I. PENDAHULUAN
Perang Salib berlangsung selama 2 abad, antara abad
ke-11 dan ke-13,[1] yang terjadi sebagai reaksi umat
Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak
penyerang. Sejak tahun 632 melakukan ekspansi, bukan saja di Syiria dan Asia
Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sicilia. Disebut Perang Salib karena
ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk
menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan
bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari
tangan-tangan orang Islam.[2]
Pendapat mengenai periodesasi Perang Salib para
sejarahwan saling berbeda dalam menetapkannya. Prof. Ahmad Syalabi membagi
periodesasi Perang Salib atas tujuh periode. Sementara Philip K. Hitti
memandang Perang Salib berlangsung terus menerus dengan kelompok-kelompok yang
bervariasi, kadang-kadang berskala besar dan tidak jarang pula berskala kecil.
Meskipun demikian, Hitti berusaha membuat periodesasi Perang Salib dengan
menyederhanakan pembagiannya ke dalam tiga periode.
Pertama, disebut periode penaklukan (1096-1144)
jalinan kerjasama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil
membangkitan semangat umat Kristen, yang utama ketika pidato Paus Urbanus II
pada Konsiliclerment tanggal 26 November 1095. Pidato ini bergema ke
seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan
berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Dan pada periode ini kemenangan
berpihak kepada pasukan Salib dan telah mengubah peta dunia Islam dan situasi
di kawasan itu.[3]
Kedua, disebut periode reaksi umat Islam (1144-1192)
jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan
kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi pasukan Salib
yang dikomando oleh Imaduddin Zangi, Gubernur Mosul, yang setelah itu diganti
dengan putranya Nuruddin Zangi. Kota-kota kecil dibebaskannya dari kaum Salib,
antara lain: Damaskus, Antiokia, dan Mesir. Keberhasilan kaum Muslimin meraih
banyak kemenangan terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
(Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Dan pada
bulan Shafar 589/Februari 1193 Salahuddin al-Ayyubi wafat yang sebelumnya telah
menyepakati suatu perjanjian dengan kaum Salib. Intinya adalah perjanjian damai
yang mana daerah pedalaman akan menjadi milik kaum Muslimin dan umat Kristen
yang akan ziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanaNnya.[4] Dan apa yang terjadi setelah itu?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor
penyebab terjadinya Perang Salib dan bagaimana peran Salahuddin al-Ayyubi dalam
menghadapi pasukan Salib serta bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh Perang
Salib tersebut.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Perang Salib
Perang Salib berasal dari Bahasa Arab, yaitu Øـر كـة
yang berarti suatu gerakan atau barisan, dan
صـلـيـبـيـة yang berarti kayu palang, tanda silang (dua
batang kayu yang bersilang).[5] Jadi Perang Salib adalah suatu
gerakan (dalam bentuk barisan) dengan memakai tanda salib untuk menghancurkan
umat Islam.
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Perang Salib
ialah gerakan kaum Kristen di Eropa yang memerangi umat Islam di Palestina
secara berulang-ulang, mulai dari abad XI sampai abad XIII M. untuk
membebaskan Bait al-Maqdis dari kekuasaan Islam dan bermaksud menyebarkan
agama dengan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dikatakan
salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda salib di
dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka.[6]
Terhadap pengertian ini, diperkuat lagi oleh Philip K.
Hitti bahwa Perang Salib itu adalah perang keagamaan selama hampir
dua abad yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam
di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Perang ini terjadi karena sejak
tahun 632 M. (Nabi saw. wafat) sampai meletusnya Perang Salib, sejumlah
kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen telah diduduki umat Islam
seperti Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Perang tersebut merupakan
suatu ekspedisi militer dan terorganisir untuk merebut kembali tempat suci di
Palestina.[7]
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dipahami
bahwa Perang Salib adalah perang yang dilakukan oleh ummat Kristen Eropa
dengan mengerahkan umatnya secara terorganisir yang bersifat militer, dan
menurut mereka, Perang Salib ini merupakan perang suci untuk merebut kembali
Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam.
B. Faktor-faktor Terjadinya
Perang Salib
Perang Salib sesungguhnya merupakan reaksi bangsa
Barat terhadap kekuasaan Islam. Kedudukan Islam di semenanjung Iberia, serangan
dan pendudukan Islam atas Sisilia maupun serangan atas semenanjung Balkan dan
lebih-lebih lagi pendudukan daerah Timur Tengah oleh bangsa Turki yang akhirnya
mengakibatkan terganggunya perjalanan para peziarah ke Yerussalem, sehingga
kaum Salib ingin merebut kota suci tersebut. Hal inilah yang memicu terjadinya
Perang Salib, dan di antara faktor-faktor penyebabnya, [8] antara lain :
1. Faktor
Agama
Salah satu peristiwa penting dalam gerakan ekspansi
yang dilakukan Alp Arselan (Penguasa Saljuk) adalah peristiwa Manzikart pada
tahun 1071 M. (464 H.). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000
prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Bizantium (Kristen)
yang berjumlah 200.000 orang, yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj,
al-Hajr, Perancis dan Armenia. Kekalahan ini menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian menjadi benih
dari Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk merebut Bait
al-Maqdis pada tahun 471 H. dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkedudukan
di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan peraturan bagi umat Kristen yang ingin
berziarah di sana dan aturan tersebut sangat menyulitkan mereka, akhirnya
menghilangkan kemerdekaan umat Kristen untuk beribadah di Yerussalem.[9]
Pada abad pertengahan, gereja mempunyai peranan dan
pengaruh yang besar terhadap masyarakat di Eropa. Pihak gereja menyatakan bahwa
siapa saja yang melanggar aturan yang ditetapkan oleh gereja, maka akan
mendapat hukuman. Pada hal masyarakat pada waktu itu banyak yang berbuat
kesalahan dan mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh gereja. Untuk mensucikan
diri dan bertobat dari kesalahan tersebut, manusia harus banyak berbuat baik
dan berbakti menurut ajaran agama (Kristen), dengan berziarah ke Bait al-Maqdis
di Yerussalem, berpuasa dan mengerjakan kebaikan lainnya. Mereka yakin bahwa
apabila berziarah ke tanah suci saja mendapat pahala yang besar dan dapat
menebus dosa, maka sudah tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem dari
kekuasaan Islam, adalah jauh lebih besar pahalanya.[10]
- 2. Faktor
Politik
Kekalahan Bizantium di Manzikart (Armenia) pada tahun
1071 dan jatuhnya Asia Kecil di bawah kekuasaan Saljuk, telah mendorong Kaisar
Alexius Comnenus I (Kaisar Costantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus
Urbanus II (menjadi Paus dari 1088-1099) dalam usahanya untuk mengembalikan
kekuasaannya dari pendudukan Dinasti Saljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu
Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan
Paus di Roma, serta dengan harapan dapat mempersatukan gereja Yunani dan
Roma. Pada waktu itu, Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar
terhadap raja-raja yang berada di bawah kekuasaannya.[11]
Demikian pula, adanya cita-cita Paus yang bersifat
agresif untuk menguasai dunia Timur dengan berencana mendirikan suatu kerajaan
Latin. Hal ini pulalah yang menyulut peperangan antara Kristen dan Islam, yang
secara periodik dan historis menggunakan waktu yang lama serta pengorbanan
material dan jiwa yang cukup banyak.
- 3. Faktor
Sosial Ekonomi
Para pedagang besar yang berada di kota Venezia,
Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di
sepanjang pantai timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan
perdagangan mereka. Untuk itu, mereka rela menanggung sebagian dana peperangan
dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan, apabila
pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur
Eropa akan bersambung dengan jalur perdagangan di Timur melalui jalur strategis
tersebut. Demikian pula para petualang dari ksatria Kristen, merasa puas dengan
harta rampasan atau upeti dari negeri taklukan.[12]
Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa
ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu : Kaum gereja, bangsawan dan
ksatria, serta rakyat jelata[13]. Mayoritas masyarakat di
Eropa adalah rakyat jelata, kehidupan mereka sangat tertindas, terhina, dan
harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena serta
mereka dibebani berbagai pajak dan sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu,
pihak gereja memobilisasi mereka untuk turut mengambil bagian dalam Perang
Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik,
apabila dapat memenangkan peperangan. Mereka menyambut seruan itu secara
spontan dengan bersama-sama melibatkan diri dalan perang tersebut.
C. Peranan Shalahuddin al-Ayyubi
dalam Menghadapi Pasukan Salib
Mengingat judul yang diangkat dalam pembahasan ini
adalah Perang Salib (faktor dan peranan Salahuddin al-Ayyubi), maka dalam
mamkalah ini akan dibatasi pada periode kedua dan ketiga dari Perang Salib,
sampai wafatnya pada tahun 1193 M.
Salahuddin al-Ayyubi, yang dikenal oleh Orang Eropa
dengan nama Saladin, ia juga bergelar Sultan al-Malik al-Nashir ( Raja Sang
Penakluk).Ia adalah pendiri dinasti Ayyubiyyah di Mesir yang bertahan selama 80
tahun. Salahuddin berasal dari keluarga Kurdi di Azerbaijan, yang
berimigrasi ke Irak. Salahuddin al-Ayyubi merupakan pahlawan paling
mengagumkan, yang pernah dipersembahkan oleh peradaban Islam di sepanjang abad
VI dan VII Hijriah. Berkat Salahuddin, umat dan peradaban Islam terselamatkan
dari kehancuran, akibat serangan dari kaum Salib. [14]
Pada periode Kedua (1144-1187 M.) dari Perang Salib,
Bait al-Maqdis kembali direbut oleh pasukan Salib. Peristiwanya berawal dari
jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib, membangkitkan
kesadaran umat Islam untuk menghimpun kekuatan untuk menghadapi mereka. Di
bawah komando Imaduddin Zanqi, Gubernur Mosul (Halab), kaum muslimin bergerak
maju membendung serangan pasukan Salib.
Pasukan Imaduddin berhasil merebut kembali Aleppo dan
Edessa pada tahun 1144 M. Sebelum pasukannya merebut kembali daerah-daerah
Islam lainnya, Imaduddin gugur dalam pertempuran pada tahun 1146, posisinya
digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanqi. Di bawah kepemimpinannya, ia
meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan wilayah Islam di Timur dari
cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskannya, antara lain:
Damaskus (1147), Antiokia (1149), Edessa (1151), dan Mesir pada tahun
1169 M.[15]
Kejatuhan Edessa, menyebabkan orang-orang Kristen
mengobarkan Perang Salib II. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang
disambut positif oleh Raja Perancis, Louis VII dan Raja Jerman, Condrad II.
Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Namun
gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanqi. Mereka tidak berhasil memasuki
Damaskus, bahkan Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri ke negerinya.
Nuruddin wafat tahun 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Salahuddin
al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M.[16]
Salahudddin al-Ayyubi yang terkenal gagah perkasa,
meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Akhirnya,
pasukan Salib tidak mampu menghadapi pasukan Islam, maka mereka terpaksa
mengajukan permintaan damai. Dengan adanya permintaan damai itu, Salahuddin
menghentikan peperangan. Namun karena tahun 1186 M. tentara Salib
mengkhianatinya dengan menyerang umat Islam yang akan menunaikan haji, maka pertempuran
kembali berkobar dan tentara Salib menderita kekalahan serta kebanyakan di
antara mereka menjadi tawanan. Akhirnya Salahuddin al-Ayyubi berhasil merebut
kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M.[17]
Pada periode ketiga (1189-1192 M.), Salahuddin
berhasil mempertahankan Bait al-Maqdis dan kekalahan kaum Salib. Kejadiannya
berawal dari jatuhnya Bait al-Maqdis ke tangan orang Islam, menggerakkan
semangat yang meluap-luap di kalangan Kristen Eropa untuk merebut kembali
kota suci itu. Dengan kekalahan itu, maka dibangunlah angkatan Perang
Salib III pada tahun 1189 M. dengan pimpinan perangnya antara lain Kaisar
Frederick Barbarosa dari Jerman, Philip Augustus dari Perancis dan Richard
Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan Perang Salib III ini berhasil merebut Accon
(Aka), namun sesudah itu pasukan Salib pecah, karena Philip berselisih dengan
Richard, yang berakhir dengan pulangnya Philip ke Perancis, serta sebelum
terjadi penaklukan Aka itu, Kaisar Barbarosa telah meninggal di tengah
perjalanan.[18]
Setelah itu, Salahuddin berperangan melawan Richard
yang dikenal sebagai panglima yang tindakannya sangat berani sehingga diberi
gelar “Berhati Singa”. Ternyata dalam peperangan di Arsuf, Salahuddin berhasil
dikalahkan Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis belum berhasil
dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin
dengan Richard pada tanggal 2 November 1192 M., yang isinya sebagai
berikut :
- Yerussalem
tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk
menjalankan ibadah di tanah suci.
- Orang-orang
Salib akan mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
- Umat
Islam akan mengembalikan relics (tanda-tanda agama) Kristen kepada
umat Kristen.[19]
Setahun berikutnya, Sultan al-Malik al-Nashir Salah
al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M.,[20] setelah beberapa waktu lama dengan
gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan
besar dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.
C. Dampak Perang Salib
1. Terhadap Dunia Kristen
Walaupun pihak Kristen menderita kekalahan dalam
Perang Salib, namun mereka memperoleh pelajaran yang berharga dari dunia Islam.
Hal ini disebabkan perkenalan mereka dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang
sudah maju, bahkan hal tersebut menjadi salah satu faktor pendukung lahirnya renaissance
di Barat. Mereka mendapatkan kebudayaan dalam bidang perdagangan,
perindustrian, pertanian, pertahanan, pendidikan dan lain-lain.[21]
Kontak perdagangan antara Timur dan barat semakin
pesat di mana kota-kota dagang seperti Venezia, Genoa dan Pisa di Italia
berkembang pesat dan memperoleh banyak keuntungan dalam perdagangannya dengan
Timur. Hal ini pula yang menyebabkan mereka menggunakan mata uang sebagai
alat tukar barang, sebelumnya mereka menggunakan sistem barter.[22]
Dalam bidang perindustrian, mereka banyak menemukan
kain tenun sekaligus peralatannya di dunia Timur. Untuk itu mereka mengimpor
berbagai jenis kain ke Barat. Mereka juga menemukan berbagai jenis parfum,
kemenyan dan getah Arab yang dapat mengharumkan ruangan.[23]
Dalam bidang pertanian, mereka menemukan sistem
irigasi yang praktis. Orang-orang Barat mulai menggunakan cengkeh, lada serta
rempah-rempah untuk digunakan sebagai bumbu masakan. Mereka mulai membiasakan
makan jahe dan menggunakan madu sebagai pemanis makanan.[24]
Dalam bidang pertahanan (militer), mereka
menemukan tehnik berperang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di
negerinya, seperti penggunaan rebana dan gendang untuk memberi semangat kepada
pasukan militer di medan perang, pertarungan senjata dengan menggunakan kuda
dan penggunaan burung merpati untuk kepentingan informasi militer.[25]
Bangsa Barat (Eropa) mulai sadar terhadap
kemajuan yang dicapai dunia Timur, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan,
sehingga mereka berdatangan ke Timur untuk belajar dan menggali ilmu, kemudian
diajarkan di negara mereka. Orang Eropa banyak memanfaatkan ilmu pengetahuan
dari bangsa Arab. Mereka menyalin ke dalam bahasanya (Yunani). Upaya tersebut
dilanjutkan dengan mendirikan Universitas di Paris untuk mempelajari bahasa
Timur pada abad XII M. Begitu pula, mendorong mereka dalam memajukan Ilmu Bumi.[26]
Di sisi lain, hasil dari Perang Salib bagi orang
Barat adalah menemuan kompas. Orang-orang Islamlah yang sudah sejak
lama menggunakan kompas untuk keperluan pelayaran di Teluk Persia dalam rangka
kegitan perdagangan. Demikian pula, ilmu Astronomi yang telah dikembangkan
Islam sejak abad kesembilan M., telah pula mempengaruhi lahirnya berbagai
Observatorium di Barat.[27]
2. Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam
Pengaruh Perang Salib terhadap Islam, adalah lebih
memantapkan dan mengokohkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan umat dalam
membela dan mempertahankan eksistensi agama Islam. Pengaruhnya yang lain adalah
memperkenalkan dunia Islam yang mempunyai kebudayaaan tinggi kepada dunia
Barat.
Dari keterangan di atas, dapat diutarakan bahwa
pengaruh langsung atas terjadinya Perang Salib atas dunia Islam adalah
mengingatkan kepada umatnya untuk tetap bersatu padu, menyatukan langkah dan
gerak yang dijiwai oleh ruh Islam, untuk tetap konsisten terhadap ajaran Islam
yang universal.
Dengan adanya peristiwa tersebut, mengingatkan kepada
umat Islam untuk tetap mewaspadai segala gerak, tindakan dalam berbagai bentuk
yang akan mengadu domba dan menghancurkan ukhuwah islamiyah, dengan melihat ke
belakang, membuka lembaran sejarah serta mengambil pelajaran dari Perang Salib.
Dunia, khususnya Barat harus berterima kasih dan mengakui bahwa sumbangan
Islam tidak ternilai harganya, terutama kontribusinya dalam bidang
intelektual dan kultural.
III. K E S I M P U L A N
Perang Salib ialah perang yang dilakukan oleh umat
Kristen Eropa untuk merebut dan menguasai Bait al-Maqdis di Yerussalem dari
tangan umat Islam. Dinamakan Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut
bertempur mengenakan tanda Salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita
mereka. Perang ini berlangsung dari tahun 1095- 1291 M.
Adapun penyebab terjadinya Perang Salib ada dua, yaitu
: sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab tak langsung ialah
sejak wafatnya Rasulullah saw. di mana daerah-daerah yang dikuasai kaum
Nasrani, telah direbut oleh pasukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung
ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk
berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus Urbanus II beserta
Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel (Bizantium)
dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di Roma dan Yunani.
3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem.
Disamping itu ada pula faktor atau motif yang melatar
belakanginya, yaitu : faktor agama, politik, dan sosial
Salahuddin al-Ayyubi mendirikan dinasti Ayyubiyyah di
Mesir tahun 1175 M. Ia terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan
tentara Salib pada tahun 1180 M. Ia berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis,
Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Namun dalam peperangannya melawan
Richard di Arsuf, Salahuddin dapat dikalahkan oleh Richard pada tahun 1191 M,
namun Bait al-Maqdis belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah
perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin dengan Richard pada tanggal 2
November 1192 M.
Adapun dampak Perang Salib adalah adanya kerugian dan
keuntungan bagi kedua belah pihak. Meskipun pihak Kristen Eropa menderita
kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka mendapat hikmah yang tak ternilai
harganya sebab mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam
yang sudah sedemikian majunya. Dan walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
wilayah-wilayahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang dipikul terlalu
banyak untuk dihitung. Karena peperangan berlangsung dari dalam wilayah
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,Ameer. The Spirit of Islam.
Diterjemahkan oleh H.B. Yassin dengan judul Api Islam. Jakarta : Bulan
Bintang, 1978), h. 370.
Ali,K. A Study of Islamic History.
Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul Sejarah Islam, Tarikh Pra
Modern. Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Departemen Agama RI. Text Book Sejarah dan
Kebudayaan Islam. Jilid I. Ujung Pandang: Kerja sama Dirjen Binbaga dengan
IAIN Alauddin, 1982.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam
Indonesia. Jilid IV. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Nasiaonal. Ensiklopedi
Nasional Indonesia. Cet. I; Jakarta; Cipta Adi Pustaka, 1990.
Enan, M.A. Decisive Moment in the History of
Islam. Dialih bahasakan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-Detik
Menentukan dalam Sejarah Islam. Surabaya, Bina Ilmu, 1983.
Hamka. Sejarah Umat Islam. Jilid II. Cet.
IV; Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Harun, M. Yahya. Perang Salib dan Pengaruh Islam di
Eropa. Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1987.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan
Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip. K. The Arabs A Short.
Diterjemahkan oleh Usuluddin Hutagalung dengan judul Sejarah Ringkas Dunia
Arab. Cet. II; Bandung: Vorkink Van Hoeve, t. th..
Al-Marbawiy, Muhammad Idris Abd, al-Rauf. Kamus
al-Marbawiy. Mesir: Mustafa Bab al-Halabiy wa Awladuh, t. th..
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia.
Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Oesman, A. Latief. Ringkasan Sejarah Islam.
Jakarta: Wijaya, t. th..
Syalabiy,Ahmad. Mawsu’at al-Tarikh al-Islamiy
wa al-Hadharat al-Islamiyyah. Jilid II. Cet. III; Al-Qahirah: Al-Nahdat
al-Misriyyah, 1977.
Tajuddin, Abd al-Rahman. Dirasat fi al-Tarikh
al-Islamiy. Al-Qahirah: Al-Sunnat al-Muhammadiyyah, 1957.
Uwais, Abdul Halim. Dirasat lisuquti Tsalatsiyna
Dawlat Islamiyyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul Analisa
Runtuhnya Daulah-daulah Islamiyyah. Cet. II; Solo: Pustaka Mantiq, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. X;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
[1]Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, jilid 14 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 38.
[2]Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid
4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 240. Lihat pula Tim Penyusun
Textbook, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I (Dirjen Bimbaga Islam,
Depag RI., kerjasama IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1982), h. 211.
[3]Ibid.
[4]Lihat Tim Penyusun Textbook, Sejarah Dan
Kebudayaan Islam, jilid I (Dirjen Bimbaga Islam, Depag RI., kerjasama IAIN
Alauddin Ujung Pandang, 1982), h. 216.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia
(Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 787. Lihat juga Muhammad
Idris Abd, al-Rauf al-Marbawiy, Kamus al-Marbawiy, (Mesir: Mustafa Bab
al-Halabiy wa Awladuh, t. th.), h. 131.
[6]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jilid IV (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 240.
[7]Lihat Philip K. Hitti, The Arabs A Short.
diterjemahkan oleh Usuluddin Hutagalung dengan judul Sejarah Ringkas Dunia
Arab (Cet. II; Bandung: Vorkink Van Hoeve, t. th.), h. 224. Lihat
juga A. Latief Oesman, Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta: Wijaya,
t. th.), h. 83.
[8]Yang dimaksudkan ialah sebab-sebab
terjadinya atau motifasi yang melatar belakangi terjadinya Perang Salib yang
pertama. Adapun penyebab terjadinya Perang Salib untuk setiap periodenya adalah
kelanjutan dari peperangan yang terjadi sebelumnya, mengingat ada pihak yang
kalah dalam perang tersebut. Ringkasnya, bahwa sebab terjadinya Perang
Salib ada dua, yaitu : sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab
tak langsung ialah sejak wafatnya Rasulullah saw. di mana daerah-daerah yang
dikuasai kaum Nasrani, telah direbut oleh paukan Islam. Sedangkan penyebab
secara langsung ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum
Nasrani untuk berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus
Urbanus II beserta Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan
Konstantinopel dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di
Roma dan Yunani. 3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem.
[9]Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 76.
[10]Lihat M. Yahya Harun, Perang
Salib dan Pengaruh Islam di Eropa (Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1987),
h. 4.
[11]Lihat Ahmad Syalabiy, Mawsu’at
al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharat al-Islamiyyah, Jilid II (Cet. III;
Al-Qahirah: Al-Nahdat al-Misriyyah, 1977), h. 554.
[12]Lihat ibid., h. 552.
[13]Lihat M.A. Enan, Decisive Moment in the
History of Islam, dialih bahasakan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-Detik
Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya, Bina Ilmu, 1983), h. 143.
[14]Lihat Abdul Halim Uwais, Dirasat lisuquti
Tsalatsiyna Dawlat Islamiyyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan
judul Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islamiyyah (Cet. II; Solo: Pustaka
Mantiq, 1992), h. 98.
[15]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.
cit., h. 242.
[16]Lihat Abd al-Rahman Tajuddin, Dirasat fi
al-Tarikh al-Islamiy (Al-Qahirah: Al-Sunnat al-Muhammadiyyah, 1957), h.
148.
[17]Lihat Badri Yatim, op. cit.,
h. 38.
[18]Lihat Hamka, Sejarah Umat
Islam, Jilid II, (Cet. IV; Jakarta, Bulan Bintang, 1975),
h. 216.
[19]Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 287.
[20]Lihat Departemen Agama RI., Text
Book Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I (Ujung Pandang: Kerja sama
Dirjen Binbaga dengan IAIN Alauddin, 1982), h. 216.
[22]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi
Nasiaonal, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Cet. I; Jakarta; Cipta Adi
Pustaka, 1990), h. 349.
[23]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit.,
h. 243
[24]Lihat Yahya Harun, op. cit. h. 34.
[25]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit.,
h. 242.
[26]Lihat Ameer Ali, The Spirit of Islam.
Diterjemahkan oleh H.B. Yassin dengan judul “Api Islam”, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1978), h. 370.
[27]Lihat K. Ali, A Study of Islamic History.
Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul “Sejarah Islam, Tarikh Pra
Modern”, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 288.