dewa-dewa dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Tapi seiiring masuknya islam dari Asia Barat, menggeser kepercayaan Dewata Sisinae dengan konsep Allah Subhanahu Wa Taala, melalui ajaran-ajaran tauhid.
Pengucapan doa-doa dan ayat Al-quran pun juga disesuaikan pengucapan bahasa Bugis. Dalam praktik ibadah seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Bugis. “Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis,” ungkapnya.
Hingga kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang tidak boleh dibaca tanpa didahului sebuah ritual tertentu seperti menyembelih sapi. Umumnya naskahnya dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun rumah, musim tanam, pesta perkawinan, atau doa tolak bencana.
(Olivia Lewi Pramesti)
Adapun kisah berdirinya kerajaan Luwu,diriwayatkan pada buku kesusteraan yang berbentuk “epos”. Dikisahkan sebagai berasal dari kayangan berjudul berjudul “LAGALIGO”. Terdiri dari dua puluh tiga jilid, dengan satu juta suku kata dan merukan buku sastera jenis “epos” yang terpanjang di dunia pada zaman itu.
Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu Belanda berkuasa , semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya.[3]

Kritik Ke Aslian Naskah La Galigo
Kritik pedas yang dilontarkan Penulis buku “Gurita Cikeas” George Aditjondro dalam makalahnya berjudul: Terlalu Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas klaim orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras, patut dipertimbangkan oleh orang-orang Luwu (Bija To Luwu). Selama ini, Orang Luwu selalu berada dalam bayang-bayang suku bugis. Sebagian besar Bija To Luwu telah latah mengakui bahwa mereka adalah suku bugis, padahal dalam kesehariannya, mereka menggunakan bahasa TAE sebagai ciri khas kesukuan orang Luwu. Berikut 2 (dua) kutipan dari makalah tersebut yang patut direnungkan:
1. Dan pengamatan di Tana Luwu’ dan wawancara dengan sejumlah informan kunci, cukup jelaslah bagi saya bahwa orang Luwu’ atau To Luwu’, penduduk asli ketiga kabupaten ex-kerajaan Luwu’ (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur) merupakan kelompok etno-linguistik (suku) sendiri, dan bukan sub-etnis Bugis. Bahasanya, bahasa Tae’, lebih dekat ke bahasa Toraja dari pada ke bahasa Bugis.
2. Klaim Bugis atas Luwu’, yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim La Galigo sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim Mahabharata dan Ramayana sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman mengklaim Homeros sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa La Galigo menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat.
Ternyata, George Aditjondro bukan orang pertama yang berpendapat demikian. Hampir seperempat abad silam, Andi Zainal Abidin, guru besar Fakultas Hukum Unhas, telah mengungkap hal tersebut dalam beberapa tulisannya, yang kembali dikutip George Aditjondro dalam makalah tersebut di atas.

Banyak Bukti
Saya sendiri justru penasaran dengan Kitab Lagaligo yang diklaim sebagai Karya Sastra Bugis. Saya mengembangkan sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Kitab Lagaligo itu dikatakan karya sastra Bugis, sementara pemerannya adalah Raja-raja Luwu, penutur rumpun bahasa TAE’? Saya pun berinisiatif mencari tahu melalui search google.
Jawaban pertama saya temukan dari pernyataan Muh. Salim -salah seorang penerjemah Sureq Lagaligo- bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Makanya, Muh. Salim butuh 5 tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000 baris yang terbagi dalam 36 Bab itu.
Dari pernyataan Salim ini, kita dapat mengembangkan logika: kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu dia hanya butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut.
Tapi, Saya tetap menggaris bawahi phrasa “Proto Bugis+Sansekerta” yang dikatakan oleh Muh. Salim. Saya coba telusuri melalui Genesis bahasa Austronesia. Masya Allah….., saya baru tahu kalau bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Dan bahasa Makassar adalah turunan campur (Indo) dari bahasa TAE’ (Luwu) dan Bahasa BARE’E (Sulawesi tengah). Sungguh mengejutkan![4]
Lalu apa alasan Muh. Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti?” Hanya Allah dan dia saja yang tahu.
Saya belum puas sampai disitu. Saya berpikir bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain dan dari tempat asli di mana para pemeran dan episodenya berlangsung, yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan, mengingat keterbatasan saya dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan.
Tapi entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik di teliga saya untuk mencari keterangan dari para pemerhati Lagaligo di Luar Negeri. Dalam benak saya, mereka (orang luar itu) tentu pernah menulis hal-hal terkait kitab tersebut, dan mereka tentu akan lebih objektif, semata hanya untuk pengembangan keilmuan, dan tidak ada tendensi dan pengaruh subjektifitas kesukuan. Toh mereka bukan orang Sulsel. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan tambahan dari V. SIRK melalui tulisannya berjudul : On Old Buginese and Basa Bissu hal 235. Berikut kutipannya:
1. To determine the origin of the lexical layers formed basically by the words that Matthes marks with O.B. and with B.B. is a complicated problem. Here I am able to give some suggestion only regarding the first, “Old Buginese” layer. This layer has apparently been brought about by the “Lagaligo” tradition. As regards the original homeland of this tradition, there are various consideratios putting forward Luwu’ region. However, such a hypothesis cannot as yet be founded linguistically : much more data about Buginese dialects and neighbouring languages are needed to prove it. Nevertheless, already at present it seems that there are isoglosses linking the “Old Buginese” layer with the languages of Central and Eastern Sulawesi. The following parallels are interesting : O.B. eyo ‘day’ — eo id. in a number of languages of Central Sulawesi (a specific development of the etymological rool * (q)ajaw); O.B. rananrir) ‘wind’ — ranindi ‘cold’ in Toraja languages ; O.B. tapide ‘shield’ — Bare’e (Pu’umboto dialect) tampide, Banggai tompide id. ; O.B. kunawe ‘buffalo’ — Bare’e (priests’ language)
(Artinya: Untuk menentukan keaslian dari lexical yang melapisi pembentuk dasar kata-kata yang ditandai Matthes dengan O.B. dan B.B., adalah sebuah masalah yang complete. Di sini, saya dapat memberi saran hanya mengenai “Bahasa Bugis Kuno” dulu. Adapun mengenai tanah air asli dari tradisi ini, ada begitu banyak pertimbangan di sepanjang wilayah Luwu. Namun demikian, sebagaimana halnya hipotesis-hipotesis yang belum dapat ditemukan secara linguistic: terlalu banyak data tentang dialek-dialek bahasa Bugis dan bahasa tetangga(nya) yang harus disediakan. Kendati demikian, kelihatannya telah ada batas pemisah yang jelas pada lapisan “Bahasa Bugis Kuno” dengan bahasa-bahasa di Sulawesi tengah dan Sulawesi bagian Timur).
2. Besides, it should not be forgotten that the origin of the linguistic standard of Buginese prose antedates Matthes’s scarce notes about Buginese dialects
(Artinya: Disamping itu, jangan lupa bahwa standar linguistic asli dari prosa Bugis, lebih dulu ada daripada catatan langka Matthes tentang Dialek-dialek Bugis).

Mengakhiri Kelatahan
Kutipan V. Sirk di atas cukup menggambarkan kepada kita bahwa orang luar pun sudah tahu di mana tempat asli dari Kitab Lagaligo itu dilahirkan, berikut bahasa yang digunakan dalam Kitab Lagaligo tersebut. Jelas bukan bahasa Bugis, tapi bahasa Luwu alias bahasa TAE’ yang belum diketahui dialek apa. Jadi, tunggu apalagi? Saya sendiri tetap berkomitmen untuk mengumpulkan data demi data untuk pembuktian tersebut. Dan insya Allah komitmen saya tidak akan padam, walaupun ada di antara kita sekalian (Bija To Luwu) bertanya-tanya: Apa perlunya?
Membuat Identitas sebagai Suku tersendiri akan menguntungkan orang Luwu ke depan, khususnya dalam bidang Pariwisata. Saat ini dunia sedang melek mata akan keagungan Sureq Lagaligo yang lebih panjang dari pada Kisah Mahabharata dan Ramayana dari India. Mereka sedang mencari-cari dari manakah asal muasal Kitab yang hebat itu. Tidak menutup kemungkinan, akan ada sutradara Hollywood yang tertarik menggarap kisah Sawerigading yang memiliki karakter yang lebih unik daripada Hercules, atau tokoh-tokoh Mythos lainnya di dunia. Jelas, itu hanya sebuah tips dan bukan tujuan utama jika kita memiliki identitas tersendiri[5].
Tapi, jika Luwu tetap mendompleng dalam bayangan identitas suku bugis, maka justru orang-orang Bugislah -yang secara geografis berada di wilayah BOSOWA- yang akan mengeruk keuntungan tersebut. Terbukti, pernah dilakukan ekspedisi arkeologi OXYS, di Sulsel untuk menelusuri perjalanan Kitab Lagaligo. Sayangnya, mereka tidak menemukan apa-apa, karena diarahkan ke Kecamatan Cenrana, Kab. Bone, oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir, tak lupa peran penting 4 pemerintahan di Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur. 2 (dua) hal mendesak yang sebaiknya segera dilakukan untuk penyelamatan identitas kesukuan ini, yaitu:
1. Mengirim putra dan putri Luwu ke perpustakaan Leiden Belanda yang punya kapasitas keilmuan untuk melakukan translasi, transliterasi dan dokumentasi Sureq Lagaligo.
2. Mengembalikan Luwu dalam kondisi originality (keasliannya), minimal dalam berbahasa.
Sungguh pilu hati ini melihat begitu latah dan bangganya orang Luwu di Kota Palopo disebut sebagai orang bugis, sehingga slogan berbahasa bugis pun tertera di mana-mana. Wanua mappatuwo naewai alena, Toddopuli temmalara (ini sejak tahun 1946?), SaodenraE, SaokataE, dan lain lain. Nawawi S. Kilat dari Kec. Wotu Kab. Luwu Timur, bahkan sudah lebih dulu teriak agar nama Sungai Cerekang dikembalikan ke nama semula sesuai bahasa setempat menjadi Sungai Cerrea. Semoga kelatahan ini segera diakhiri, dan kita menuju ke kondisi keaslian identitas kita sebagai Bija To Luwu. Selebihnya……,
W Allahu a’lam bisshawab. Wa Shadaq Allahu l’adzim.[6]







Kesimpulan
Kitab Epos I La Galigo bagi masyarakat Sulawesi Selatan merupakan epos yang menceritakan asal usul peradaban masyarakat Sulawesi umumnya dan khususnya Sulawesi bagian Selatan. Epos berkaitan dengan berbagai etnis yang ada di daratan Sulawesi sehingga masih dapat ditemukan di tengah lapisan masyarakat di Sulawesi khususnya di propinsi Sulawesi Selatan mensakralkan epos ini dan ada pula menganggap ini merupakan kitab suci selain itu ada pula menganggap epos ini hanya sebuah karya sastra karena isinya hanya mitos.
Perjalanan kitab ini sungguh panjang hingga menjadi salah satu koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I La Galigo di tulis ulang seorang wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama Collie Puji Arung Pancana Toa yang merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji menulis ulang adalah hasil dorongan seorang misionaris dan juga seorang peneliti Antropolog asal Belanda yakni Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan misionarisnya di sertai penelitiannya B.F Mathees berupaya mengumpulkan lagi lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo yang tersebar di kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Manuskrip Epos I La Galigo memiliki 300.000 baris teks serta diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan lembar masih tersebar di tengah masyarakat selain itu telah banyak mengalami kerusakan atau hilang, namun untuk melihat secara dekat epos ini masih bisa dijumpai beberapa lembar di Museum La Galigo Makassar.
Saat ini Epos I La Galigo menjadi salah satu Epic terpanjang di Dunia yang dapat disejajarkan dengan epos terpanjang dunia lainnya seperti Epos Mahabarata dan Ramayana dari India, Shahmane peninggalan persia (Iran), dan epos peradaban Yunani. Hal inilah membuat La Galigo diadaptasi ke dalam seni pentas yang di sutradarai oleh Robert Wilson sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Manuskrip Epos I La Galigo yang telah menjadi salah satu Memori Dunia yang tercatat di UNESCO Memory of the World Register. UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah naungan PBB mempunyai program yang disebut UNESCO Memory of the World Register yang dimulai pada tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk menjaga warisan berupa hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja atau pun tidak disengaja oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca. Kegiatan ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa peninggalan dari hasil dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen dianggap penting dalam sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian timur Indonesia telah menjadi milik dunia.
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.















REFERENSI MAKALAH
ü  Http://www.Englopedia.asalusul kitap la galigo.  2008
ü  Http://www.Raengdoungunae.co.id lagaligo kitap sacral orang bugis.2001
ü  Http://www. George Aditjondro ;Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas  klaim orang Bugis   terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras. 2001
ü  Http://www.Unhas.Com. Collie Puji Arung Pancana Toa perjuangan perempuan mencatat kitab la galigo. 2008
ü  Http://www.Burhanuddinloue.com.Kerajaanluwuyang dikucilkan.2007
ü  Http://www.kampoengbugis.co.id. bahasa la galigo adalah bahasa bugis tua. 2000


[1] Htt:// www.Raengdoungunae.co.id. lagaligo kitap sacral orang bugis..2001
[2] Http:// www.Unhas.Com Collie Puji Arung Pancana Toa perjuangan perempuan mencatat kitab la galigo. 2008
[3] Hhtp. www.Burhanuddinloue.com. Kerajaan luwu yang dikucilkan.2007
[4] Http://www.kampoengbugis.com. bahasa la galigo adalah bahasa bugis tua. 2000
[5] Http://www. George Aditjondro ;Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas  klaim orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras. 2001
[6] Http.www.Englopediac0.id. asalusulkitaplagaligo.  2008

Arsitektur Rumah Adat Bugis Makassar



ARSITEKTUR RUMAH ADAT BUGIS


A. Latar Belakang
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi-Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu di lakukan bersendikan adat istiadat. Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terujud baik dalam tingka laku secara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut terpercaya sebagai warisan yang di terima langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu sebagai upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap di adakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan budaya bangsa, termasuk tata cara atau prosesi pembuatan rumah.
Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tardisional sulawesi selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari kepercayaan dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat sulawesi selatan, mulai pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah bentuk arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya.
Dalam konteks Arsitektur Tradisonal sebagai eksplorasi konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada lalu untuk dilihat bagaimana perkembangannya pada masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal tradisinya.
Rumah adalah kebudayaan fisik, yang dalam konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kulural dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan wilayah dan latar budaya akan menyebabkan perbedaan pula dalam ungkapan arsitekturalnya.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar.Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah.Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
B.  Rumusan  Masalah
1.      Bagaimana bentuk arsitektur kebudayaan bugis?
2.      Bagaimana tata letak rumah orang bugis?
C.  Kebudayaan dan Arsitektur Bugis
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi/augi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar.Huruf yang dipakai adalah aksara lontara/asr lotr, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah.Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat.Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai.Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama/posi tm) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang/sauk).Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.[1]
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat dan menyebar.Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1)      Pallaon ruma/ploa rum (kampung petani)
2)      Pakkaja/pkj (kampung nelayan)
3)      Matowa/mtow (kepala kampung)[2]
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anak arung/an aru (bangsawan), to maradeka/to mredk (rakyat biasa), dan ata/at (sahaya).
D.  Tata Letak Rumah
Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak  (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:
1.      Lontang risaliweng/lot risliew (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu (public)
2.      Lontang ritengngah/lot ritEG (latte ritengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private). 
3.      Lontang rilaleng/lot rilel (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan  kamar mandi.[3]
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
a.       Sao-raja/sao rj (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
b.      Sao-piti’/sao piti, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.
c.       Bola/bol, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
1)      Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap  (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping/tpi. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.[4]
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
Rakeang/reka, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
Alo-bola/alo bol (alle bola), terletak antara lantai dan lotengruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
Awaso/awso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.[5]
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang/lot (latte/ltE), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
Lontang risaliweng/lot risliew (ruang depan), Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
Lontang ritengngah/lot rietG (latte ritengngah/ltE rietG) atau ruang tengah. Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.
Lontang rilaleng/lot rilel (latte rilaleng/ltE rilel), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.
Untuk Sao raja/sao rj, ada tambahan dua ruangan lagi:
a.      Lego-lego/elgo elgo.
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.
b.      Dapureng/dpuer (jonghe/johE)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak

2)      Pola Penataan Stilistika
a.      Atap
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya.Bagian atas (rakeang/reka) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja/sao rj) maupun rumah rakyat biasa (Bola/bol), terdiri dari loteng dan atap.Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja/tip lj. Timpak laja  memiliki bentuk yang berbeda antara sao raja/sao rj dan bola/bol. Bagian ini diibaratkan sebagai kepala bangunan. Pada sao raja/sao rj terdapat timpak laja/tip lj yang bertingkat-tingkat  antara tiga sampai lima. Timpak laja/tip lj yang bertingkat lima menandakan  rumah tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja/tip lj bertingkat empat, adalah milik bangsawan yang memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang tidak memiliki jabatan pemerintahan timpak laja-nya hanya bertingkat tiga.
Rakyat biasa yang diklasifikasikan ke dalam kelompok to maradeka/to mredk dapat juga memakai timpak laja/tip lj pada atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua tingkatan timpak laja/tip lj.[6]
b.      Bukaan
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara Salah satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu (babang/tange).Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah.Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan pada depa yang ke 6 (enam) atau ke 4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.[7]
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng/etloeG). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Peletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang.Pada bagian bawahnya biasanya diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan jumlah bilangan ganjil.Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali 3-5 menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.
c.       Ragam Hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab atau kaligrafi.
Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang berarti bunga yang menarik.Bunga ini hidupnya menjalar berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga parengreng/perer ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak terputus seperti menjalarnya bunga parengreng/perer.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga.Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk/mnu yang berarti baik-baik.Selain itu juga sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang.
Ragam hias kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Biasanya ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan untuk rumah bangsawan.
Ragam hias naga atau ular besar melambangkan kekuatan yang dahsyat. Biasanya ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk tangga.
Ragam hias yang berupa kaligrafi dan bulan sabit biasanya ditempatkan pada bangunan peribadatan atau masjid.
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan keindahan karena adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan baik.

3)      Pola Penataan Struktur
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan.Atap dari daun nipah, sirap atau seng.Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi.Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah.Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri/aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola/posi bl (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja/sao rj dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola/bol)
Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa
Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci/poci (posi bola/posi bol) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:
Dipasang di ale bola/ael bol atau di lego-lego/elgo elgo.
Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah
Lantai (dapara/dpr, salima/slim) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah  papan atau bamboo.
Dinding (renring/rERi, rinring/riri) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
Jendela (tellongeng/etloeG) jumlahnya tiga untuk  rakyat biasa, tujuh untuk  bangsawan
Pintu (tange sumpang/tGE suP) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan  depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.
E.  Kesimpulan
Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut:



1)      Dari segi Spatial
Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat heterogen).
Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga (khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.
Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.
2)      Dari segi Stilistika
Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik. Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.
Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.
3)  Dari segi Struktural
Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga harganya sangat mahal.
Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.
Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1999.
D, Sumintardja. Kompedium Sejarah Arsitektur. Bandung:  Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, 1981.
Sutrisno, R. Bentuk Struktur Bangunan dalam Arsitektur Modern. Jakarta: Gramedia, 1981.
Tanudjaja, F,C,J,S. Kerangka Makna di dalam Arsitektur. Yogyakarta: Penerbit UAJY, 1998.





















[1]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 30.

[2]Ibid., h. 40.
[3]Sumintardja, D, Kompedium Sejarah Arsitektur (Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, 1981), h. 90.
[4]Op.cit., h. 48.

[5]Ibid.
[6]Loc. cit., h. 38.
[7]Ibid.

Newer Posts Older Posts Home