Monday, December 2, 2013

Budaya Tanah Toraja - Pernikahan, Agama Dan Kepercayaannya




A.  Latar Belakang
Dalam masyarakat Tana Toraja terdapat banyak sekali adat istiadat yang dapat dijumpai di sana, sehingga Tana Toraja memiliki potensi wisata yang cukup mengagumkan khususnya pada kebudayaan daerah setempat. Kebudayaan yang beragam di Tana Toraja memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan daerah lain yang terkadang memiliki kesamaan dengan daerah lainya. Adapun keragaman adat istiadat yang terdapat didaerah Tana Toraja yaitu upacara Kematian dimana orang yang sudah mati diperlakukan berbeda sesuai dengan usianya dan cara penguburan yang berbeda, upacara Meroek yaitu upacara penghormatan kepada Dewi Pelindung masyarakat, upacara perkawinan.
Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme[1] yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis. Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas maka dapatlah dirumuskan permasahan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.    Apa sistim Pernikahan bagi masyarakat Toraja ?
2.    Bagaimana histori dan pelaksanaan Upacara Adat Pernikahan di Toraja ?
3.    Pandangan Adat, Budaya dan Agama terhadap Upacara Pernikahan di Toraja ?

C.    Adat dan Upacara  Perkawinan
1.    Pengertian perkawinan
Perkawinan adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis.[2] Dalam Islam perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.[3]
Tentang perkawinan di Tana Toraja (siala atau sipada ine) mengandung banyak aturan dan dalam melaksanakannya sangata bersahaja, yang dinamakan pertunangan sebenarnya kurang dijumpai di negeri ini, karena perkawinan sedemikian itu biasanya timbul dari cinta yang begitu saja, diperoleh dari kedua belah pihak.
Untuk mengadakan perkawinan perlu restu (izin) orang tua dahulu. Bila peraturan tersebut dilanggar, maka si lelaki atau si perempuan itu diasingkan (tak diakui lagi sebagai anak) oleh orang tuanya, tetapi tak lama kemudian tetap pula seperti biasa. Untuk mengetahui apakah permintaan laki-laki itu dapat diterima baik, maka dimintanya orang tuanya atau keluarga pergi ke orang tua perempuan itu menyampaikanmaksud tadi. Bilamana permintaannya diterima baik, lalu keluarga laki-laki tersebut mengirim utusan yaitu orang-orang yang dipercayainya dengan segala keperluan upacara adat seperti sirih tersebut diterima baik, maka dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Pada waktu melamar ada disebut tentang ganti kerugian, dan ini ucapkan juga pada waktu upacara peresmian perkawinan. Hal ini tergantung dari derajat orang yang kawin. Pembayaran kerugian/hukum denda (kappa) dibayar pada waktu bercerai sebagai hokuman bagi yang bersalah. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau, seperti yang telah diuraikan. Jadi mas kawin tidak ada kecuali bila seorang perempuan mau kawin dengan seorang lelaki yang tidak disetujui oleh orang tua si perempuan. Dalam hal ini si lelaki harus membayar mas kawin yang terdiri dari :
1.      Untuk perempuan golongan Puang 1-12 ekor kerbau.
2.      Untuk perempuan golongan Tumakaka 1-3 ekor kerbau.
3.      Untuk perempuan golongan hamba 1 ekor kerbau.
Adat dan upacara perkawinan di Tator adalah sangat sederhana jika dibandingkan dengan upacara perkawinan di daerah Bugis, Makassar, dan Mandar. Upacara perkawinan dapat berlangsung hanya beberapa hari, tetapi sebaliknya dengan upacara kematian di Tator berlangsung lama dan menelan biaya yang besar. Adat dan upacara perkawinan di Tana Toraja dapat bagi dalam tiga tingkatan, tingkatan ini tidak terikat dengan suatu ketentuan tetapi hanyalah diatur menurut kemampuan dan keinginan dari pihak yang mengadakan perkawinan atau orang tua dipihak yang mengadakan perkawinan.
Menurut sejarah perkawinan di Tana Toraja dengan dasar pemikiran menurut pandangan hidup aluk Todolo, bahwa seseorang yang akan kawin baru mau memasuki rumah tangga belum mempunyai apa-apa, makanya upacara perkawinannya sedapat mungkin sederhana saja, tetapi setelah perkawinan sudah mendapat berkah dan sudah mendapat anak, maka barulah mereka mengadakan pengucapan syukur dengan kurban kerbau sesuai kemampuan.[4]
Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala’.
            Oleh sebab itu tingkatan upacara perkawinan adat Toraja ini ada, tetapi tingkatan sangat sederhana saja pelaksanaannya yakni sebagai berikut :
1.     Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-laki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
2.    Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
3.    Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua.[5]
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-masing:
1.      Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
2.      Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
1). Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
2). Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
3). Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan.
3.      Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk  menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan kapa’.
4.      Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan  To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
5.      Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan dan melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:
1)      Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
2)      Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.
3)      Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
4)      Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
5)      Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta Tana' Bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan kapa’, yang jumlah kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
1.    Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
2.    Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.
3.    Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang  tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak  sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
4.    Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
5.    Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
6.    Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.
2.    Adat Perkawinan di Toraja.
Perkawinan yang dinamai rampanan kapa’ di Tana Toraja merupakan suatu adat yang paling dimuliakan masyarakat Toraja karena dianggap sebagian dari terbentuknya atau tersusunannya kebudayaan seperti pula pada suku-suku bangsa lainnya di Indonesia.
Jikalau kita memperhatikan proses dan pelaksanaan perkawinan yang dinamakan rampanan kapa’ itu di Tana Toraja yang dilakukan menurut adat Toraja, maka tampak perbedaan antara proses perkawinan di daerah lain karena yang dilakukan atau yang menghadapi serta yang mensyahkan perkawinan di Tana Toraja bukanlah penghulu agama tetapi dilakukan oleh pemerintah adat dinamakan ada’. Namun sebenarnya perkawinan itu di asuh atau diatur olah aturan-aturan yang bersumber dari ajaran aluk todolo yang dinamakan aluk rampanan kapa’.
Rapanan kapa’ adalah upacara perkawinan secara adat di Tanah Toraja yang dilaksanakan oleh orang-orang tua tempo dulu, dengan memenuhi persyaratan anatara  lain yaitu : pihak laki-laki wajib menyerahkan maskawin berupa keleke dan “pangan”. Dalam suatu perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan kurban persembahan dan sajian persembahan seperti dalam menyelamati peristiwa-peristiwa lain umpamanya pembangunan rumah, menyelamati keadaan tanaman dan hewan ternak dan kelahiran manusia. 
Perkawinan di Tana Toraja adalah semata-mata adanya persetujuan kemudian persetujuan itu disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga yang telah terdapat aturan dan hukum-hukum yang dibacakan dalam perjanjian sebagai sangsi dan perjanjian perkawinan.
D.  Kebudayaan Bendawi dan kegiatan Perekonomian.
1.    Rumah dan Pemukiman.
Rumah adat tradisional suku toraja di sebut Tongkonan. Tongkonan adalah sebuah rumah besar dengan atap berbentuk pelana menyerupai tanduk kerbau yang mengarah ke depan. Bentuk rumah ini berbeda dengan rumah Minangkabau di Sumatera Barat yang memiliki atap berbentuk pelana dan ujungnya yang memanjang. Atap Tongkonan terbuat dari daun kelapa sedangkan sisi rumah dihiasi ukiran. Pada bagian depan biasanya terdapat sejumlah tanduk kerbau.
2.    Pakaian Adat.
Baju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para pagar ayu, yaitu Merah dan Putih, kemudian di belakang mereka berjalan-lah pasangan pengantin dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya menyusullah para keluarga dari keluarga kedua mempelai. Kedua mempelai itu berjalan menuju kursi pelaminan yang telah disediakan.
Ukiran-ukiran yang  jadi Simbol kepercayaan hidup bagi masyarakat Tana Toraja yg terukir di Banua Tongkonan (Rumah Adat Tana Toraja) dan Lumbung Padi  yaitu:
1.      Pa’ Bare’ Allo (terletak paling diatas berbentuk Bulan dan Matahari).
Pa’Bare Allo adalah perlambang dari suatu Tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan matahari yang sudah tetap ada terbit dan terbenam matahari dipakai sebagai acuan waktu.
2.       Pa’ Londong ( ukiran Ayam Jantan yg bertengger diatas Pa’Bare’ Allo).
Pa’ Londong adalah perlambang dari Keadilan karena salah satu dari sembilan cara memutus permasalahan atau sengketa adalah dengan mengadu ayam apabila pemimpin dalam kelompok sulit memutuskan pihak mana yg benar atau salah.
3.      Pa’ Tedong (ukiran berbentuk Kepala Kerbau). Pa’Tedong adalah Perlambang kesejahteraan karena kerbau merupakan hewan yang punyai nilai ekonomi terutama utk corak tertentu.
Sebenarnya ada ukiran ke 4 yg berada paling bawah berbentuk garis2 vertikal dan horisontal namun kadang tidak terlalu diperhatikan, ini sebenarnya ukiran yg pertama dikenal dan dianggap yg tertua (ada cerita tersendiri untuk ini) yang merupakan perlambang hubungan horisontal dengan sesama manusia dan vertikal dengan Tuhan.
 Toraja juga mengenal 4 warna dasar yang selalu ada di Tongkonan:
1). Kuning perlambang kebesaran seperti matahari (akbar).
2). Merah Perlambang darah atau kehidupan.
3).  Putih perlambang kesucian.
4). Hitam perlambang Kedukaan.
E.  Mata Pencaharian.
1.      Jenis mata pencaharian.
Secara umum ada dua jenis yang menjadi mata pencaharian masyarakat Toraja yaitu :
1). Bertani
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang suku toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.
2).Tenun
Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan tenun Toraja takkan hilang ditelan jaman.
Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang berbasis budaya, maka  aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu sendiri.
2.      Peralatan Hidup / Teknologi.
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti :
1). Alat Dapur
a.       La’ka sebagai alat belanga
b.      Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
c.       Karakayu yaitu alat pembagi nasi
d.      Dulang yaitu cangkir dari tempurung
e.       Sona yaitu piring anyaman
2). Alat Perang / Senjata Kuno
a.    Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
b.    Penai yaitu parang
c.    Bolulong yaitu perisai
d.   Sumpi atau sumpit
3). Alat Perhiasan
a.    Beke – ikat kepala
b.    Manikkota – kalung
c.    Komba – gelang tangan
d.   Sissin Lebu – cincin besar.
F.     Kesimpulan
   Sebenarnya Indonesia memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada di negerinya. Salah satu contohnya adalah Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik. Mulai suku-suku, bahasa, adat perkawinan. Upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang beragam dan unik.
   Perkawinan Adat Toraja yang disebut Rampanan Kapa' merupakan prosesi adat yang sangat dimuliakan masyarakat Toraja, karena merupakan bahagian terbentuknya susunan pondasi kebudayaan suku Toraja. Tampak perbedaan yang jelas antara prosesi adat perkawinan Toraja dengan perkawinan di daerah lain. Karena bukanlah penghulu agama yang mensyahkan perkawinan itu ,tetapi dilaksanakan oleh Pemerintah Adat yang dinamakan Ada’ dan perkawinan itu diatur oleh peraturan dari ajaran adat Aluk Todolo yang disebut Aluk Rampanan Kapa’. Prosesi perkawinan di Toraja terlaksana karena adanya persetujuan kedua belah pihak, kemudian disyahkan dalam perjanjian disaksikan oleh pemerintah adat dan seluruh keluarga.
   Nama tempat pelaksanaan pesta perkawinan adalah Tongkonan Lombok, dan disitulah pelaminan pengantin disediakan. Tongkonan adalah Rumah Tradisional Toraja yang  dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan kuning. Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa Toraja yaitu  Tongkon yang berarti duduk.

















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kadir, Abd, H., Sistim Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Makssar: Ed Indobis Publishing, 2006.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,  Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, Makassar: 14 Juli 2006.

Ghozali, Rahman, Abdul,  Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010, cet. ke-4.

Marampa’, A.T., Mengenal Tana Toraja.

Racham. Dkk., Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan, Makassar: 1984.

Rasjid, Sulaiman, H., Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, cet. ke-27.

Saransi, Ahmad,  Tradisi Masyarakat di Sulawesi Selatan, Biro KAPP Setda SulSel LPPTM Sul-Sel: Lamacca Press, 2003.


















[1] Animisme : Kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb). Lihat Depertemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 53, 265.

[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Cet. 27: Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 374.
[3] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Cet. 4: Jakarta : Kencana, 2010), h. 7.
[4] Dinas Kebudayaan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Makassar : 14 Juli 2006), h. 178.
[5] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, op. cit., h. 180.

Newer Posts Older Posts Home