A. Latar Belakang
Dalam masyarakat
Tana Toraja terdapat banyak sekali adat istiadat yang dapat dijumpai di sana,
sehingga Tana Toraja memiliki potensi wisata yang cukup mengagumkan khususnya
pada kebudayaan daerah setempat. Kebudayaan yang beragam di Tana Toraja
memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan daerah lain yang terkadang
memiliki kesamaan dengan daerah lainya. Adapun keragaman adat istiadat yang
terdapat didaerah Tana Toraja yaitu upacara Kematian dimana orang yang sudah
mati diperlakukan berbeda sesuai dengan usianya dan cara penguburan yang
berbeda, upacara Meroek yaitu upacara penghormatan kepada Dewi Pelindung masyarakat,
upacara perkawinan.
Di wilayah Kab.
Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman)
dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat
tersebut di atas baik Rambu Tuka’
maupun Rambu Solo’ diikuti oleh seni
tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme[1]
yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma. Suku Toraja adalah suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu
dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis. Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas
atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah
“orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya
asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata
Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian
dengan Tana Toraja. Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya
adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh
satu etnis (Etnis Toraja).
Suku Toraja memiliki
sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis
sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal
di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan
hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki
sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan
penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya, pada awalnya
"Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar
seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Kehadiran misionaris Belanda
di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan
Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat
kelompok etnis utama suku Bugis (kaum
mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan
pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas maka dapatlah
dirumuskan permasahan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Apa sistim Pernikahan bagi
masyarakat Toraja ?
2.
Bagaimana histori dan
pelaksanaan Upacara Adat Pernikahan di Toraja ?
3.
Pandangan Adat, Budaya dan
Agama terhadap Upacara Pernikahan di Toraja ?
C.
Adat
dan Upacara Perkawinan
1. Pengertian
perkawinan
Perkawinan
adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis.[2]
Dalam Islam perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan mahram.[3]
Tentang
perkawinan di Tana Toraja (siala atau
sipada ine) mengandung banyak aturan
dan dalam melaksanakannya sangata bersahaja, yang dinamakan pertunangan
sebenarnya kurang dijumpai di negeri ini, karena perkawinan sedemikian itu
biasanya timbul dari cinta yang begitu saja, diperoleh dari kedua belah pihak.
Untuk mengadakan
perkawinan perlu restu (izin) orang tua dahulu. Bila peraturan tersebut
dilanggar, maka si lelaki atau si perempuan itu diasingkan (tak diakui lagi
sebagai anak) oleh orang tuanya, tetapi tak lama kemudian tetap pula seperti
biasa. Untuk mengetahui apakah permintaan laki-laki itu dapat diterima baik,
maka dimintanya orang tuanya atau keluarga pergi ke orang tua perempuan itu
menyampaikanmaksud tadi. Bilamana permintaannya diterima baik, lalu keluarga
laki-laki tersebut mengirim utusan yaitu orang-orang yang dipercayainya dengan
segala keperluan upacara adat seperti sirih tersebut diterima baik, maka
dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Pada waktu
melamar ada disebut tentang ganti kerugian, dan ini ucapkan juga pada waktu
upacara peresmian perkawinan. Hal ini tergantung dari derajat orang yang kawin.
Pembayaran kerugian/hukum denda (kappa)
dibayar pada waktu bercerai sebagai hokuman bagi yang bersalah. Pembayaran
tersebut dinilai dengan kerbau, seperti yang telah diuraikan. Jadi mas kawin
tidak ada kecuali bila seorang perempuan mau kawin dengan seorang lelaki yang
tidak disetujui oleh orang tua si perempuan. Dalam hal ini si lelaki harus
membayar mas kawin yang terdiri dari :
1. Untuk
perempuan golongan Puang 1-12 ekor kerbau.
2. Untuk
perempuan golongan Tumakaka 1-3 ekor kerbau.
3. Untuk
perempuan golongan hamba 1 ekor kerbau.
Adat dan upacara
perkawinan di Tator adalah sangat sederhana jika dibandingkan dengan upacara
perkawinan di daerah Bugis, Makassar, dan Mandar. Upacara perkawinan dapat
berlangsung hanya beberapa hari, tetapi sebaliknya dengan upacara kematian di
Tator berlangsung lama dan menelan biaya yang besar. Adat dan upacara
perkawinan di Tana Toraja dapat bagi dalam tiga tingkatan, tingkatan ini tidak
terikat dengan suatu ketentuan tetapi hanyalah diatur menurut kemampuan dan
keinginan dari pihak yang mengadakan perkawinan atau orang tua dipihak yang
mengadakan perkawinan.
Menurut sejarah
perkawinan di Tana Toraja dengan dasar pemikiran menurut pandangan hidup aluk Todolo, bahwa seseorang yang akan
kawin baru mau memasuki rumah tangga belum mempunyai apa-apa, makanya upacara
perkawinannya sedapat mungkin sederhana saja, tetapi setelah perkawinan sudah
mendapat berkah dan sudah mendapat anak, maka barulah mereka mengadakan
pengucapan syukur dengan kurban kerbau sesuai kemampuan.[4]
Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan
menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada
dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya
seorang laki-laki berasal dari Tana'
Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana'
Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari
pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor
kerbau Sangpala’.
Oleh sebab itu tingkatan upacara perkawinan adat Toraja ini ada, tetapi tingkatan sangat sederhana saja pelaksanaannya yakni sebagai berikut :
Oleh sebab itu tingkatan upacara perkawinan adat Toraja ini ada, tetapi tingkatan sangat sederhana saja pelaksanaannya yakni sebagai berikut :
1. Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan
yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan
lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-laki saja dua atau
tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong
pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
2. Perkawinan yang menengah yang
dinamakan Rampo Karoen
artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan
mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu
hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang
mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu
berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi
untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu
disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
3. Perkawinan yang tinggi dengan acara
yang dinamakan Rampo Allo
yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih
kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya
sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan
dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo
Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang
disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga
Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana'
Kua-Kua.[5]
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus melaksanakan beberapa
hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-masing:
1.
Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak
laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada
ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
2.
Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar
sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang
tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah
pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung
disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih
pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai
berikut:
1). Mengutus
4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
2). Mengutus 8 (delapan) orang
sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
3). Mengutus 12 (dua belas) orang
sebagai tanda bahwa lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas
nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu
itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan.
3. Urrampan
Kapa’
artinya membicarakan tana’ perkawinan
untuk menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak
rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan kapa’.
4. Dinasuan /
dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan
pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan
pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul
ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada
kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan To Umbongsoran Kapa’ hadir
bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua
belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan
mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula
bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada
manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
5. Sesudah tiga hari, maka tiba pada
hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan dan
melaksanakan yang dikatakan Umpasule
Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan
ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang
dikatakan Umpasule Barasang.
Bakku Barasang ini berisi
makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi,
kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah
perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama,
keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di
rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak
ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh
keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang
hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan
seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang
pada waktu acara makan disusunlah Pinggan
Adat namanya Dulang yang
berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta
yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin
ini berasal dari kasta Tana' Bulaan
ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini
susunan dulang dari Tana' Bulaan
yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo
sebagai berikut:
1) Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua
mempelai.
2) Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang
membawa sirih pinang.
3) Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
4) Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
5) Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat
makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya,
kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan
dari kasta Tana' Bulaan dengan
susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula
terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun
sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah
satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang
sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang
dijatuhkan itu dinamakan kapa’,
yang jumlah kapa’ itu sama dengan
nilai Tana’ dari yang akan dibayar
dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’
yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja
antara lain:
1. Songkan
Dapo’, artinya bercerai/pemutusan
perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak
bersalah sebesar nilai Hukum Tana’
yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
2. Bolloan
Pato’,
artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa
(to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk
bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja
memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat
pertimbangan lain dari pada dewan adat.
3. Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu
harus membayar kapa’ kepada
orang tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena
halangan kastanya tidak sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula
perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari
laki-laki.
4. Unnesse’
Randan Dali’,
artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum
dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
5. Unteka’
Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi
kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti
hukuman Dirampanan atau Diali’.
6. Urromok
Bubun Dirangkang,
artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum
selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan
karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu,
kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai
tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh
keluarga dari suami perempuan janda itu.
2. Adat Perkawinan di Toraja.
Perkawinan yang dinamai rampanan kapa’ di Tana Toraja merupakan suatu
adat yang paling dimuliakan masyarakat Toraja karena dianggap sebagian dari
terbentuknya atau tersusunannya kebudayaan seperti pula pada suku-suku bangsa
lainnya di Indonesia.
Jikalau kita memperhatikan proses
dan pelaksanaan perkawinan yang dinamakan rampanan kapa’ itu di Tana Toraja
yang dilakukan menurut adat Toraja, maka tampak perbedaan antara proses
perkawinan di daerah lain karena yang dilakukan atau yang menghadapi serta yang
mensyahkan perkawinan di Tana Toraja bukanlah penghulu agama tetapi dilakukan
oleh pemerintah adat dinamakan ada’. Namun sebenarnya perkawinan itu di asuh
atau diatur olah aturan-aturan yang bersumber dari ajaran aluk todolo yang dinamakan aluk
rampanan kapa’.
Rapanan kapa’ adalah upacara perkawinan secara
adat di Tanah Toraja yang dilaksanakan oleh orang-orang tua tempo dulu, dengan
memenuhi persyaratan anatara lain yaitu
: pihak laki-laki wajib menyerahkan maskawin berupa “keleke” dan “pangan”. Dalam suatu
perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan kurban persembahan dan sajian
persembahan seperti dalam menyelamati peristiwa-peristiwa lain umpamanya
pembangunan rumah, menyelamati keadaan tanaman dan hewan ternak dan kelahiran
manusia.
Perkawinan di Tana Toraja adalah
semata-mata adanya persetujuan kemudian persetujuan itu disyahkan dengan suatu
perjanjian dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga yang telah terdapat
aturan dan hukum-hukum yang dibacakan dalam perjanjian sebagai sangsi dan perjanjian
perkawinan.
D.
Kebudayaan
Bendawi dan kegiatan Perekonomian.
1. Rumah dan
Pemukiman.
Rumah adat tradisional suku toraja di sebut Tongkonan. Tongkonan adalah sebuah rumah besar dengan atap berbentuk pelana menyerupai tanduk
kerbau yang mengarah ke depan. Bentuk rumah ini berbeda dengan rumah
Minangkabau di Sumatera Barat yang memiliki atap berbentuk pelana dan ujungnya
yang memanjang. Atap Tongkonan terbuat
dari daun kelapa sedangkan sisi rumah dihiasi ukiran. Pada bagian depan
biasanya terdapat sejumlah tanduk kerbau.
2. Pakaian Adat.
Baju adat Kandore
yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada,
gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para pagar ayu, yaitu
Merah dan Putih, kemudian di belakang mereka berjalan-lah pasangan pengantin
dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya menyusullah para keluarga
dari keluarga kedua mempelai. Kedua mempelai itu berjalan menuju kursi
pelaminan yang telah disediakan.
Ukiran-ukiran yang
jadi Simbol kepercayaan hidup bagi masyarakat Tana Toraja yg terukir di Banua Tongkonan (Rumah Adat Tana Toraja)
dan Lumbung Padi yaitu:
1. Pa’ Bare’ Allo (terletak paling diatas berbentuk Bulan dan Matahari).
Pa’Bare Allo adalah perlambang dari suatu Tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan matahari yang sudah tetap ada terbit dan terbenam matahari dipakai sebagai acuan waktu.
Pa’Bare Allo adalah perlambang dari suatu Tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan matahari yang sudah tetap ada terbit dan terbenam matahari dipakai sebagai acuan waktu.
2. Pa’
Londong ( ukiran Ayam Jantan yg bertengger diatas Pa’Bare’ Allo).
Pa’ Londong adalah perlambang dari Keadilan karena salah satu dari sembilan cara memutus permasalahan atau sengketa adalah dengan mengadu ayam apabila pemimpin dalam kelompok sulit memutuskan pihak mana yg benar atau salah.
Pa’ Londong adalah perlambang dari Keadilan karena salah satu dari sembilan cara memutus permasalahan atau sengketa adalah dengan mengadu ayam apabila pemimpin dalam kelompok sulit memutuskan pihak mana yg benar atau salah.
3. Pa’ Tedong (ukiran berbentuk Kepala Kerbau). Pa’Tedong adalah Perlambang kesejahteraan karena kerbau merupakan
hewan yang punyai nilai ekonomi terutama utk corak tertentu.
Sebenarnya ada ukiran ke 4 yg berada paling bawah berbentuk
garis2 vertikal dan horisontal namun kadang tidak terlalu diperhatikan, ini
sebenarnya ukiran yg pertama dikenal dan dianggap yg tertua (ada cerita
tersendiri untuk ini) yang merupakan perlambang hubungan horisontal dengan
sesama manusia dan vertikal dengan Tuhan.
Toraja juga mengenal 4 warna dasar yang selalu
ada di Tongkonan:
1). Kuning perlambang kebesaran seperti matahari (akbar).
1). Kuning perlambang kebesaran seperti matahari (akbar).
2). Merah
Perlambang darah atau kehidupan.
3). Putih perlambang kesucian.
4). Hitam
perlambang Kedukaan.
E.
Mata Pencaharian.
1. Jenis mata pencaharian.
Secara umum ada dua jenis yang menjadi mata pencaharian
masyarakat Toraja yaitu :
1). Bertani
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga
sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah
tangga bagi orang suku toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah,
seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri
menanaminya.
2).Tenun
Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap
mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga,
diharapkan tenun Toraja takkan
hilang ditelan jaman.
Selain itu, karena tenun
telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang berbasis budaya,
maka aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu sendiri.
2. Peralatan Hidup / Teknologi.
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi
yang digunakan seperti :
1). Alat
Dapur
a. La’ka sebagai alat belanga
b. Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
c. Karakayu yaitu alat pembagi nasi
d. Dulang yaitu cangkir dari tempurung
e. Sona yaitu piring anyaman
2). Alat Perang / Senjata Kuno
a. Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
b. Penai yaitu parang
c. Bolulong yaitu perisai
d. Sumpi atau sumpit
3). Alat
Perhiasan
a. Beke – ikat kepala
b. Manikkota – kalung
c. Komba – gelang tangan
d. Sissin Lebu – cincin besar.
F.
Kesimpulan
Sebenarnya Indonesia memiliki ragam
kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak masyarakat yang tidak
mengenal kebudayaan apa saja yang ada di negerinya. Salah satu contohnya adalah
Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak
kebudayaan-kebudayaan yang unik. Mulai suku-suku, bahasa, adat perkawinan.
Upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang beragam dan unik.
Perkawinan Adat Toraja yang disebut Rampanan Kapa'
merupakan prosesi adat yang sangat dimuliakan masyarakat Toraja, karena merupakan bahagian
terbentuknya susunan pondasi kebudayaan suku Toraja. Tampak perbedaan yang
jelas antara prosesi adat perkawinan Toraja dengan perkawinan di daerah lain.
Karena bukanlah penghulu agama yang mensyahkan perkawinan itu ,tetapi
dilaksanakan oleh Pemerintah Adat
yang dinamakan Ada’ dan
perkawinan itu diatur oleh peraturan dari ajaran adat Aluk Todolo yang
disebut Aluk Rampanan Kapa’. Prosesi perkawinan di Toraja terlaksana
karena adanya persetujuan kedua belah pihak, kemudian disyahkan dalam
perjanjian disaksikan oleh pemerintah adat dan seluruh keluarga.
Nama tempat
pelaksanaan pesta perkawinan adalah Tongkonan Lombok, dan disitulah
pelaminan pengantin disediakan. Tongkonan
adalah Rumah Tradisional Toraja
yang dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan kuning. Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa
Toraja yaitu Tongkon yang berarti duduk.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kadir, Abd, H., Sistim
Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Makssar: Ed Indobis
Publishing, 2006.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan, Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, Makassar: 14 Juli 2006.
Ghozali, Rahman, Abdul, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010, cet.
ke-4.
Marampa’, A.T., Mengenal Tana Toraja.
Racham. Dkk., Monografi Kebudayaan
Makassar di Sulawesi Selatan, Makassar: 1984.
Rasjid, Sulaiman, H., Fiqh Islam,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, cet. ke-27.
Saransi, Ahmad, Tradisi Masyarakat di Sulawesi Selatan, Biro
KAPP Setda SulSel LPPTM Sul-Sel: Lamacca Press, 2003.
[1] Animisme : Kepercayaan kepada roh yang
mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb). Lihat Depertemen
Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 53, 265.
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam
(Cet. 27: Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 374.
[3] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh
Munakahat (Cet. 4: Jakarta : Kencana, 2010), h. 7.
[4] Dinas Kebudayaan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Makassar : 14
Juli 2006), h. 178.
[5] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sul-Sel, op. cit., h. 180.