Thursday, December 12, 2013

Makalah Fikih Muamalah




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Fikih muamalah (hukum perdata Islam) merupakan salah satu dari himpunan hukum Islam. Dalam arti umum, fikih muamalah mencakup segala hal yang berhubungan antara manusia dengan sesamanya, baik munakahat maupun fikih dauli, murafa’at, mawaris, dan lain sebagainya. Fikih muamalah yang dimaksud di sini adalah berkaitan antara manusia dengan manusia yang menyangkut tentang harta benda serta hak dan kewajiban manusia antara satu dengan yang lain.
Dalam pandangan ilmuwan muslim, hukum islam bukanlah sebuah pengkajian yang berdiri sendiri atau empiris. Hukum Islam adalah aspek praktis doktrin sosial dan keagamaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi umat Islam generasi awal, hampir-hampir tidak ada perbedaan antara sesuatu yang bersifat legal dan sesuatu yang bersifat keagamaan. Dalam Alquran dan Sunnah , kedua hal ini saling berkaitan dan berhubungan.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai syirkah dan mudharabah yang di ajarkan oleh Islam. Dan hal ini dapat di jadikan pertimbangan dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu syirkah dan Mudharabah?
2.      Bagaimana rukun serta syarat syirkah dan mudharabah?
3.      Apa saja macam-macam syirkah?
4.      Bagaimana cara membagi keuntungan dan kerugian serta mengakhiri syirkah?
5.      Bagaimana biaya pengelolaan mudharabah?
6.      Bagaimana mudharabah itu dapat menjadi batal?











BAB II
PEMBAHASAN

KERJA SAMA (SYIRKAH)

A.    Pengartian Syirkah
Syirkah menurut bahasa berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan risiko ditangguna bersama.
Secara istilah, yang dimaksud dengan syirkah menurut para fukaha adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Malikiyah, syirkah ialah “perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orangsecara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf”.
2.      Menurut Sayyid Sabiq, syirkah ialah “akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.
3.      Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib, syirkah ialah “ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”.
4.      Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira, syirkah ialah “penetapan hak pada dua orang atau lebih”.
5.      Menurut Imam Taqiyyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, syirkah ialah “ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang telah ditentukan”.
6.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, syirkah ialah “akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya”.
7.      Idris Ahmad menyebutkan, syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Hal senada juga dikemukakan oleh Ilfi Nur Diana, bahwa musarakah adalah akad kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing memberikan konstribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah Alquran Surah An-Nisa ayat 12.
                                                                                                            

B.     Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Hanafiyah,rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.
1.      Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk pihak syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga, dan seterusnya.
2.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta). Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal, dan rupiah; dan b) benda yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketiga akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.      Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan; a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.      Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufwadhah.

Menurut Malikiyah. Syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baliqh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat, bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
      Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman Al-Jaziri, bahwa rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang berserikat, shighat, dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah seperti yang dijelaskan oleh Idris Ahmad adalah berikut ini.
1.      Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2.      Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya.
3.      Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.


C.    Macam-macam Syirkah
Menurut Hanafiyah, secara garis besar syirkah dibagi dua bagian, yaitu milk dan syirkah ‘uqud. Syirkah milk juga dibagi dua macam: syirkah milk jabar dan syirkah milk ikhtiyar. Syirkah ‘uqud dibagi menjadi tiga macam, yaitu: syirkah ‘uqud al-mal, syirkah ‘uqud bi al-abdan, dan syirkah ‘uqud bi al-wujuh. Syirkah ‘uqud al-mal dibagi dua, yaitu: syirkah-syirkah ‘uqud bi al-mal mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-mal’inan. Syirkah ‘uqud bi al-wujuh dibagi menjadi dua bagian: syirkah ‘uqud bi al-wujuh mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-wujuh ‘inan.
Pengertian syirkah milk ialah ibarat dua orang atau lebih memiliki suatu benda kepada yang lain tanpa akad syirkah.
Maksud syirkah al-‘uqud ialah ibarat akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk berserikat dalam harta dan keuntungan.
Maksud syirkah al-jabr ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa.
Maksud syirkah al-ikhtiyar ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan harta dengan ikhtiyar keduanya.
Maksud syirkah al-ikhtiyar ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Maksud syirkah al-wujuh ialah dua orang berserikat atau pihak yang tidak ada harta didalamnya, tetapi kedunya sama-sama berusaha. Keduanya termasuk ahli kafalah dan dalam pembelian masing-masing setengah.
Maksud syirkah al-wujuh’ian ialah sesuatu dari ikatan-ikatanyang berkesinambungan soelah-olah bukan ahli kafalah atau seperti tak ada kelebihan bagi penjual dan pembeli.
            Menurut Malikiyah, syirkah dibagi beberapa bagian, yaitu syirkah al-irts, syirkah al-ghanimah, dan syirkah al-mutaba ’ain syai’a bainahuma.
Maksud syirkah al-irts ialah berkumpulnya para pewaris dalam memiliki benda dengan cara pewaris.
Maksud syirkah al-ghanimah ialah berkumpulnya para tentara dalam pemilikan ghanimah.
Maksud syirkah al-mutaba ‘ain syai’a bainahuma ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan barang dengan waris, pembelian, pemberian, atau yang lainnya.
            Syirkah ‘uqud dibagi menjadi lima macam, yaitu syirkah al-inan, syirkah al-wujuh, syirkah al-abadan, syirkah al-muwadhah, dan syirkah al-mudharabah.

D.    Cara Membagi Keuntungan dan Kerugian
Macam-macam serikat, sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyahberpendapat, bahwa syirkah yang sah dilakukan hanyalah syirkah al-inan, sedangkan syirkah yang lainnya itu batal untuk dilakukan.
Cara membagi keuntungan atau kerugian tegantung besar dan kecilnya modal yang mereka tanamkan. Untuk lebuh jelasnya, dapat dilihat pada contoh praktik berserikat pada tabel berikut ini.
Tabel cara membagi keuntungan dan kerugian
Nama Anggota
Pokok Masing-Masing
Jumlah pokok
Untung
Persenrase Untung
Irfan
Rp.1500


1/10 x ¼ x 6,00 = Rp. 150
Nanda
Rp.1000
Rp.6000
Rp.600
1/10 x 1/6 x 6000 = 1/6 x 60 = Rp. 100
Karson
Rp. 500


1/10 x 1/12 x 6000 = Rp. 50
Lilian
Rp.3000


1/10 x ½ x 6000 = Rp. 300

E.     Mengakhiri Syirkah
Hendi Suhendi menjelaskan, bahwa syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut.
1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya, sebab syirkah akad yang terjadi atas dasra rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf (keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun kerana alasan lainnya.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tesebut,maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4.      Salah satu pihak ditaruh di bawah pengapunan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
5.      Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mahzab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, Hanafi berpendapat, bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
6.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atau nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, maka yang menanggung risiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila hartanya lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisahkan lagi, maka hal ini menjadi risiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan, menjadi risiko bersama, apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
















MUDHARABAH ATAU QIRADAH
A.    Pengertian
Kata mudharabah berasal dari kata (darabah, yaderabu, darbang) yang berarti bergerak, menjalankan, memukul, dan lain-lain. Midharabah juga disebut dengan muqaradah (qiradh). Menurut penduduk Hijaz, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail:
“Qiradh dengan kasrah qaf adalah kerja sama pemilik modal dengan amil dengan pembagian laba, dalam istilah ahli Hijaz disebut mudharabah yang diambil dari kata “berjalan di mua bumi” karena menurut kebiasaan laba itu diperoleh dengan berjalan-jalan atau mendistribusikan harta”.
            Karnaen Perwaatmadja mengemukakan, bahwa mudharabah (profit sharing) yaitu, penyertaan modal dalam suatu perusahaan pemerintah atau swasta dalam bentuk pembagian laba. Sedangkan Abdullah Saeed mengemukakan, bahwa mudharabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak yang disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uang kapada pihak kedua, yang disebut muharib, untuk tujuan menjalankan usaha dagang.
            Kasmir mengemukakan, bahwa mudharabah merupakan akad kerha sama antara dua pihak, dimana pertama menyediakan seluruh modal dan pihak yang lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian diakibatkan kelalaian pengelola.
            Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat dicermati bahwa mudharabah atau qhirad adalah menyerahkan sejumlah modal kepada seseorang untuk diperdagangkan. Adapun keuntungannya dibagi antara yang mempunyai modal dan yang memperdagangkan menurut persentase yang disepakati kedua belah pihak.
            Menurut istilah, mudharabah atau qhirad dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut.
1.      Menurut para fukaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menaggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengan atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
3.      Malikiyah berpendapat, bahwa mudharabah ialah dalam akad perwakilan, pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
4.      Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak, salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.

B.     Dasar Hukum Mudharabah
1.      Dasar hukum penerapan sistem mudharabah
Landasan dasar penerapan sistem mudharabahpada prinsipnya terbagi kepada dua landasan hukum, yaitu: 1)berdasarkan hukum islam (Alquran, hadis, ijma’, dan qiyas) dan 2)berdasarkan undang-undang perbankan yang berlaku di Indonesia.
Landasar syariah pada pembiayaan Yad al-Amanah, dalam Surah An-Nisa ayat 58 Allah swt. Berfirman: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”.
Melakukan mudharabah atau qhirad adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib ra., bahwasanya Rasulullah swa. Telah bersabda: “ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual”.
Diriwayatkan dari Daruquthni, bahwa Hakim Ibn Haizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: “Harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa menyeberangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku”.
Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajr telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau telah mengikutinya, bahkan sebelum diangkat menjadi rasul. Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad melakukan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah ra. Yang kemudian menjadi istri beliau.

2.       Penanggung jawab terhadap risiko mudharabah
Dalam penerapan sistem mudharabah, tidak ada sesuatu ketentuan mengenai sesuatu yang bisa dijadikan sebagai jaminan bagi penanam modal, karena jaminan dalam sistem mudharabah ditetapkan dalam bentuk kepercayaan.
Jika terjadi suatu musibah yang menimpa terhadap barang sebagai modal yang diserahkan kepada si pelaksana, sedangkan penanam modal (investor) tidak mempercayai atas pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dari si pelaksana, maka untuk meyakinkannya, pihak investor boleh meminta kepada si pelaksana untuk bersumpah, sehinnga pihak investor merasa yakin akan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh si pelaksana. Adapun bentuk jaminan pada kredit produktif, bisa barang bergerak atau berupa barang tidak bergerak. Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa bank dalam memberikan kreditnya harus secara mutlak ada jaminan, namu jaminan tersebut dapat juga berupa kepercayaan.

3.      Hikmah disyariatkannya mudharabah
Pada dasarnya, Islam telah membolehkan memberi keringanan kepada manusia untuk menggunakan uangnyadalam suatu usaha dengan bentu kerja sama, seperti halnya qiradh atau mudharabah. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya. Terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Apabila islam mensunahkan dan mencintai orang yang meng-qirah-kan, maka dalam waktu yang sama sesungguhnya ia juga dibolehkan untuk orang yang diberikan qiradh atau mudharabah dan tidak menganggapnya sebagai yang makruh, karena dia mengambil harta atau menerima harta untuk dimanfaatkan dalam upaya menutupi kebutuhan-kebutuhan dan selanjutnya ia mengambil harta itu seperti sediakala.
Jadi hikmah yang disyariatkannya mudharabah adalah agar manusia dapat melakukan kerja sama dalam perdagangan, karena hal ini termasuk juga saling tolong-menolong. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadis yang sanad-nya dari Abu Hurairah yang artinya: “Dari Abu Hurairah RA. Berkata, bahwa Rasulullah saw.bersabda: barang siapa yang memberikankeluangan terhadap orang miskin dari duka dan kabut dunia, Allah akan meluangkannya dari duka dan kabut di hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan kesibukan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat dan Allah selalu menolong hambanya selama hamba itu menolong saudaranya”.
Mudharabah mengandung hikmah yang besar dalam masyarakat, karena memupuk terhadap individu agar selalu memiliki sifat saling tolong-menolong dan jiwa gotong royong sesama anggota masyarakat. Selain itu, hikmah disyariatkannya mudharabah yang dikehendaki oleh syar’i yang Maha Bijaksana adalah untuk menghilangkan kefakiran dan untuk menjalin kasih sayang antara sesama manusia.

C.    Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
2.      Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
3.      Akad mudharabah, dilakukan oleh pekilik dengan pengelola barang.
4.      Mal, harta pokok atau modal
5.      Amal, yaitu penkerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba, dan
6.      Keuntungan
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adlah ijab dan qabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Syarat-syarat sah midharabah adalah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut.
1.      Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah tersebut batal.
2.      Bagi orang yang melakukan akad, disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka akan dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang dibawah pengapuan.
3.      Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4.      Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
5.      Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
6.      Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tersebut, pada waktu tertentu sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpan dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat al-Syafi’i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanafiyah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah tersebut sah.


D.    Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda seiring dengan adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Begitupun dengan kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh), juga tergantung pada keadaan.
Pengelola modal perdagangan yang mengelola modal tersebut harus ada izin pemilik harta, sehingga pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam pengelolanya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (objek wakalah). Ketika harta di-tasharruf-kan oleh pengelola, maka harta tersebut berada dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan pemiliknya, sehinnga herta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, maka ia tidak wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, ia wajib menangginya.
Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Mudharabah juga sebagai syirkah, karena bersama-sama dalam keuntungan.ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehinnga mudharabah dianggap ijarah (upah-mengupah atau sewa menyewa). Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab, atau disebut juga min al-kabair.

E.     Biaya Pengelolaan Mudharabah
Biaya dari mudharab diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan (daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan, karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar dari pada keuntungan. Namun, jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Imam Malik berpendapat, bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar, sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kiranya dapat dipahami, bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah jika biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik,  menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar, sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya.

F.     Tindakan setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik perbuatan seperti itu dianggap ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua, jika pelaksanaan (pengelolaan modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal harus dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat Mazhab Syafi’i dan Hambali.

G.    Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut.
1.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagaia upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut menjadi tanggung jawab pemilikmodal karena pengelola adalah sebagi buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apa  pun, kecuali atas kelalaiannya.
2.      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3.      Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meniggal dunia, maka mudharabah menjadi batal.

Aplikasi mudharabah dalam perbankan biasanya diterapkan para produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada isi penghimpunan, maka dana mudharabah diterapkan pada:
a.       Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
b.      Deposito biasa, da
c.       Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
a.       Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b.      Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Syirkah menurut bahasa berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Hal senada juga dikemukakan oleh Ilfi Nur Diana, bahwa musrakah adalah akad kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing memberikan konstribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah Alquran Surah An-Nisa ayat 12.
Menurut istilah, mudharabah atau qhirad dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut.
a.       Menurut para fukaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menaggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengan atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
b.      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
c.       Malikiyah berpendapat, bahwa mudharabah ialah dalam akad perwakilan, pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
d.      Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak, salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.

B.   Saran
Dengan membaca makala ini, pembaca diharapkan dapat menambah wawasannya tentang koperasi mahasiswa. Tak lupa kami meminta saran dan kritik atas tulisan kami demi melengkapi dan menjadi bahan pertimbangan pada penulisan-penulisan berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sahrani sohari dan Abdullah Ru’fah, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Cilegon, 2011.

Dampak Positif Dan Dampak Negatif Globalisasi


Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dampak Negatif
Dampak negatif globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.

Newer Posts Older Posts Home